Jirat' atau 'jrat' dalam bahasa Aceh adalah kubur. Kata ini berasal dari kata 'ziyarah' dalam bahasa Persia yang berarti kubur. Persia mengambilnya dari bahasa Arab, 'ziyarah' yang berarti berkunjung atau berziarah sebagaimana dalam satu hadits Nabi saw. yang memuat keterangan tentang pembolehan mengunjungi kubur. 'Fa-zuruha': maka kunjungilah kubur-kubur itu (untuk mengambil i'tibar dan pelajaran), demikian sabda Nabi saw.. Persia lalu
menggunakan kata 'ziyarah' dari 'fa-zuruha' ini untuk memaksudkan kubur
itu sendiri.
Di makam-makam tua Samudra Pasai ditemukan pula kata 'ziyarah' digunakan untuk maksud kubur sebagaimana dalam bahasa Persia. Gambar ini adalah salah satu batu nisan makam di komplek pemakaman Kesultanan Samudra Pasai periode III, di Meunasah Meucat, Blang Me, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, di mana terdapat inskripsi berbunyi: 'Ziyarah Paduka Yuhan Khoj Sultan Khoj Ahmad', artinya inilah kubur Paduka tersebut.
Kata 'ziyarah (ziyarat)' ini kemudian mengalami sedikit perubahan dalam
penuturan Aceh menjadi 'jirat' atau 'jrat'. Ini merupakan salah satu petunjuk penting bagi jaringan kebudayaan Islam yang tumbuh di Aceh: dari Arab-Persia-India (yang menerima pengaruh kebudayaan Islam Persia semenjak pemerintahan Dinasti Al-Ghaznawi sampai dengan Mamalik di Delhi)-Samudra Pasai (yang menerima pengaruh dari ketiga kawasaan kebudayaan Islam tersebut)-lalu Aceh Darussalam (yang menjadi pewaris Samudra Pasai dan pengembang kebudayaan Islam di Asia
Tenggara).
Karena itulah, saat berada dekat dengan kawasan tinggalan
sejarah Samudra Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam, kita akan merasa berada di salah satu pangkalan kebudayaan Islam di dunia. Kita dapat menyadari bahwa kita adalah salah satu masyarakat dunia sejak dahulu kala, berjiwa kosmopolit dan terbuka, memanggul tugas dan tanggung jawab yang luas bagi kebaikan umat manusia.
Kesadaran itu hendaknya membawa kita kepada kesadaran yang lain, bahwa
amanah sejarah mewajibkan kita untuk kembali mengambil dan melanjutkan peran historis yang telah dilakukan oleh para pendahulu. Suatu yang mutlak perlu kemudian, adalah agar kita dapat berbenah supaya layak memanggul tugas besar tersebut. Baik pula andai dimulai dengan memperbarui struktur
epistimologis (bina' ma'rafiy) kita, membebaskannya dari dekte-dekte imperialisme Barat dalam berbagai rupanya. Sulit, memang, tapi bukan
bangsa yang patriotik namanya bila tidak mampu melampaui berbagai
kesulitan dan kepayahan. Kita ingin supaya para pendahulu bangsa ini dapat memandang kita sebagai anak-cucu pewaris dan penerus mereka. "Khairu khalaf li khairi salaf" (penerus yang baik bagi pendahulu yang baik)! (Mapesa/MS).