Kemenangan
1 - Meredakan Kerisauan
Gambar-gambar ini, berikut
bacaan inskripsinya, telah saya siar manakala bulan penuh berkah yang baru saja
meninggalkan kita masih hilal.
Maksud terpendam dari siaran
itu ialah agar di bulan yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak membaca
Al-Qur'an itu, dapat pula, kiranya, dicermati bunyi inskripsi pada makam
peninggalan sejarah Aceh Darussalam abad ke-10 hijriah (ke-16 masehi). Sebab, inskripsi
tersebut juga merupakan ayat-ayat Al-Qur'an, yakni ayat-ayat dalam surat
Al-Fath dari 1 sampai sebagian ayat 4.
Sambil menyimak serta
tadabbur kandungan ayat-ayat dalam surat Al-Fath itu, dapat juga dipikirkan
alasan-alasan atau "munasabah" yang membuat ayat-ayat tersebut
dipahatkan pada kubur peninggalan sejarah dari abad ke-10 (ke-16 masehi) Aceh
Darussalam sebab kandungannya sama sekali tidak bersentuhan dengan persoalan
kematian, kefanaan, kubur atau semisalnya. Sebaliknya, ayat-ayat itu, malah,
mengandung berita gembira tentang akan tibanya kemenangan yang nyata.
Demikianlah maksud terpendam
dari siaran tempo hari. Tapi kemudian muncul kerisauan jika maksud yang
diinginkan tidak dapat dimengerti apabila tidak diutarakan. Bahkan, bisa jadi
disalahpahami dan beralih menjadi semacam permainan tebak-tebak bentuk yang
dilakukan kanak-kanak.
Jika rupa pahatan
sebagaimana terlihat pada gambar-gambar ini menarik perhatian, maka yang
selayaknya dilakukan bukan tebak-tebak tetapi berusaha menyelidiki sedikit
lebih keras untuk kemudian disadari bahwa rupa pahatan yang dilihat itu
semestinya bukanlah rupa benda yang dikenal dalam pengalaman orang hidup di
zaman ini. Rupa itu justru terlahir dari pengalaman orang yang telah
meninggalkan dunia ini sejak ratusan tahun silam. Pengalaman orang atau seniman
yang sudah meninggal dunia itulah yang seharusnya diselidiki dan dikaji,
sehingga arkian diperoleh pengetahuan bahwa rupa tersebut memiliki kaitan erat,
dan bahkan dapat dikatakan, terilhami serta diambil dari dekorasi mushaf
Al-Qu'ran (iluminasi) yang khas masa tersebut di mana bagian pangkalnya telah
diukir menyerupai hulu pedang supaya selaras dengan makna yang ingin
diungkapkan. Tetapi ini bukan topik yang hendak didiskusikan dalam siaran kali
ini atau bahkan sebelumnya.
Bagaimanapun, dan kendati
saya tidak berhasil menyelesaikan tulisan ini dalam bulan Ramadhan yang sudah
berlalu, tapi tetap saja kerisauan itu pada ujung-ujungnya mesti diredakan
seperti halnya kesangsian yang juga mesti disirnakan (asy-syakku yuzal). Karena
itu, saya siar kembali gambar-gambar tersebut beserta bunyi inskripsi dan
beberapa tambahan gambar lainnya.
2 - Tinggalan Sejarah yang
Menghubungkan
Inskripsi:
3 - فَتْحاً مُّبِيناً لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ
4 - مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ
وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ
5 - نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ
صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً
6 - وَيَنصُرَكَ اللَّهُ نَصْراً
عَزِيزاً هُوَ
7 - الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ
(الفتح: 1-4)
Terjemahan:
1- Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih, Maha Penyayang.
2- Sungguh, Kami telah
Memberikan kepadamu
3- kemenangan yang nyata.
Agar Allah Memberikan ampunan kepadamu
4- atas dosamu yang lalu dan
yang akan datang, serta Menyempurnakan
5- nikmat-Nya atasmu dan
Menunjukimu ke jalan yang lurus,
6- dan agar Allah Menolongmu
dengan pertolongan yang kuat (banyak). Dia-lah
7- yang telah Menurunkan
ketenangan
8- ke dalam hati orang-orang
Mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).
(Al-Qur’an surat Al-Fath:
1-4)
Untuk siaran sebelumnya,
saya telah membuat tajuk yang umum: "Aceh Darussalam Abad ke-10 Hijriah
(ke-16 Masehi)". Tujuan membuat tajuk seperti itu tidak lebih dari sekadar
mengajak untuk kembali memberikan perhatian ke bagian akar bangsa, yakni
memahami identitas awal di mana Aceh telah tumbuh pertama sekali dengan
berpangkal padanya. Dan, identitas awal itu dapat saja dijumpai tercetak pada
warisan budaya bendawi. Salah satunya adalah pahatan ayat-ayat surat Al-Fath
pada makam yang berada di kompleks makam peninggalan sejarah Aceh Darussalam
abad ke-10 (ke-16 masehi) di Gampong Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kota
Banda Aceh, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kandang 12 atau
XII--terlepas dari tepat atau tidaknya sebutan tersebut.
Kandang
12 (Baiturrijal). Makam di mana terdapat pahatan ayat-ayat surat Al-Fath berada di antara makam AlMarhum Sultan 'Alauddin bin 'Ali dan Almarhum Sultan 'Ali bin 'Alauddin. |
Makam di mana ayat-ayat
permulaan surat Al-Fath ini dipahat adalah makam yang berada di antara makam
Almarhum Sultan 'Alauddin Ri'ayah Syah bin 'Ali Mughayah Syah (wafat pada hari
Jum'at setelah Shubuh, 8 Jumadil Awal 979 hijriah/28 September 1571 masehi) dan
makam Almarhum Sultan 'Ali Ri'ayah Syah bin 'Ala'uddin Ria'yah Syah (wafat pada
hari Senin, 12 Rabi'ul Akhir 987 hijriah/7 Juni 1579 masehi). Nisan bagian kaki
(selatan), di mana diduga terdapat epitaf pemilik makam, sudah patah dan hilang
sehingga nama, hubungan keluarga, kedudukan serta tarikh wafat pemilik makam
tidak dapat diketahui.
Bentuk nisan di bagian
kepala (utara) beserta ragam hias atau dekorasinya, yang masih tertinggal
sampai hari ini, memberikan peluang untuk suatu keyakinan bahwa pemilik makam
adalah seorang wanita, bahkan boleh jadi satu-satunya wanita yang dikuburkan
dalam pemakaman para sultan Aceh Darussalam abad ke-10 (ke-16 masehi)--jika
satu makam lainnya yang juga tidak diketahui nama pemiliknya adalah laki-laki
yang masih kanak-kanak.
Nisan makam di mana terpahat ayat 1-4 dari surat Al-Fath di Kandang 12. |
Untuk saat ini, satu-satunya
informasi yang barangkali dapat dipergunakan adalah catatan yang dikutip Husein
Djajadiningrat dari Diogo de Couto bahwa pada 1568, Alauddin telah menyerang
Portugis di Malaka bersama isteri dan tiga orang anak laki-lakinya. Couto menyebutkan,
"...bersama istri...". Jasad wanita hebat lagi istimewa, yang menurut
Hikayat Aceh berasal dari "Ujung Tanah", inikah yang terbaring dalam
makam tersebut? Pembaca budiman pasti tahu saya sama sekali tidak dapat menutup
kemungkinan ini!
Bagaimanapun, pahatan
ayat-ayat permulaan dari surat Al-Fath pada badan makam tersebut merupakan
sesuatu yang sangat istimewa. Ayat-ayat ini telah terpahat di sana berabad-abad
lampau. Terpahat pada masa orang-orang yang pastinya tidak pernah dekat dengan kita
secara fisik, bahkan tidak pun kita dapat membayangkan bagaimana roman mereka.
Tetapi, ayat-ayat tersebut adalah juga ayat-ayat yang kita baca hari ini dan
untuk selamanya tanpa berkurang atau berubah satu huruf pun. Mereka membacanya,
dan kita juga membacanya. Dari sisi rentang waktu, mereka memang jauh, namun
dari sisi batin dan pikiran, seharusnya kita sangat dekat dengan mereka
disebabkan 'Bacaan Mulia lagi Abadi' yang sama. Antara kita dan mereka dengan
demikian terhubung. Inilah, kiranya, di antara sisi keistimewaan yang dimiliki
karya seni pahat yang sedang dibicarakan, yakni: menghubungkan! Sementara
keistimewaan lain, nanti, akan diutarakan pula.
3 - Ayat-ayat Memberitakan
Kemenangan
Untuk mencermati kandungan
ayat 1-4 surat Al-Fath, saya memilih uluran bantuan yang diberikan pengarang
Irsyad Al-'Aql As-Salim ila Mazaya Al-Qur'an Al-Karim (Menunjukkan Akal Sehat
kepada Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur'an Al-Karim) atau yang lebih terkenal
dengan Tafsir Abi As-Su'ud (Abis Su'ud).
Inskripsi surat Al-Fath, 1-4 |
Abu As-Su'ud (Abus Su'ud)
Muhammad bin Muhammad bin Mushthafa Al-'Imadiy Al-Hanafiy, atau terkenal dengan
Abu As-Su'ud Afandi--semoga Allah melimpahkan keampunan dan rahmat
kepadanya--adalah Syaikhul Islam dan Mufti di Istanbul (Qusthanthiniyyah) pada
masa Amirul Mu'minin Sultan Sulaiman bin Salim yang masyhur dengan
"Al-Qanuniy" (memerintah, 926-974 H/ 1520-1566 M). Jabatan Mufti yang
merupakan jabatan tertinggi, dan di atas para menteri, dalam ketatanegaraan
Utsmaniyyah (Qanunnamah) diduduki Syaikhul Islam Abu As-Su'ud secara
berkelanjutan sejak 952 hijriah sampai dengan wafatnya pada 982 hijriah dalam
masa pemerintahan Sultan Salim II bin Sulaiman. Dengan demikian, ia merupakan
seorang tokoh ulama yang memangku jabatan Mufti dalam masa terlama, 30 tahun,
di zaman puncak keemasan Daulah 'Utsmaniyyah.
Di
antara model dekorasi Mushhaf Al-Qur'an (iluminasi) yang mengilhami pemahatan ornamen-ornamen yang melingkungi inskripsi ayat-ayat Al-Qur'an pada makam-makam di Kandang 12. |
Di tengah-tengah kesibukan
Abu As-Su'ud yang padat sebagai qadhi dan pengajar, ia telah menyempatkan diri
untuk mengarang tafsir Al-Qur'an Al-Karim, yang kemudian dipersembahkan kepada
Sultan Sulaiman Al-Qanuniy untuk pertama sekali (sampai surat Shad) pada
Sya'ban 973 hijriah, dan untuk yang kedua kali (setelah sempurna) pada tahun
berikutnya.
Thasykubra Zadah dalam
Al-'Iqdul Manzhum fi Zikri Afadhil Ar-Rum (wafat 968 hijriah) menuturkan:
"Kegiatan mengajar,
memberi fatwa dan berbagai kesibukan lain yang lebih penting dan lebih
diperlukan telah merintanginya untuk memusatkan perhatian dalam bidang
kepengarangan (penulisan). Namun begitu, ia mencuri-curi kesempatan yang
kemudian dicurahkan sepenuhnya kepada penulisan tafsir Al-Qur'an, dan ia
kemudian berhasil menulis tafsir yang belum pernah dipikirkan dan didengar
semisalnya. Maka benarlah sebagaimana kata peribahasa: betapa banyak yang
ditinggalkan generasi pertama kepada generasi berikutnya. Tafsir itu diberi
judul: Irsyad Al-'Aql As-Salim ila Mazaya Al-Qur'an Al-Karim (Menunjukkan Akal
Sehat kepada Keistimewaan-keistimewaan Al-Qur'an Al-Karim)..."
Abu As-Su'ud wafat pada
permulaan Jumadil Awal 982 hijriah, dan dimakamkan di samping sahabat
Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Abu Aiyyub Al-Anshariy Radhiyallahu
'anhu.
Pemilihan tafsir Abu
As-Su'ud, di sini, sesungguhnya dilatarbelakangi beberapa alasan:
Di
antara model dekorasi Mushhaf Al-Qur'an (iluminasi) yang mengilhami pemahatan ornamen-ornamen yang melingkungi inskripsi ayat-ayat Al-Qur'an pada makam-makam di Kandang 12. |
Pertama, karena tafsir ini
disusun dalam masa yang sezaman dengan peninggalan sejarah Aceh Darussalam yang
tengah dibicarakan. Tafsir selesai disusun pada 974 hijriah di Istanbul, dan
peninggalan sejarah Aceh Darussalam yang kita maksud berasal dari tahun yang
berkisar antara 979 hijriah (tahun wafat Al-Marhum Sultan 'Alauddin Ri'ayat
Syah) dan 987 hijriah (tahun wafat Al-Marhum Sultan 'Ali Riayat Syah), atau
boleh jadi juga tidak lama setelahnya.
Kedua, karena dalam abad
ini, ilmu tafsir sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam telah
mencapai perkembangan baru di tangan Syaikhul Islam Abu As-Su'ud Afandi, dan
tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa tafsir tersebut merupakan tafsir
terbaik yang pernah disusun. Ini sebagaimana dapat dipahami dari ungkapan
Thasykubra Zadah tadi.
Ketiga, karena penyusun
Kasyf Azh-Zhunun, Haji Khalifah (wafat 1068 hijriah), telah menerangkan bahwa
tafsir ini seusai penyusunannya menjadi sangat terkenal. Naskahnya menyebar di
berbagai kawasan, dan memperoleh perkenan dari para ahli serta ulama-ulama
terpandang lantaran untaian bahasanya yang indah dan kehalusan ungkapannnya. Karena
itu ia dijuluk dengan "khathib al-mufassirin" (sang orator di
kalangan para ahli tafsir Al-Qur'an). Haji Khalifah juga menyatakan,
"Sebagaimana diketahui, selain tafsir Abu As-Su'ud tidak satu pun tafsir
setelah Al-Kasysyaf dan tafsir Qadhi Al-Baidhawiy yang mencapai tingkat
ketenaran dan benar-benar diperhitungkan. Dan ini sebenarnya memang sangat
pantas!"
Dinar Almarhum Sultan Sulaiman bin Salim (Al-Qanuniy) yang ditemukan di Gampong Pande, Kec. Kuta Raja. Banda Aceh, 2013. Foto: Urjal Mee (dokumen pribadi). |
Keempat, karena abad ini
telah menyaksikan masa-masa permulaan hubungan Aceh-Turki atau antara Bani
Muhammad Syah (Lamuri) yang memerintah di Aceh Darussalam dan Bani 'Utsman yang
memerintah di Istanbul. Salah satu bukti bendawi (arkeologis) yang memastikan
hubungan ini adalah temuan mata uang dinar yang tercetak atas nama Sultan
Sulaiman Al-Qanuniy di kawasan situs Gampong Pande beberapa tahun silam. Bukti
bendawi yang secara terang menunjukkan hubungan dalam bidang ekonomi ini pada
gilirannya tentu mengarahkan pikiran kepada adanya hubungan dalam bidang
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Berangkat dari alasan-alasan
ini saya percaya apabila Tafsir Abu As-Su'ud telah sampai di Aceh Darussalam
dan dibaca oleh para ulamanya tidak lama setelah disusun. Dan dari sini saya
juga akan percaya apabila 'tokoh intelektual' yang berdiri di belakang pahatan
ayat-ayat surat Al-Fath, melahirkan ide serta memprakarsai dan memerintahkan
pembuatannya adalah seorang tokoh, yang paling tidak, telah megenal Syaikhul
Islam Abu As-Su'ud Afandi dan membaca karyanya yang tenar. Karena itu saya
ingin kembali mencermati apa yang saya yakin telah pernah dicermati oleh tokoh di
balik pemahatan ayat-ayat surat Al-Fath pada salah satu makam peninggalan Aceh
Darussalam.
Tetapi, jika ternyata
kemudian apa yang saya rajut ini tidak mengena kebenaran; jika "sang tokoh
intelektual" terbukti kemudian tidak mengenal Syaikhul Islam Abu As-Su'ud
dan tidak membaca tafsir yang disusunnya--sedangkan untuk sekarang, saya memustahilkan
hal ini--maka, paling tidak, saya telah mencermati kandungan ayat-ayat tersebut
lewat karya tafsir yang ditulis di sekitar masa yang sama dengan pahatan pada
makam di Aceh Darussalam. Dan ini sudah merupakan bagian prosedur pengkajian
yang saya ikuti.
surat Al-Fath adalah surat
Madaniyyah, diturunkan sesudah Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam hijrah
ke Madinah Al-Munawwarah. Tepatnya, dalam waktu kepulangan Rasulullah
Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam dari Hudaibiyah, tahun keenam hijriah. Jumlah
ayatnya 29 ayat.
Dalam ayat pertama, Allah
menerangkan tentang pembukaan (pembebasan) negeri. Kata Abu As-Su'ud,
membukakan negeri adalah ungkapan dari memenangkannya baik secara damai mapun
kekerasan, dan yang dimaksud dalam ayat ini adalah pembukaan atau pembebasan
Makkah yang telah Allah muliakan. Maksud inilah yang diriwayatkan dari Anas bin
Malik Radhiya-Llahu 'anhu bahwa Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam telah
diberitahukan tentang kabar gembira pembebasan Makkah pada saat beliau beranjak
pulang dari Hudaibiyah. Al-Qur'an memastikan pembebasan tersebut. Pembebasan
itu nyata, dan akan memisahkan antara haq dan batil.
Sebelum dilanjutkan ke makna
ayat yang kedua, kiranya, perlu disinggung pula sedikit tentang Hudaibiyyah
untuk lebih memperjelas sebab turun ayat ini, dan itu hanya dalam satu alinea
berikut:
Hudaibiyah adalah satu
kampung berjarak kurang lebih 20 km dari Makkah, di jalan antara Makkah dan
Jeddah, sekarang. Pada tahun keenam hijriah, bulan Dzul Qa'dah, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersama 1500 shahabat bergerak dari Madinah
menuju Makkah untuk menunaikan 'umrah. Ketika beliau dan Muslimin tiba di Dzul
Hulaifah, mereka melakukan ihram dan memakai pakaian ihram untuk menunjukkan
kepada orang-orang Musyrik di Makkah bahwa mereka tidak datang untuk menyerang
dan tidak membawa persenjataan kecuali sekadar untuk membela diri. Namun
orang-orang musyrik menyangka Rasulullah akan menyerang. Orang-orang musyrik
berang dan bersiap untuk mencegat beliau. Rasulullah lantas mengutus Utsman bin
'Affan Radhiyallahu 'anhu untuk menjelaskan maksud kedatangan beliau dan
Muslimin. Tapi, 'Ustman dikabarkan kemudian telah dibunuh. Muslimin berkumpul
untuk bersumpah setia membela Rasulullah sampai titik darah penghabisan. Sumpah
setia itu, dalam sejarah Islam, dikenal dengan Bai'ah Ar-Ridhwan. 'Utsman
ternyata kemudian masih hidup dan tidak terbunuh. Orang-orang musyrik mengirim
utusannya kepada Rasulullah. Utusan tersebut, sekembalinya, mengabarkan bahwa
Muhammad memiliki para shahabat yang sangat mencintainya, dan mereka tidak akan
pernah meninggalkannya. Utusan itu juga menyarankan supaya orang-orang musyrik
membuat kesepakatan dengan Rasulullah. Mereka, lantas, mengirim Suhail bin 'Amr
untuk membuat kesepakatan yang disebut dengan Perjanjian Hudaibiyah (shulhu
Hudaibiyah). Dalam perjanjian itu ikut disepakati penghentian perang selama 10
tahun, dan Muslimin mengurungkan maksud mereka memasuki Masjid Al-Haram dalam
tahun itu dan diperbolehkan memasukinya tahun depan. Dan ketika Rasulullah
'Alaihi Afdhalush Shalawati was Salam hendak beranjak pulang dari Hudaibiyah,
Allah Subhanahu Wa Ta'ala mewahyukan kepada beliau ayat-ayat surat Al-Fath
untuk memberitakan tentang kemenangan yang nyata, yang kelak terjadi pada tahun
kedelapan hijriah (Fathu Makkah).
Selanjutnya, ayat kedua
dalam surat Al-Fath menjelaskan bahwa pembukaan atau pembebasan Makkah itu
adalah agar Allah Mengampunkan Rasul-nya atas dosa-dosa yang telah lalu dan
yang kemudian, dan untuk Menyempurnakan nikmat-Nya kepada beliau, serta Menunjuki
beliau jalan yang lurus .
Abu As-Su'ud mengatakan, pengampunan tersebut merupakan konsekuensi dari kiprah dan perjuangan Rasulullah dalam meninggikan Agama Allah. Sedangkan dosa-dosa yang dimaksud adalah segala kekurangan akibat meninggalkan sesuatu yang lebih utama (bukan sebab maksiat). Dan agar Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada beliau dengan meninggikan Agama-Nya serta dengan menggabungkan kepada Rasulullah [nikmat] kekuasaan di samping [nikmat] kenabian, begitu pula berbagai nikmat lainnya baik yang bersifat diniyyah (keagamaan) maupun duniawiyyah (keduniaan). Dan lagi, agar Allah menunjuki beliau jalan yang lurus dalam menyampaikan risalah, meletakkan metode-metode kepemimpinan, dan dasar istiqamah. Sekalipun semua itu sudah ada sebelum pembebasan Makkah, namun terangnya jalan-jalan kebenaran serta kelurusan berbagai metodenya adalah sesuatu yang terwujud setelahnya (pembebasan Makkah).
Pembebasan itu juga
memaksudkan agar Allah Menolong beliau dengan sebuah pertolongan yang hebat,
sebagaimana dinyatakan berikutnya dalam ayat ketiga surat Al-Fath. Yakni,
pertolongan yang di dalamnya adalah kemuliaan dan kekuatan.
Ayat keempat lantas memuat
pernyataan bahwa Allah-lah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
yang beriman supaya semakin bertambah iman mereka. Pernyataan tersebut,
sebagaimana kata Abu As-Su'ud, menjelaskan tentang prinsip-prinsip pembebasan,
yakni keteguhan dan ketenangan yang dilimpahkan Allah ke dalam hati mereka
disebabkan perdamaian dan keamanan yang dianugerahkan-Nya, dan itu supaya
bertambah keyakinan mereka di atas keyakinan yang sudah ada.
4 - Mereka Ternyata
Mengungkapkan!
Sekarang, setelah menyimak
penjelasan makna ayat 1-4 surat Al-Fath yang ditulis Syaikhul Islam Abu
As-Su'ud Afandi dalam Tafsirnya, maka saya ingin membaca ayat-ayat yang mulia
itu sekali lagi.
Ada sesuatu yang mengalir
dalam urat pikiran saat membacanya, dan itu bukan tangisan, bukan ratapan,
bukan apapun yang menjadi ciri atau tanda kelemahan. Tidak apapun yang
berhubungan dengan kematian, kemalangan, kehilangan atau lain semisalnya. Tapi
justru sebuah harapan, semangat, keberanian, kepahlawanan, dan lebih dari itu
adalah kedekatan dengan Yang Maha Tinggi. Bumi tampak begitu dekat dengan
langit, dan saya seolah-olah sedang tidak berada di depan kubur, tapi di depan
mimbar di mana seseorang di atasnya sambil mengangkat pedang berkhotbah
berapi-api dan penuh keyakinan akan turunnya pertolongan dari Allah serta
kemenangan dari-Nya.
Saya tercengang dan dalam
benak bertanya: ada apa ini sebenarnya?
Sampai di sini, pahatan
ayat-ayat tersebut mulai memperlihatkan bayang-bayang dari sebuah pengungkapan
yang perlu diselidiki dan diperjelas. Saya kira, dalam hal ini, saya layak
meminta perhatian penuh dari Pembaca sebab sepertinya tidak pernah ada seorang
penulis sejarah pun yang menyadarkan kita bahwa pahatan tersebut pada
hakikatnya adalah pengungkapan. Pengungkapan dari saksi mata--atau sekaligus
juga di antara pelaku--peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di pertengahan
kedua abad ke-10 (ke-16 masehi) Aceh Darussalam.
Kaidah yang sudah dimaklumi
bahwa pelajaran (al-'ibrah) dari ayat-ayat Al-Qur'an diambil dengan keumuman
lafazdnya, bukan dengan kekhususan sebab turunnya. Dari itu, ayat-ayat
permulaan surat Al-Fath yang dinukilkan dan dipahat pada makam seseorang
tentunya adalah karena ada suatu hubungan (munasabah) antara sikap orang yang
dimakamkan dengan makna-makna terkandung dalam ayat-ayat tersebut.
Pahatan ayat-ayat tersebut,
kemudian, menuntut kita untuk kembali ke pertengahan abad kedua abad ke-10
hijriah, atau lebih tepatnya ke tahun-tahun antara masa pemerintahan Sultan
'Alauddin bin 'Ali Mughayat Syah yang wafat pada 979 hijriah dan masa
pemerintahan Sultan 'Ali Ri'ayat Syah yang wafat pada 987 hijriah, untuk
melihat persoalan yang telah menjadi pusat perhatian utama para penguasa Aceh
Darussalam pada masa itu. Yakni, sebuah persoalan yang pada gilirannya tentu
telah melahirkan berbagai peristiwa besar dalam sejarah Aceh Darussalam.
Kembali ke pertengahan abad
kedua abad ke-10 (ke-16 masehi) Aceh Darussalam berarti kembali ke
sumber-sumber tertulis dari masa itu. Dua sumber yang tertulis dalam bahasa
Jawi (Melayu), dan populer digunakan para sejarawan, yakni Hikayat Aceh dan
Bustanus Salatin, ternyata tidak begitu banyak membantu. Selain kedua sumber
ini tidak berasal dari masa yang kita maksud, hikayat tentang tokoh-tokoh
penguasa Aceh Darussalam di abad ke-10 hijriah yang diceritakan pun sangat
singkat dan tidak semuanya dapat dipercaya. Namun demikian, Bustanus Salatin
sempat menyatakan tentang Sultan 'Alauddin Ri'ayah Syah bin 'Ali Mughayat Syah
bahwa 'ia-lah yang pertama2 ghazi dengan segala kafir, hingga sendirinya
berangkat menyerang Melaka'. Pernyataan ini penting dan nantinya akan
memperoleh dukungan dari sumber-sumber lain.
Selain epitaf pada
kubur-kubur peninggalan sejarah, maka sumber-sumber tertulis yang autentik
lainnya dari abad ke-10 hijriah Aceh Darussalam dengan sangat terpaksa mesti
diakui belum ditemukan sampai dengan hari ini. Kenyataan ini, mau tidak mau,
harus diterima sekalipun bukan berarti pasrah pada keadaan. Kenyataan [sepahit]
ini sudah sepantasnya menjadi pendorong untuk kita semakin giat mencari, dan
sudah semestinya pula kita bersedia untuk memasuki celah sesempit dan sebahaya
apapun untuk menemukannya.
Saat ini, untuk dapat
menjawab pertanyaan: persoalan apakah yang menjadi titik perhatian utama para
penguasa Aceh Darussalam dalam pertengahan abad ke-10 hijriah, kita tidak punya
peluang melainkan dengan membuka catatan-catatan asing yang berasal dari zaman
tersebut. "Asing", di sini, tidak saja berarti berbeda warna kulit
dengan orang-orang Aceh Darussalam, tapi juga berbeda agama dan begitu pula
budaya. Satu hal lain lagi yang justru teramat penting untuk diperhitungkan
pula ialah: "asing" yang dimaksud di sini ternyata adalah musuh Aceh
Darussalam yang secara terang-terangan mengaku punya rencana dan upaya busuk
terhadap Islam dan negeri-negeri Islam. "Asing" yang dimaksud di sini
adalah Portugis, bangsa Eropa pertama yang memiliki tanah jajahan di berbagai
kawasan Islam.
Sumber-sumber asing ini,
dengan demikian, adalah sumber-sumber yang sudah selayaknya diwaspadai.
Berbagai rincian yang diberikan sumber-sumber ini, selain terkadang hanya
mewakili perspektif individual seorang asing yang berpihak kepada pandangan dan
misi bangsanya, juga belum tentu diperoleh dari kenyataan-kenyataan yang
sebenarnya lantaran dirintang sekat-sekat [fisik dan moril] yang tidak mungkin
ditembus dan dilampaui. Sekat-sekat itu bisa bersifat politis, agama ataupun
budaya. Tetapi, untuk dapat mengetahui persoalan yang menjadi pusat perhatian
para penguasa Aceh Darussalam dalam abad ke-10 hijriah, saya kira,
catatan-catatan asing lagi musuh ini dapat digunakan.
Husein Jayadiningrat
(1886-1960) dalam hasil penyelidikannya yang bermutu dan fundamental mengenai
genealogi Kesultanan Aceh telah mengutip sumber-sumber Portugis yang antara
lain: Joao de Barros (1496-1570), sejarawan Portugis yang menulis Décadas da
Ásia; Fernao Mendez Pinto (1509-1583), penulis dan penjelajah Portugis, penulis
otobiografi "Peregrinação"; Diogo de Couto (1542-1616), sejarawan
Portugis, penulis "Decadas".
Berbagai kutipan yang
dipetik Jayadiningrat dari sumber-sumber Portugis menggambarkan bagaimana
ketegangan hubungan antara Aceh Darussalam dan Portugis sudah terjadi sejak
permulaan kebangkitan Aceh Darussalam di permulaan abad ke-10 (ke-16 masehi).
Dari J. de Barros,
Jayadiningrat menukilkan tentang Malik Ibrahim yang menguasai Pasai dan
mengusir orang-orang Portugis pada 1524 (930-931 hijriah).
Kemudian, dari Couto, ia
menukilkan informasi sebagai berikut:
"Setelah Sultan
"Alaharadi" (Maksudnya, 'Alauddin) dari Aceh menaklukkan Ujung Tanah
dan sultannya yang bernama "Salaudi" (anak dari "Mahamed"
yang kerajaanya diambil Antonio d'Albuquerque) berhasil ditangkap dan dibunuh,
(pada waktu itu 'Alauddin adalah dipertuan di Pedir, Pasai dan Aru). Ia juga
mengirim utusan ke Turki, Jawa dan India untuk mengadakan suatu persekutuan
menentang Portugis. Sesudah dua tahun mengadakan persiapan, pada bulan Januari
1568, ia menyerang Malaka bersama istri dan tiga orang anak laki-lakinya. Dalam
penyerangan itu, ia kehilangan anaknya yang tertua yang menjabat sebagai Raja
Aru."
Couto, kata Jayadiningrat,
juga menceritakan tentang pengepungan terhadap Malaka oleh orang-orang Aceh
pada 1573 (980-981 hijriah, masa Sultan 'Ali Ri'ayat Syah) dan kemudian pada
bulan Februari 1575 (Syawwal-Dzul Qa'dah 982 hijriah, beberapa bulan setelah
wafat Sultan 'Ali Ri'ayat Syah), tapi penyerangan ini tiba-tiba dihentikan
dalam tempo 17 hari.
Informasi-informasi dari
berbagai sumber Portugis serta lainnya tentang perjuangan Aceh Darussalam
mengusir bangsa penjajah itu telah dikumpulkan Amirul Hadi dalam tesis yang
diajukannya pada Institute of Islamic Studies, McGill University, tahun 1992.
Tesisnya bertajuk: Aceh and Portuguese; A Study of The Struggle of Islam in
Southeast Asia 1500-1579.
Amirul Hadi dalam tesisnya
itu, antara lain, menukilkan terjemahan Inggris sebuah ultimatum yang disalin
Pinto dalam memoarnya. Ultimatum tersebut, menurut keterangan Pinto,
dikeluarkan komandan Aceh Darussalam kepada komandan Portugis, Simão de Mello,
dalam pengepungan Malaka pada 1547 masehi.
Halaman
264 "Peregrinação" oleh Fernão Mendes Pinto (1583) yang diterbitkan pada 1614 memuat ultimatum yang diarahkan Aceh Darussalam kepada Portugis di Malaka. |
"Aku, Biyayaa Soora (?) putra Seribiayayaa (saya belum dapat mengidentifikasi tokoh ini), Pracama de Raja (Paduka Raja?), yang demi kehormatan dirinya, maka karunia Sultan Agung 'Alauddin telah disimpan jauh dalam peti-peti emas permata dalam bentuk dian yang diharumkan butir-butir kemenyan dari Baitullah di Makkah. Raja Aceh dan penguasa tanah negeri dari laut ke laut, dengan ini, memberitahukan kepadamu untuk kemudian agar kausampaikan kepada rajamu di laut ini, di mana aku datang berlabuh, untuk menghantui bentengnya dengan kekuatanku. Aku bermaksud untuk terus "menangkap ikan" di sini selama aku suka, tanpa memperdulikan dia, meski apapun yang terjadi. Dan, untuk membuktikan kebenaran kata-kataku, maka aku mengambil alih kekuasaan atas tanah ini dan segenap penghuninya serta seluruh unsur di atasnya sampai ke langit. Lain dari itu,
Peristiwa-peristiwa yang
diberitahukan berbagai sumber Portugis secara terang memperlihatkan persoalan
yang telah menyita sebagian besar perhatian para penguasa Aceh dalam
pertengahan kedua abad ke-10 (ke-16 masehi). Pengusiran Portugis dan pembebasan
kota Islam Malaka menduduki tempat paling pertama dalam agenda politik dan
militer Aceh Darussalam. Maka, tepatlah sebagaimana dinyatakan seorang Eropa
bahwa Aceh bagi Portugis adalah musuh yang takkan pernah terdamaikan.
Ayat-ayat 1-4 surat Al-Fath
yang terpahat pada makam wanita di Kandang 12 ternyata adalah pengungkapan dari
sebuah cita-cita yang telah dibawa sampai mati!
Pengusiran Portugis dan
pembebasan kota Islam Malaka yang dipahami oleh Barat sebagai semata-mata
ambisi politik untuk memperluas kekuasaan dan pengaruh Aceh Darussalam, pada
hakikatnya, merupakan gerak yang takkan pernah surut demi I'la' Kalimatillah
(meninggikan agama Allah), jihad yang berkesinambungan sampai dengan Allah
menurunkan kemenangan kepada Muslimin dan hamba-Nya yang shalih, Sultan Agung
Iskandar Muda--Rahimahullah-- dalam abad ke-11 (ke-17 masehi). Dan, kemenangan
Muslimin di abad ke-11 itu telah mengizinkan imperialisme Portugis lenyap untuk
selamanya, 'panji-panjinya jatuh tergeletak, diinjak-injak dalam debu, dan
tidak akan pernah bangkit lagi dengan seizin Tuhan yang telah mengalahkannya'.
Bitai, 13 Syawwal 1437
Oleh: Musafir Zaman di Group Facebook Mapesa Aceh
Oleh: Musafir Zaman di Group Facebook Mapesa Aceh
1. Irsyad Al-'Aql As-Salim
ila Mazaya Al-Qur'an Al-Karim (Tafsir Abi As-Su.'ud)
2. Al-'Iqd Al-Manzhum fi
Dzikr Afadhil Ar-Rum
3. Syaikhul Islam Abus Su'ud
Afandi (892-982 H/1493-1574 M)
4. Kasyf Azh-Zhunun 'an
Asamil Kutub wal Funun
5. At-Tafsir wal Mufassirun
6. As-Sirah An-Nabawiyyah:
Durus wa 'Ibar
7. Hikayat Aceh
8. Bustanus Salatin
9. Kesultanan Aceh
10. Aceh and Portuguese
11. The Voyages and Adventures
of Ferdinand Mendez Pinto
0 Komentar