Makam Sultan 'Ali Ri'ayat Syah
bin Sultan 'Alauddin Inayatsyah
bin 'Ali Mughayat Syah.
Foto: Irfan M Nur |
SEPERTI diketahui, di antara tujuan pemberian gelar ialah untuk menyanjung, mengakui
atau menunjukkan kebesaran dan kehebatan seorang tokoh.
Dalam
sejarah Islam, gelar dan penggelaran telah mengalami berbagai perkembangan
sejak awal sejarahnya sampai dengan hari ini. Untuk mengetahui dan mengikuti
persoalan ini, beberapa kepustakaan yang dapat disarankan ialah: Al-Alqab
Al-Islamiyyah fi At-Tarikh wal Wasta'iq wal Atsar karya Hasan Al-Basya (1989);
Mu'jam Al-Mushthalahat wal Alqab At-Tarikhiyyah oleh Mushtafa 'Abdul Karim
Al-Khathib (1996); Mu'jam Alqab Arbab As-Sulthan fid Duwal Al-Islamiyyah oleh
Qutaibah Asy-Syihabi (1995); atau juga dalam Mu'jam Al-Ansab wal Usrat
Al-Hakimah fit Tarikh Al-Islamiy (Dictionary of Genealogies and Ruling Families
in Islamic History) karya Edward von Zambaur (1980).
Inskripsi pada
nisan
Sultan Salatin 'Alauddin 'Inayah Syah bin
Sultan 'Ali Mughayah Syah:
ألا وهو السلطان
ابن السلطان
ابن السلطان المخصوص
بعناية الله
Ketahuilah
olehmu, dialah sultan putra sultan
putra sultan,
orang yang dikhususkan dengan
pertolongan Allah.
Foto: Khairul Syuhada |
Dalam
sejarah Aceh, kita sering mendengar nama-nama seperti 'Ali Mughayat Syah,
Ala'uddin 'Inayat Syah, 'Ali Ri'ayat Syah. Apa sesungguhnya maksud dari
Mughayat, 'Inayat, Ri'ayat?
Seingat
saya, dalam beberapa kepustakaan yang pernah saya baca mengenai sejarah Aceh,
saya belum menjumpai penjelasan mengenai maksud kata-kata semisal ini walaupun
sebenarnya sudah sedemikian popular.
Saya
justru menemukan penjelasan mengenai kata-kata itu pada inskripsi beberapa
nisan di Kompleks pemakaman Baitur Rijal, di Banda Aceh, dan ternyata kata-kata
ini adalah kependekan dari gelar yang digunakan oleh para sultan Aceh,
khususnya, pada abad ke-16 M.
Gelar
itu berbunyi:
المخصوص بعناية الله
Gelar
ini biasanya diletakkan setelah kata-kata:
السلطان ابن السلطان ابن السلطان
Dan
diakhri dengan kata "Syah", sebelum nama.
Inskripsi pada
nisan makam Sultan
Abangta Muhammad:
المخصوص بعناية
الله شاه أبغت محمد
ابن سلطان علاء
الدين رعاية شاه
سقى الله ثراه
وجعل الجنة مثواه
Orang yang
dikhususkan dengan
pertolongan Allah Syah,
Abangta Muhammad putra
Sultan 'Alauddin Ri'ayah Syah
Semoga Allah
menyiramkan
rahmat ke atas pusaranya dan
menjadikan syurga sebagai tempat
peristirahatannya.
Foto: Khairul Syuhada |
Arti
dari gelar ini ialah: Orang yang dikhususkan dengan pertolongan Allah. Dengan
demikian, Mughayat Syah adalah orang yang dikhususkan dengan naungan Allah; dan
Ri'ayat Syah adalah orang yang dikhususkan dengan pemeliharaan Allah.
Alasan
pemberian gelar semisal ini, yang mengandung makna pengistimewaan, kiranya
dapat dimengerti dengan jelas di mana seorang sultan adalah pemangku tanggung
jawab yang besar dan ia pantas diistimewakan dengan naungan Allah, pertolongan
serta pemeliharaan-Nya.
Di
sisi lain, ini juga menunjukkan sikap merendahkan diri kepada Allah di mana
dalam segala hal, para sultan tidak dapat lepas dari pertolongan Allah, dan
bila kemudian mereka memperoleh berbagai keberhasilan dalam memerintah dan
membangun negeri serta dalam meninggikan Agama, maka itu adalah karena
semata-mata pertolongan Allah pula. Gelar semisal ini mengandung makna
kerendahan hati kepada Allah sekaligus kekuatan.
Baitul Rijal (Kandang 12) , Banda Aceh Foto: Khairul Syuhada |
Sejauh
penelusuran saya, gelar semacam ini tidak pernah digunakan oleh penguasa Islam
yang lain di seluruh dunia. Gelar Al-Makhshush bi Mughyatillah, bi
'Inayatillah, bi Ri'ayatillah, hanya digunakan oleh para sultan Aceh, terutama
dalam abad ke-16. Dalam abad ke-17 dan masa kemudian, gelar ini semisal ini,
tampaknya, tidak digunakan lagi. Dan dengan demikian, ia merupakan bagaian
penting dari perkembangan gelar dan penggelaran dalam sejarah Islam.
Suatu
hal lain yang kiranya menarik perhatian adalah dialek pengucapan kata-kata
tersebut yang mengalihkan bunyi ta' marbuthah, sebagaimana lazimnya dalam
Bahasa Arab, yakni mughayah, 'inayah, ri'ayah, ke bunyi ta' dan menjadi
mughayat, 'inayat, ri'ayat. Saya kira, dialek pengucapan seperti ini telah
diwarisi dari dialek 'Utsmaniyyah (Turki) sebagaimana pengucapan sa'adat untuk
sa'adah, daulat untuk daulah dan sebagainya. Jika hal ini memiliki suatu makna,
maka tidak lain dari suatu petunjuk dekatnya hubungan Aceh dengan Khilafah
Utsmaniyyah sejak sebelum Aceh menjadi vasal (negara bagian) Khilafah Turki
'Utsmaniyah.
Baitul Rijal (Kandang 12) , Banda Aceh. Foto: Irfan M Nur |
Oleh: Musafir
Zaman
(Dikutip dari
akun facebook Musafir Zaman di Group Facebook)
0 Komentar