Surat Pengaduan Sultan 'Alauddin Muhammad Daud Syah
Kepada Khalifah Turki Usmani
Sultan 'Alauddin Muhammad Daud Syah Sumber Foto: KITLV |
MEMBACA surat ini sepintas lalu, maka kesan yang
pertama sekali terbetik dalam benak: surat ini berisi keluhan. Apalagi di
dalamnya, secara jelas, penulis surat menyatakan ia mengadukan perihal
kesulitan dan kepedihan yang sedang dialami oleh diri dan bangsanya. Boleh
jadi, karena itu, ada orang yang akan menganggap penulisnya adalah seorang yang
berkepribadian lemah, tidak tegar, bukan pahlawan dan berbagai prasangka lain
semisalnya. Namun apakah orang yang membuat
penilaian demikian telah benar-benar membaca surat ini dan memahaminya? Saya
menyangsikan hal itu, malah yakin ia belum benar-benar membacanya.
Sejatinya, penulis surat adalah seorang yang sangat
tegar, kuat dan pahlawan dalam makna yang sesungguhnya. Bahkan lebih dari itu,
ia adalah seorang yang amat setia. Setia kepada Agamanya, kepada umatnya, dan
kepada rakyat bangsanya. Suatu sikap yang terus ia buktikan sampai nafas
terakhirnya ia hembuskan di pembuangan. Dan tentu saja perayaan 17 Agustus akan
melewatkan orang-orang semisal penulis surat ini, di samping saya yakin dia
juga tidak pernah berharap dirinya dikenang dalam perayaan semacam itu. Batu
pijakannya lain, arah haluannya lain, dan cita-citanya juga lain.
Bergunung kekecewaan dan ketidakberuntungan menindih
perjalanan hidupnya namun harus diakui ia adalah seorang yang tegar, kuat dan
setia. Lain dari itu tentang dirinya, saya tidak percaya. Sungguh tidak mudah
bagi seseorang bertahan untuk melalui tahun-tahun kepedihan seperti yang ia
lalui; saat tanah negerinya direbut oleh musuh Allah, saat bangsa-bangsa Islam
kemudian harus kehilangan Amirul Mu'minin dan khilafahnya, dan saat ia melihat
rakyatnya berangsur berpaling untuk mengikuti langkah musuhnya. Ia harus
menahan perih fisik dalam pengasingan, sementara perih batinnya adalah sesuatu
yang takkan terkira.
Dalam surat ini, Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud Syah
melaporkan dan mengadukan perihal yang dialami oleh diri dan bangsanya kepada
Khalifatul Muslimin dan Amirul Mu'minin.
Selain kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada siapakah
lain yang layak ia lapor dan adukan halnya? Kepada Belanda seperti para raja
negeri-negeri lain yang tunduk kepada Pemerintah Hindia-Belanda? Tentu tidak,
dan tak pernah akan. Baginya, Belanda adalah kafir mal'un 'aduwullah (kafir
terkutuk, musuh Allah).
Atau ia akan memilih berlayar dengan angin
nasionalisme yang sudah mulai berhembus sejak penghujung abad ke-18 dan menguat
di abad ke-19? Tentu, tidak. Ia sama sekali bukan pengagum Mustafa Kamal
Ataturk (1881-1938), dan tidak pernah sepertinya! Malah, saya yakin sampai
dengan wafatnya pada 6 Februari 1939, ia masih memimpikan kebangkitan Islam dan
umatnya sebagaimana mimpi Sultan Abdul Hamid II (1842-1918) ke mana surat ini
ditujukan pada tanggal 25 Muharram 1315 (26 Juni 1897).
Dengan demikian, bukankah ia seorang yang teguh dalam
pendiriannya, seorang yang memiliki kepribadian kuat, dan lebih dari itu ia
adalah orang yang setia kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada umat dan rakyatnya.
Ia tetap berdiri dan melangkah di garis para leluhurnya, para sultan yang
besar, dan tidak pernah menyimpang. Jika kemudian kita sering mendengar tentang
cerita penyerahan diri Sultan Muhammad Dawud Syah, saya malah jadi
bertanya-tanya kenapa hanya peristiwa ini yang sering diceritakan sementara
perjalanannya yang panjang dalam tahun-tahun kepedihan justru seolah tersaput
kabut. Lagi pula, setelah "penyerahan dirinya", ia tidak memerintah
di bawah Belanda tapi justru dibuang ke Betawi, pusat pemerintahan kolonial. T.
Ibrahim Alfian telah menuturkan sebab pembuangannya ke Betawi yang menjadi
tanda dan bukti ia tidak pernah melepaskan kesetiaan kepada apa yang telah
dijadikannya sebagai prinsip dalam hidupnya.
Hari ini, kita masih berkesempatan untuk menyimak
kembali penuturan Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud tentang tahun-tahun
kepedihan yang beliau lalui, tentang penyebab langsung perang Aceh-Belanda
(panjangnya dapat dibaca dalam beberapa kepustakaan yang telah tersedia),
tentang asal muasal kesetiaan Sultan Aceh kepada Khalifah Muslimin di Istambul
dan hubungan di antara keduanya, tentang kebiadaban dan kekejian Belanda yang
sampai pada tingkat menangkap, merampas dan membunuh nelayan yang pergi mencari
ikan di laut. Dan pada saat beliau mengisahkan tentang bagaimana peluru yang
ditembakkan dengan mesin menghujani beliau dan rakyat Aceh, saat beliau
menuturkan itu, saya jadi seperti benar-benar menyaksikannya. Semoga rahmat
Allah senantiasa terlimpahkan kepada beliau, Sultan dalam tahun-tahun
kepedihan.
Berikut ini adalah surat Paduka Sri Sultan Muhammad
Dawud Syah ditulis dalam Bahasa Jawi disertai cap mohor beliau:
Hal. 1. Sumber foto arsip: Koleksi Museum Negeri Aceh. |
BAHWA ini waraqah Al-Ikhlas yang dipesertakan di
dalamnya dengan beberapa2 hormat dan selamat yaitu daripada hamba yang hina Sri
Paduka Yang Dipertuan Raja 'Alauddin Muhammad Dawud Syah Ibnu As-Sultan
Al-Marhum 'Alauddin Manshur Syah dan Sri Paduka Bangta Muda bersemayam di atas
singgahsana tahta kerajaan Negeri Aceh Darussalam, yaitu Pulau Sumatera,
barangdisampaikan Allah Tuhan seru sekalian alam datangkan mendapat kehadapan
majlis hadrat Sri Paduka Yang Mulia Maulana Al-Khaqan Al-A'zham Al-Mu'azhzham
Khadimul Haramain Asy-Syarifain Khalifatul Muslimin Amirul Mu'minin (Tuan kami
Khaqan yang agung lagi dipertuan agung pelayan dua Tanah Haram yang mulia,
khalifah Muslimin, Amirul Mu'mini--MZ.) Maulana Al-Mu'azhham Sultan Al-Ghaziy
'Abdul Hamid Khan Ibnu Al-Marhum Maulana Sultan Abdul Majid Khan yang ada
sekarang di dalam Negeri Istambul yang memerintah Agama Allah dan Syari'at
Muhammad bin 'Abdullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam--Sallamahullah fid darain
(semoga Allah menyelamatkanya di dunia dan akhirat).
Wa Ba'dahu, daripada itu maka hamba merafa'kan
(mengangkat/mengirim--MZ) secarik kertas
ke hadapan Hadarat ke bawa cerpu (sandal kulit yang bentuknya seperti
terompah--MZ) Sri Paduka Tuan hamba karana harap hamba bahwa akan tilik dan
pandang dan kenangan Hadarat Sri Paduka hamba yang mahamulia di atas hamba satu
raja Islam min ahli La Ilaha illal-Llah Muhammad Rasulullah (dari pemeluk La
Ilaha illal-Llah Muhammad Rasulullah--MZ) yang dha'if, dan lagi vizir (wazir)
hamba yang dha'if2 dan segala orang ra'yat hamba Islam yang ada mereka itu di
dalam Negeri Aceh Darussalam yang telah dianiayai oleh kafir mal'un 'aduwullah
(kafir terkutuk, musuh Allah--MZ.) Bangsa Belanda dengan tiada kesalahannya
telah jadi peperangan dan bermusnah2an dengan beberapa2 negeri dan beberapa2
masjid dan segala zawiyah, dan sekalian makam aulia2 habis dibakarnya dan
beberapa2 makam yang tinggi habis diratakannya, dan sekalian makam raja2 habis
dibinasakannya diratakannya.
Demikianlah diperbinasakan di atas Agama Islam hingga
sampai kepada tarikh surat ini kepada dua puluh lima tahun (25) lamanya tiada
berhenti2 dengan perang. Tambah lagi sekarang ini diperanginya kita dengan
peluru hujan tiada ada di dalam hadat (adat/kebiasaan) sekali kali.
Dengan sebab hal ini hamba merafa'kan sembah ke
hadapan Hadarat Sri Paduka Tuan hamba yang maha mulia daripada asalnya yang
telah jadi demikian ini sebab seorang Hindu yang sudah masuk Islam namanya
Panglima Tibang maka mereka itu telah dipercaya oleh ayahanda hamba yang
bernama Sultan Mahmud Syah maka Hindu itulah membuat sepucuk surat kepada
Hulanda diperbuatnya dengan nama ayahanda hamba itu Sultan Mahmud Syah serta
diambil cap dengan tiada diketahui oleh saudara ayahanda hamba Sultan Mahmud
Syah maka Hindu itu pun keluarlah dari Aceh pergi ke Negeri Riau mendapatkan
wakil Hulanda yang di situ lalu pergi ke Betawi kepada gubernur jendral yang
besar daripada Raja Hulanda.
Maka dengan hal itu apabila Gubernur Jenderal
mendapatkan surat yang ada dengan cap mohor ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah
itu percayalah Gubernur Jenderal maka disuruhilah seorang wakilnya serta dengan
berapa bacik (nakhoda--MZ.) kapal perang pergi di Aceh maka apabila sampai di
Aceh baciklah wakil jenderal itu ke darat berjumpalah ia dengan pegawai yang
kecil2. Maka Wakil Jenderal Hulanda pun menyatakan yang Gubernur Jenderal sudah
menerima surat daripada Sultan Mahmud Syah. Sekarang ini ia hendak masuk ke
Negeri Aceh.
Hal. 2. Sumber foto arsip: Koleksi Museum Negeri Aceh. |
Apabila diterima oleh wazir2 yang di dalam Negeri Aceh
terkejutlah dengan hal itu. Bermusyawaratlah wazir2 Aceh yang besar2 itu.
Setelah putus musyawaratnya dipinta tunggu tiga tahun kepada Hulanda oleh sebab
wazir2 itu tiada berani menerima Hulanda masuk ke Negeri Aceh karana saudara
ayahanda hamba Sultan Mahmud Syah umurnya pada masa itu tujuh belas (17) tahun,
belum lagi sempurna aqalnya. Kedua perkara, wazir2 hendak merafa'kan sembah
dahulu ke hadarat yang maha mulia Maulana Daulat Al-'Aliyyah Sultan Istambul
dari karana pada zaman yaitu Daulat Al-Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghaziy Salim
Khan, Nenekda hamba pada zaman masa dahulu yang bernama Sultan Iskandar Muda
telah mengaku menjadi khadam serta menerima karuniai daripada Daulat
Al-'Aliyyah Maulana Sultan AL-Ghaziy Salim Khan satu meriam tembak mirah
panjang dua belas (12) hasta, dan nobat (gendang besar--MZ) dan satu (?) seruas
(?) nafiri daripada perak, dan empat puluh empat (44) orang yang bersama2 [?]
daripada Bangsa Turuki. Dan lagi kemudian daripada itu pada masa Nenekda hamba
yang bernama Sultan Ibrahim Manshur Syah telah menyuruh seorang yang bernama Sayyid
Muhammad Ghuts mengadap ke Hadarat Al-'Aliyyah Maulana Sultan Al-Ghazi Abdul
Majid Khan. Maka mekaruniakan [pada?] oleh Daulat Al-'Aliyyah Maulana Sultan
Al-Ghazi 'Abdul Majid Khan kepada Nenekda hamba itu Sultan Ibrahim Manshur Syah
suatu bintang Majidi (bintang kehormatan Sultan 'Abdul Majid Khan--MZ) serta
sebilah pedang besarung emas.
Dengan sebab itulah musyawarat wazir2 segala ada
dipinta tunggu kepada Hulanda tiga (3) tahun maka permintaan itu tiada
dikabulkan, kemudian lagi dipinta tunggu (tangguh) enam bulan tiada juga
dikabulkan, kemudian dipinta tunggu (tangguh) tiga bulan tiada juga dikabulnya
permintaan itu. Maka peranglah oleh Hulanda Negeri Aceh. Sampai tarikh surat
ini, berperang bangsa Islam2 Aceh dengan bangsa kafir mal'un 'aduwullah
Hulanda.
Lagi diperbuatnya macam2 di atas hamba yang tiada
patut yang di dalam adat aturan di atas sekalian raja2 berperang dengan satu
raja, diperbuatnya seperti seorang perempuan telah diikat dipukulnya, di atas
hamba, satu raja Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah, yang
tiada kuasa usahakan diwushul (dicapai) diperiksanya apa2 yang kurang yang
tiada cukupnya pekakas itu peperangan, dan sekalian kuala2 jajahan hamba
ditutup daripada awalnya dan sekalian saudagar2 yang ulang pergi datang
berniaga barang makanan pun tiada boleh, habis ditangkap dibuangnya.
Maka dengan sebab itulah tiada boleh lepas bicara
hamba mengadukan untungan hamba yang di dalam aniaya kafir Hulanda kepada
Maulana Daulat Al-'Aliyyah Sultan Istambul dan kepada segala raja-raja Islam
yang lain.
Dan ini tambahan lagi di dalam ini tahun makin
berganda2 keras hukumnya hatta sekalian orang2 miskin mencari ikan di tepi laut
pun habis ditangkap rampas dan bunuhnya. Demikianlah diperbuat zhalim di atas
hamba, satu raja Islam min Ahli La Ilaha Illal-Llah Muhammad Rasulullah.
Dan bertambah lagi ini tahun dia ujani hamba dan
rakyat2 hamba dengan ujan peluru dengan "engine" (mesin) hamba yang
tiada kuasa.
Hal. 3. Sumber foto arsip: Koleksi Museum Negeri Aceh. |
Maka hamba haraplah diterima perserahan hamba ini oleh
Tuan hamba yang maha mulia supaya terpeliharalah Agama Allah dan Syariat
Al-Muhammadiyyah dan untungan hamba dan sekalian Islam min Ahli La Ilaha
Illal-Llah Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang di dalam
aniaya mal'un 'aduwullah kafir Hulanda ini.
Hendaklah dengan pertolongan Tuan hamba yang maha
mulia di atas hamba yang dha'if, satu raja Islam dengan sekalian wazir2 Islam
dan sekalian rakya2 Islam yang di dalam Negeri Aceh ini, yang telah haraplah
hamba seperti langit dan bumi akan pertolongan Tuan hamba yang maha mulia
Khalifatullah fil Ardh Amirul Mu'minin Maulana Sultan Al-Ghaziy 'Abdul Hamid
Khan di atas hamba sekalian yang dha'if yang di dalam 'azaban syadidan
("siksa yang pedih") adanya. Wassalam, khitam. Tammatil Kalam bil
khairi Ajma'in. Amin Allahumma Amin.
Tersurat di dalam Negeri Aceh Darussalam kepada 25
bulan Muharram kepada sanah 1315 (H)
Oleh: Musafir Zaman