Penjelajah
BAGI yang kita yang tinggal di kota-kota pesisir laut,
pantai adalah suatu tempat yang akrab. Apalagi kota-kota atau daerah-daerah
yang memiliki panorama pantai yang indah, di sanalah salah satu tempat ideal
untuk merajut kenangan. Hamparan biru, pasir nan halus, alun gelombang, riuh
riak, desir angin, mentari terbit, mentari terbenam, dihiasi lagi dengan
senyum, tawa dan canda orang-orang yang tersayang, semua itu akan menjadi
partikel-partikel penyusun sebuah nostalgia yang akan selalu terkenang di
kemudian hari.
Kompleks makam keluarga ullama sekaligus pelayar tampak dari sisi timur. Syamtalira Bayu, Aceh Utara. |
Dalam pada itu semua seringkah kita berdiri menghadap
bentangan biru yang seolah tak ada ada pengujungnya itu sambil bertanya: apa
atau siapakah yang berada pas setentang dengan kita di seberang sana?
Barangkali, jangankan untuk menanyakan, pertanyaan itu
sendiri perlu dipertanyakan, untuk apa? Untuk apa kita harus berpikir atau
mempertanyakan apa dan siapa yang berada setentang kita di seberang sana. Apa
gunanya? Dan andai pun kita mempertanyakannya, lantas apa? Bukankah itu suatu
hal yang kurang kerjaan namanya?! Untuk apa kita merusak suasana yang
menyenangkan hanya untuk mempertanyakan apa dan siapa yang berada di seberang
sana?
Begitulah, mungkin, kita sekarang, namun pertanyaan
apa atau siapakah di seberang sana itu sesungguhnya pernah menjadi sesuatu yang
sangat mengusik pikiran mereka yang hidup di zaman lampau.
Pertanyaan tersebut jarang mengusik kita, bukan karena
kita sudah punya sarana informasi dan komunikasi mutakhir untuk mengetahui
jawabannya, tapi karena memang sama sekali kita tidak merasa perlu untuk
mempertanyakan. Untuk apa kita menyibukkan diri dengan apa dan siapa di
seberang sana? Kita sedang menikmati hidup kita di sini; apa dan siapa di
seberang sana bukanlah urusan kita.
Tapi mengapa pertanyaan itu mengusik mereka yang hidup
di masa lampau? Apa mereka itu kurang kerjaan? Mengapa mereka tidak menikmati
saja apa yang mereka hidupi pada waktu itu seperti kita menikmati hidup kita di
waktu sekarang?
Ya, mereka memang kurang kerjaan. Mereka terus
mencari-cari kerjaan, berusaha untuk selalu mendapatkan apa yang harus mereka
lakukan. Hidup bagi mereka bukan untuk menikmati apa mungkin yang diperoleh,
tapi untuk selalu dapat menikmati berbagai usaha untuk memperoleh apa yang
ingin diperoleh.
Mengapa demikian? Tidak lain adalah karena mereka
penjelajah. Berpikir sebagai seorang penjelajah, bergerak sebagai seorang
penjelajah, dan akhirnya berwatak sebagai seorang penjelajah. Maka jangan
tanyakan kepada penjelajah, kapan Anda akan berhenti dan menikmati apa yang
telah Anda peroleh dari usaha Anda? Sebab jawabnya pasti: tidak akan pernah.
Mengapa? Karena penjelajah sesungguhnya sedang menikmati hidupnya sebagai
penjelajah.
Para penjelajah setiap saat dapat memetik buah-buah
pengetahuan dan pengalaman yang baru serta mampu membentuk jaringan yang sangat
luas, berkomunikasi dengan berbagai bangsa dengan berbagai bahasa, dan pada
gilirannya semua itu akan menjadi modal untuk membangun sebuah peradaban.
Tahulah kita kemudian, mengapa mereka berada dalam
kemajuan di zaman mereka, dan mengapa kita berada dalam kemunduran di zaman
kita. Sebab, kita tidak pernah pun merasa perlu untuk mempertanyakan apa dan
siapa yang berada setentang kita di seberang sana? Kita telah menggunci
kehidupan kita di sini dalam kehidupan yang menurut kita sudah sangat
memuaskan.
Dan sadarlah kita pula, mengapa kita berada dalam
keterbelakangan, sementara bangsa-bangsa lain berada di peringkat tertinggi
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sebab kita bukan penjelajah.
Kita hanya orang yang memadai diri dengan hasil yang dibawa pulang oleh para
penjelajah, dan dengan demikian akan selamanya berketergantungan kepada para
penjelajah.
Mengapa akan selamanya? Ya, karena jangankan punya
keberanian untuk mengarungi laut di depan kita untuk menuju ke seberang,
sekadar mempertanyakan apa atau siapakah di seberang sana pun tidak! Maka sayang
sekali ketika sejarah yang diukir para pendahulu berbeda 180 derajat dengan
kenyataan kita hari ini. Kelak, kita akan menjadi bagian dari sejarah, namun
generasi masa depan barangkali akan buru-buru melewati halaman-halaman yang
mencatat sejarah kita sambil bergumam: “Tidak ada yang penting.”
Mengapa saya menulis mukadimah yang bertele-tele dan
jelek ini? Bagaimanapun, ia adalah semacam umpan balik dari data-data sejarah
yang baru saja diketemukan sebelum kemarin hari. Data-data sejarah yang melibas
saya dengan berbagai tanda tanya. Rasanya seperti terkena cemeti api. Apa yang
saya tulis di atas hanya untuk memperlihatkan sedikit bekas cemeti api yang
mendera saya itu kepada Anda.
Apa yang baru diketemukan itu? Atau tepatnya, dengan
siapa saya dan teman-teman baru saja bertemu?
Kami baru saja bertemu dengan para penjelajah atau
tepatnya lagi keluarga penjelajah dari zaman Samudra Pasai. Sebelum saya
membeberkan kisah pertemuan itu dan siapa mereka, saya yakin Anda sudah banyak
tahu tentang Kerajaan Islam Samudra Pasai atau Sumutrah—nama ini kemudian telah
terabadikan menjadi nama pulau terbesar di bagian paling barat Asia Tenggara.
Kompleks makam keluarga ullama sekaligus pelayar tampak dari sisi timur. Syamtalira Bayu, Aceh Utara. |
Anda tentu sudah tahu tentang pandangan para sejarawan mengenai kerajaan Islam ini: ia adalah sebuah kerajaan yang telah mengembangkan Islam di Asia Tenggara. Pandangan atau pernyataan ini tentu tidak sesederhana kalimat yang diucapkan. Mengembangkan Islam di Asia Tenggara adalah sebuah aktifitas berskala raksasa yang memerlukan ragam modal. Modal paling utama di antaranya adalah kehandalan di dunia kelautan dan pelayaran.
Pertanyaannya kemudian: apakah Samudra Pasai
benar-benar memiliki modal ini?
Temuan sebelum kemarin itu menyodorkan bukti yang
terang bahwa Samudra Pasai benar-benar memiliki modal tersebut. Suatu bukti
yang secara jelas dapat menunjukkan bahwa orang-orang Samudra Pasai telah
berkelana jauh ke berbagai pelosok dunia, terutama di Asia Tenggara. Bukti
dalam jenis ini hakikatnya sangat jarang dimiliki oleh wilayah lain di Asia
Tenggara.
Sebelum kemarin itu (Jumat, 21 Agustus) Muhammad Nasir
(Bang Syin) eks kombatan GAM, dan Abdul Hamid, Ketua CISAH, telah menemukan
satu kompleks pemakaman keluarga pelaut/pelayar zaman Samudra Pasai bertaraf
elit di kawasan Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
Ini merupakan salah satu temuan terpenting bahkan
paling bernilai dalam jenisnya bagi sejarah Samudra Pasai sebab merupakan
kompleks pemakaman keluarga pelaut yang berada dalam wilayah Aceh Utara dan
terdekat dengan kawasan bekas pusat pemerintahan Samudra Pasai (kawasan inti).
Sebelumnya, sejak beberapa tahun silam, CISAH sudah berhasil menemukan sebaran
permukiman masyarakat pelaut dalam wilayah Lhokseumawe: Blang Weu, Jileukat,
Alue Lim, Kandang, Banda Sakti.
Temuan kali ini adalah di luar Lhokseumawe namun tetap
memiliki akses langsung ke Teluk Samawi dikarenakan letak pemakaman atau
permukiman kuno di Syamtalira Bayu tersebut hanya berjarak sekitar 2 km dari
bibir laut Teluk Samawi (Kuala Lancok), dan dihubungkan oleh sebuah aliran
sungai yang sekarang sudah tidak berfungsi lagi.
Barisan nisan dengan epitaf pada sisi kiri nisan sebelah utara (kepala). Syamtalira Bayu, Aceh Utara. |
Dari sumber seorang warga yang sudah berusia lanjut
diketahui bahwa sungai kuno itu dulunya disebut dengan sungai Syamtalira.
Kemudian, saat ditanyakan tentang profesi yang rata-rata ditekuni oleh warga di
kawasan Syamtalira Bayu tersebut, Bang Syin menjawab, hampir 90 % warganya yang
laki-laki adalah nelayan. “Di sini yang berprofesi sebagai pawang kapal ikan
juga banyak,” tambahnya lagi.
Diketahui sebagai kompleks pemakaman keluarga pelaut
adalah dari beberapa nama yang terpahat pada batu nisan. Memang, epitaf makam
tidak memuat penanggalan wafat, namun dari bentuk-bentuk batu nisannya dapat
diperkirakan pemakaman ini berasal dari abad ke-14 dan ke-15 M.
Sesuatu yang unik pada beberapa batu nisan di
pemakaman ini ialah pemahatan nama dalam kotak pada sisi kiri nisan sebelah
utara (nisan kepala), sehingga terlihat seperti pelat nomor. Ini unik dan baru
kali ini ditemukan yang demikian rupa, dan sengaja dibuat hanya untuk dapat
dikenali pemilik masing-masing kubur.
Berikut adalah nama-nama pemilik kubur dalam kompleks
pemakaman ini sesuai inskripsi yang terdapat pada nisan (berurut dari sebelah
barat ke timur):
Makam Barjan Al-Hadashtan Khatib Husain (abad ke-14). Syamtalira Bayu, Aceh Utara. |
1. برجن الهداشتان خطيب حسين غفر الله له وأله أجمعين
1. Nisan makam bercorak nisan abad ke-14 M.
2. Barjan: sebuah nama asing yang belum dapat
diketahui berasal dari bahasa mana, namun Hadashtan mengingatkan Adashtan yang
merupakan nama kuno dari salah satu wilayah dekat Kashmir. (Lihat, Al-Biruni
dalam Tahqiq Ma lil Hind; Rasyiduddin Al-Hamzani dalam Jami’ At-Tawarikh; H. M.
Elliot dalam The History of India Vol. II).
3. Pemilik kubur bernama Khatib Husain. Gelar “khatib”
pada awal nama tampaknya berkaitan dengan pekerjaan resminya sebagai khatib
masjid.
4. Dikarenakan sebelum nama Khatib Husain terdapat
nama lain, yaitu Barjan Al-Hadashtan, maka timbul keyakinan bahwa Barjan
Al-Hadashtan ini adalah gelar atau sebutan untuk Khatib Husain. Dengan
demikian, Khatib Husain adalah kepala keluarga dari orang-orang yang dikuburkan
dalam kompleks ini.
2. إسماعيل (بـ؟) برجن
Komentar:
1. Nisan makam bercorak nisan abad ke-14 M.
2. Salah seorang putra Barjan.
Inskripsi pada nisan Bab bin Paduka Mu'allim Khoj bin Malik Thahud bin Barjan (abad ke-15 M). Syamtalira Bayu, Aceh Utara. |
3.
أ.
a. باب ابن بادك
b. معلم خوج
c. ابن ملك طاهود ابن برجن
3.
a. Bab ibnu Paduka;
b. Mu’allim Khoja;
c. Ibnu Malik Thahud bin Barjan.
Komentar:
1. Nisan makam bercorak nisan abad ke-15 M.
2. Bab adalah putra dari Paduka Mu’allim Khoj atau Khoja. Dari gelar
“paduka” tampak jelas orang yang dipanggil dengan Mu’allim Khoj ini
adalah salah seorang pejabat kerajaan. Mu’allim adalah gelar terkenal
untuk seorang pelayar atau nakhoda, sementara Khoja selain dapat berarti
syaikh (guru) dalam bahasa Persia, kata ini juga berarti pedagang. Khoj
di sini tampaknya bermakna pedagang. Dari sini tampaknya dapat dibuat
kesimpulan sementara bahwa ayah Bab adalah seorang pelayar dan pedagang
yang memiliki kedudukan penting dalam Kerajaan Samudra Pasai. Namun ayah
Bab tidak ditemukan kuburnya dalam kompleks makam ini. Sekalipun
demikian, dan andai kata pun kuburnya sama sekali tidak ditemukan dalam
kawasan Syamtalira Bayu, maka ini adalah suatu hal yang dapat dimaklumi
sebab dari namanya Paduka Mu’allim Khoj dapat dimengerti dialah orang
yang telah ditugaskan untuk berkelana ke berbagai pelosok dunia.
3. Kakek Bab adalah seorang berstatus Malik atau Raja dan bernama Thahud
bin Barjan. Kuburnya berada di sebelah kiri (timur) kubur Bab (cucu dan
kakek berdampingan)
Inskripsi pada sisi kiri nisan Malik Thahud bin Barjan (abad ke-14).
Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
|
4. Malik Thahud bin Barjan.
Komentar:
1. Nisan makam bercorak nisan abad ke-14 M.
2. Di kompleks ini, Thahud adalah satu-satunya putra Barjan yang
bergelak “malik” atau raja. Ia dengan demikian merupakan seorang
pembesar kerajaan yang memerintah suatu wilayah geografis atau mengurusi
sebuah bidang penting dalam kerajaan. Mengingat beberapa saudaranya
adalah mu’allim (pelayar), kiranya, boleh pula diduga bahwa jabatannya
sebagai Malik erat kaitan dengan kelautan dan pelayaran.
Inskripsi pada sisi kiri nisan Mu'allim (Pelayar) Husain bin Barjan (abad ke-14). Syamtalira Bayu, Aceh Utara. |
5. معلم حسين برجن
Komentar:
1. Nisan makam bercorak nisan abad ke-14 M.
2. Husain adalah putra Barjan yang bergelar Mu’allim atau pelayar, dan
jika benar sebagaimana diyakini bahwa Barjan itu adalah Khatib Husain,
maka dengan demikian Barjan telah menamakan putranya dengan nama Husain
pula (Husain Anak).
6.
ا.
1. وافى عظمك الكا(مل؟)
ا.
1. وافى عظمك الكا(مل؟)
2. خطيب زين الدين
3. ابن مقري المالك والأمير (؟) أحمد بن برجن
ب
1. قال الله تبارك
2. وتعالى في محكم
3. أياته كل من عليها فان
6. A.1. Telah sampai keagungan-Mu yang [sempurna?]; 2. Khatib Zainuddin; 3. putra guru raja dan pangeran (?), Ahmad bin Barjan. B.1. Berfirman Allah Tabaraka; 2. wa Ta’ala dalam ayat muhkamatnya; 3. Segala sesuatu yang di muka bumi pasti binasa. (Surah Ar-Rahman: 26)
Inskripsi pada nisan Khatib Zainuddin bin Ahmad bin Barjan (abad ke-15 M). Syamtalira Bayu, Aceh Utara. |
Komentar:
1. Nisan makam bercorak nisan abad ke-15 M.
2. Dalam kompleks makam ini, Zainuddin adalah satu-satunya pewaris
profesi kakeknya Barjan sebagai khatib. Ayahnya, Ahmad bin Barjan,
adalah seorang pengasuh dan pengajar para raja dan pangeran dalam istana
Samudra Pasai. Ahmad bin Barjan adalah orang kedua yang ditemukan
namanya, namun tidak ditemukan kubur yang menyebutkan namanya dalam
kompleks ini sebagaimana halnya Paduka Mu’allim Khoj.
3. Khatib
Zainuddin mengingatkan kita seorang tokoh ulama lainnya yang memiliki
nama yang sama di Lamreh, Aceh Besar, yaitu Syaikh Zainuddin.
7. ناسفة (نامفة؟) برجن
7. Nasifah (?) Barjan
Inskripsi pada sisi kiri nisan seorang wanita, putri dari Barjan, bernama Nasifah (Namifah?) dari abad ke-14 M. Syamtalira Bayu, Aceh Utara. |
Komentar:
1. Nisan makam bercorak nisan abad ke-14 M.
2. Ini satu-satunya nama wanita yang ditemukan dalam kompleks ini,
putri dari Barjan. Namanya masih agak sulit untuk dipastikan, tapi saya
mengunggulkan Nasifah.
Dari data-data sejarah tersebut, saya
kira sangat penting untuk disimpulkan bahwa di kompleks makam yang
terdapat di kawasan Syamtalira Bayu ini ternyata telah dikuburkan
tokoh-tokoh dari sebuah keluarga yang bukan saja pelayar tapi juga ulama
sekaligus pendakwah (khatib). Maka perlu untuk dinyatakan sekali lagi
bahwa Samudra Pasai sesungguhnya memiliki segenap modal yang dibutuhkan
untuk mengembangkan Islam di Asia Tenggara.
Namun apa yang
ditulis di sini jelas hanya berupa catatan singkat, dan dapat dianggap
sebagai sebuah tawaran bagi yang berminat untuk menelitinya lebih
lanjut. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, antara lain tentang
Barjan, Hadashtan, Thahud, dan banyak persoalan lainnya yang perlu
kepada pengkajian khusus. Saya berharap ada yang akan bersedia untuk
itu.
Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)