Lingua
Franca *)
Inskripsi Jawi (Sumatra) Kuno pada nisan Ratu Danir,Menye Tujoeh, Pirak Timur, Aceh Utara. (Sisi A). Foto:Khairul Syuhada
|
Keberasalan bahasa Melayu ini juga dikaitkan dengan sebuah kerajaan bercorak Buddhisme yang pernah muncul di kawasan selatan Sumatera, yakni Kerajaan Sriwijaya. Sebab itu, mereka juga berkesimpulan bahwa prasasti-prasasti bahasa Melayu kuno yang dijumpai di kawasan selatan Sumatera berasal dari masa sebelum kemunculan kerajaan-kerajaan Islam.
Sementara mengenai prasasti tertua dalam bahasa Melayu kuno yang dibuat dalam zaman Islam dan masih menggunakan aksara Sumatra kuno, para ahli sepakat menunjuk prasasti pada satu batu nisan yang berada di Gampong Menye Tujoeh, Kecamatan Pirak Timur, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Nisan tersebut adalah nisan makam seorang ratu yang namanya disebutkan pada inskripsi berbahasa Arab. Beberapa ahli telah membacanya, namun menyangkut nama orang yang dimakamkan, mereka menghasilkan bacaan yang berbeda satu sama lain: Nurul A’la, Nurul ‘Aqla, Nurul Ilah, Wabisah. Saya sendiri membacanya: Danir atau Dannir. Inskripsi berbahasa Arab itu juga memuat tarikh wafat pada hari Jum’at 7 (9?) Dzulhijjah 791 Hijriah (26 November 1389 Masehi).
Sementara prasasti
berbahasa Melayu kuno yang terdapat pada nisan bagian kaki makam telah
dibincangkan oleh para ahli semisal J. G. de Casparis, W. F. Stutterheim,
Morisson, dan yang paling mutakhir telah dibaca dan dibahas oleh Willem van der
Molen dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (2008).
Inskripsi Jawi (Sumatra) Kuno pada nisan
Ratu Danir, Menye Tujoeh, Pirak Timur, Aceh Utara. (Sisi A). Foto:Khairul Syuhada |
Pada prasasti
berbahasa Melayu kuno ini juga disebutkan dua nama negeri di mana ratu ini
telah dipertuan agung, yakni Pasai dan Kedah.
Seraya menolak bulat-bulat prasangka bahwa prasasti berbahasa Melayu kuno ini hadir di wilayah pesisir utara Aceh akibat ekspansi Majapahit, maka perlu dipertanyakan tentang kedudukan kedua negeri ini: Pasai dan Kedah—malah tiga negeri jika ditambahkan Jambur Ayir—sebelum masa Islam, atau dengan kata lain pada zaman mana pengaruh Kerajaan Sriwijaya di kawasan selatan Sumatera (geografi Arabo-Persia: Jaziratul Maharaj) masih mendominasi kawasan besar meliputi Pulau Sumatera dan Daratan Semenanjung Melayu sampai Indocina.
Seraya menolak bulat-bulat prasangka bahwa prasasti berbahasa Melayu kuno ini hadir di wilayah pesisir utara Aceh akibat ekspansi Majapahit, maka perlu dipertanyakan tentang kedudukan kedua negeri ini: Pasai dan Kedah—malah tiga negeri jika ditambahkan Jambur Ayir—sebelum masa Islam, atau dengan kata lain pada zaman mana pengaruh Kerajaan Sriwijaya di kawasan selatan Sumatera (geografi Arabo-Persia: Jaziratul Maharaj) masih mendominasi kawasan besar meliputi Pulau Sumatera dan Daratan Semenanjung Melayu sampai Indocina.
Kepustakaan geografi
yang ditulis dalam bahasa Arab sejak Sulaiman At-Tajir (abad ke-3 H/ke-9 M)
sampai dengan Ibnu Majid (wafat 906 H/1501 M) menyebutkan sebuah daerah bernama
Jawah (Javah) dan mengacu ke wilayah pesisir utara Aceh. Ibnu Baththuthah yang
memuat informasi lebih panjang tentang Sumuthrah (Samudra Pasai) dalam karyanya
Tuhfah An-Nazhzhar menyebutkan dengan terang, ia telah melihat “Jawah” yang
hijau dari jarak setengah hari perjalanan laut.
Di sini, saya
memaklumi sensitivitas orang Aceh terhadap sebutan “Jawa”, tapi toponimi
semisal Krueng Jawa dan Rayeuk Jawa di wilayah pedalaman Krueng Pase, menurut
sumber sangat terpercaya, sudah dikenal paling tidak sejak sebelum 100 tahun
silam—tokoh yang kami wawancarai untuk keterangan ini pada waktu itu (2010)
telah berusia sekira 80 tahun dan ia menuturkan tentang toponimi yang sudah
didengar sejak masa kakeknya yang bernama Panglima Si Kleing dari Meuraksa,
Lhokseumawe. Maknanya, sensitivitas saya dan Anda tidak dapat menggugurkan kenyataan.
Inkripsi berbahasa Arab
pada nisan
Ratu Danir di Menye Tujoeh, Pirak Timur,
Aceh Utara. Foto: Khairul Syuhada
|
Mohon bersabar
sejenak sebab belum tentu semuanya seperti yang kita duga selama ini, dan
jangan sampai gara-gara sensitivitas yang tidak sepenuhnya beralasan itu kita
akhirnya melepaskan sesuatu yang hakikatnya kita miliki. Menurut Anda yang
sensitif, dari mana datangnya istilah Jawi(جاوي) atau Al-Jawi (الجاوي) itu sendiri? Jawiy merupakan sebuah nisbah yang
sejak abad ke-16 sudah mulai ditabalkan untuk penghuni kepulauan bawah angin di
India Belakang, dan Al-Jawiyyah menjadi nama sebuah bahasa yang merupakan
muasal dari Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu hari ini.
Ibnu Baththuthah
dalam karyanya menyebut Jawah dan Mul Jawah. Jawah, dalam catatan tahun 746
Hijriah (1346 Masehi) yang ditulis Ibnu Baththuthah, adalah wilayah di mana
dijumpai sebuah kota yang besar, indah dan dikelilingi benteng serta
menara-menara penjagaan yang terbuat dari kayu. Sultannya seorang Muslim
pengikut mazhab Al-Imam Al-A’zham Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’iy—Radhiyya-Llahu ‘anhu. Sedangkan Mul Jawah adalah sebuah negeri
kafir.
Sebelum Ibnu
Baththuthah, Marco Polo dalam laporannya juga telah menyebutkan Jawa Minor yang
nama negeri-negerinya antara lain Samara.
Maka tentang wilayah
pesisir utara Aceh yang disebut dengan Jawah (Javah) dalam kepustakaan geografi
Arab adalah sesuatu yang tidak saya ragukan lagi. Pelacakan bukti-bukti untuk
adanya daerah inti dari wilayah yang disebut dengan Jawah ini juga masih
dilakukan. Daerah aliran Krueng Jawa dan Rayek Jawa di Kecamatan Geureudong
Pase, Aceh Utara, adalah di antara daerah-daerah yang sangat dinanti-nantikan
dapat menyajikan informasi-informasi berguna menyangkut persoalan keberasalan
Jawiy atau Al-Jawiy ini.
CISAH Lhokseumawe,
pada 2011, telah melakukan ekspedisi besar-besaran di daerah pedalaman yang
berjarak kurang lebih 20 km di selatan Lhokseumawe. Selain temuan-temuan dari
masa Islam, CISAH juga menemukan petunjuk-petunjuk yang menyemangatkan mengenai
kehidupan masa sebelumnya.
Inkripsi Nisan di Matangkuli, Aceh Utara.
Bunyi: Ayat 1-5 dari Surah Al-Baqarah.
|
Sesuatu yang sudah
ditemukan pula lewat inskripsi pada batu nisan adalah nama negeri-negeri kuno
yang diyakini sudah ada sebelum Islam, yakni Pasai di wilayah Krueng Pase,
Kedah di wilayah Krueng Keureuto dan Pirak, serta Jambur Ayir di wilayah Krueng
Jamboe Aye. Dari ketiga wilayah ini, Kedah atau wilayah Krueng Keureuto
merupakan wilayah yang berada di bagian paling tengah.
Pada 2012, CISAH
telah melancarkan ekspedisi yang menghabiskan biaya besar untuk menjelajah
kawasan Paya Bakoeng dan sebagian Pirak Timur selama dua bulan lamanya. Dari
ekspedisi yang didukung Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara itu, CISAH
membawa pulang berbagai informasi yang mengejutkan. Siapa sangka jika daerah di
pedalaman Keureuto yang merupakan daerah paling belakang di Aceh Utara dan
bertapal batas dengan rimba tengah Aceh itu merupakan pusat permukiman yang
sangat padat, dan layak untuk disebut sebagai sebuah kenegerian atau kerajaan?!
Ratusan kompleks
makam tersebar di sepanjang bantaran aliran sungai Krueng Keureuto dan Pirak
begitu pula di tepi alur-alur air kuno. Pecahan gerabah dan keramik yang
ditemukan di daerah itu, menurut Arkeolog Dedy Satria, juga menunjukkan kelas
kehidupan mereka yang mewah, dan telah mampu mengimpor barang-barang mewah
sejak abad ke-15 M. Ukuran dan bentuk nisan pada beberapa kompleks makam juga
mengesankan adanya satu wilayah politis yang kuat dari sejak sebelum Islam
datang.
Dari sumber
masyarakat setempat, CISAH pada akhirnya menemukan sebuah kejelasan yang
terpercaya bahwa yang dimaksud dengan Kedah pada prasasti Melayu kuno dan Arab
di Meunye Tujoeh—yang juga disebut dalam sebuah sumber sekunder—ialah wilayah
tengah dari aliran sungai Krueng Keureuto dan Pirak, dan sama sekali bukan
Kedah di semenanjung Melayu.
Dua toponimi di
daerah itu telah menjadi pemutus syak wasangka mengenai kedudukan Kedah yang
dimaksud pada prasasti Meunye Tujoeh. Pertama, satu tempat yang dikenal oleh
masyarakat dengan sebutan Abeuk Kedah, yakni semacam kubangan atau genangan air
yang berukuran relatif besar dan seringnya ditumbuhi rumpun pokok rumbia serta
tanaman penyedot air lainnya, dan biasanya juga terbentuk dari bekas tempat
yang terdalam (leubok) dari sebuah aliran sungai yang sudah lama tidak
berfungsi akibat proses geomorlogis. Kedua, satu lokasi yang disebut dengan
Juroeng Ma Prang Kedah, artinya lorong panglima perang Kedah.
Sebuah kesimpulan
yang dapat diambil secara gamblang dari data-data ilmiah yang sudah diketemukan
ialah bahwa Pasai, Kedah dan Jambur Ayi merupakan daerah-daerah kuno di wilayah
yang kemudian diperkenalkan oleh para pelaut abad-abad dominasi Islam dengan
nama Jawah (Javah). Dan di antara daerah-daerah ini, Kedah atau wilayah di
antara aliran sungai Krueng Keureuto dan Krueng Pirak telah memberikan
petunjuk-petunjuk signifikan mengenai kebudayaan pra-Islam lewat
peninggalan-peninggalan sejarah zaman Islamnya.
Tampaknya, Kedah
merupakan sebuah kenegerian atau kerajaan kuno yang pesat dan menduduki strata
yang lebih tinggi dalam kebudayaan, di samping secara jelas, dan masih dapat
disaksikan sampai dengan hari, ia adalah wilayah yang paling subur di timur
pesisir utara, dan memiliki hutan yang kaya. Semua ini menjadi modal bagi Kedah
untuk mencapai tingkat yang tinggi dalam kebudayaan dan peradabannya. Dan
sesuai bukti yang ditemukan, secara mutlak dapat dikatakan bahwa Kedah
merupakan sebuah kerajaan yang dalam terminologi sejarah hari ini dirumpunkan
ke dalam kerajaan-kerajaan Melayu kuno. Sebagai catatan penting di sini yang
tidak bisa saya lewatkan ialah pandangan saya terhadap terminologi kerajaan
Melayu kuno. Dalam pandangan saya, ini adalah penamaan yang saya kira keliru.
Terminologi yang paling relevan dan memiliki dasar-dasar lebih kuat sebenarnya
adalah kerajaan Jawi kuno. Kiranya, dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di
Aceh kelak, terminologi kerajaan Melayu kuno dapat ditukar dan diluruskan
dengan penyebutan “kerajaan Jawi kuno/lama”.
Wajarlah bila
kemudian, di abad ke-14 Masehi, jasad seorang ratu telah disemayamkan di sana
sebab Kedah merupakan tanah leluhurnya, dan kakeknya adalah Raja Kedah seperti
tersebut pada inskripsi berbahasa Arab di nisan kuburnya. Ia adalah puteri dari
Sultan Al-Malik Azh-Zhahir bin Raja Khan bin Raja Kedah yang ditemui oleh Ibnu
Baththuthah ketika datang ke Sumuthrah di pertengahan abad ke-14 M.
Inkripsi Nisan di Matangkuli, Aceh Utara. Bunyi: Ayat 1-5 dari Surah Al-Baqarah. |
Pelacakan untuk
menembus relung waktu yang lebih awal telah pernah dilakukan namun belum
menghasilkan data-data yang diharapkan. Barangkali, disebabkan penelitian yang
dilakukan baru sebatas peninjauan permukaan, dan baru sekali tahapan sampai
dengan saat ini. Namun bagaimanapun, daerah ini dan sekitarnya sangat
menjanjikan adanya temuan-temuan yang penting menyangkut kebudayaan yang
berkembang pada masa pra-Islam, asal dari kebudayaan Jawi yang secara kurang
mengena hari ini telah disebut dengan kebudayaan Melayu.
Untuk satu bukti
pendukung atas kedalaman akar kebudayaan Jawi di Kedah atau wilayah aliran
sungai Krueng Keureuto dan Pirak ini saya tampilkan satu batu nisan
berinskripsi Arab, yang ditemukan di Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara. Sisi
yang perlu diperhatikan pada batu nisan ini menyangkut masalah yang sedang
dibicarakan adalah: model kaligrafinya, begitu pula bunyi inskripsinya yang
sedikit banyak juga menarik perhatian.
Dengan
memperbandingkan model kaligrafi pada nisan ini dengan tulisan Melayu kuno pada
nisan Ratu Dannir di Menye Tujoeh dapat diperhatikan suatu kedekatan yang
memberitahukan adanya keterpengaruhan model kaligrafi Arab itu dengan tulisan
Melayu kuno. Untuk saat ini belum dapat ditentukan mana yang lebih tua antara
kedua batu nisan tersebut sebab dari hasil pembacaan sementara, belum ditemukan
penanggalan pada nisan di Matangkuli ini. Sementara pada nisan Ratu sebagaimana
telah disebutkan tadi tercantum tarikh wafat 791 (781) Hijriah.
Sampai sekarang,
meskipun telah mengerahkan segala upaya yang dimiliki untuk menemukan makam
tiga tokoh lain yang disebutkan pada nisan Ratu Dannir, yaitu Sultan Al-Malik
Azh-Zhahir, Raja Khan dan Raja Kedah, tapi usaha tersebut masih belum menuai
hasil. Jadi, boleh-boleh saja, nisan makam berinskripsi Arab di Matangkuli itu
adalah milik salah seorang dari tiga tokoh tersebut, ataupun seseorang yang
telah wafat sebelum Ratu Dannir. Dari segi tipologi batu nisannya terbilang
unik dan masih terbilang dalam model yang mewakili abad ke-14 M. Sesuatu yang
kemudian dapat mendukung ketuaan batu nisan ini dari batu nisan Ratu Dannir
adalah bunyi inskripsi yang hakikatnya langka—bahkan seingat saya belum
pernah—ditemukan pada nisan-nisan Samudra Pasai.
Inkripsi Nisan di Matangkuli, Aceh Utara. Bunyi: Ayat 1-5 dari Surah Al-Baqarah. |
Inskripsi tersebut
adalah bunyi ayat-ayat Al-Qur’an di permulaan Surat Al-Baqarah, ayat 1-5.
Yakni, ayat-ayat yang dalam susunan Al-Qur’an adalah yang pertama setelah Surah
Al-Fatihah. Berikut bunyi inskripsinya:
أ.
1. الم ذ(لك) الكتاب لا
2. ريب فيه هدى للمتقين / الذين (يؤمـ)نون بالـ
3. لغيب ويقيمون الصلاة / ومما رزاا (؟) قنا هم
ب.
1. ينفقون والذين / يؤمنون بما أنزل (إليـ)ـك
2. وما أنزل من قبلك / وبالأخرة هم يو
3. قنون أولئك على هد(ى) / من ربهم وأولئك هم المفلحون
1. الم ذ(لك) الكتاب لا
2. ريب فيه هدى للمتقين / الذين (يؤمـ)نون بالـ
3. لغيب ويقيمون الصلاة / ومما رزاا (؟) قنا هم
ب.
1. ينفقون والذين / يؤمنون بما أنزل (إليـ)ـك
2. وما أنزل من قبلك / وبالأخرة هم يو
3. قنون أولئك على هد(ى) / من ربهم وأولئك هم المفلحون
Ayat-ayat tersebut
kiranya mensinyalir sebuah permulaan; ayat-ayat yang menjelaskan dan menanamkan
keyakinan penting mengenai wahyu Tuhan, serta asas-asas daripada Islam. Adalah
suatu hal yang berkenaan kiranya mengukirkan ayat-ayat ini pada nisan-nisan
periode pertama Islam mekar di Samudra Pasai, yakni dalam kurun waktu abad
ke-14 M.
Namun yang penting,
kaligrafi seperti yang terdapat pada nisan tersebut dengan jelas menampilkan
keterpengaruhannya oleh kebudayaan yang pernah berkembang di Kedah, dan wilayah
Jawah (Jawi) secara umum sebelum Islam. Satu bentuk kaligrafi yang dihasilkan
dari percampuran cita rasa Arab dan kekhususan lokal, yakni Jawi kuno yang juga
masih menggunakan aksaranya yang kuno sebelum beralih ke aksara Arab.
Untuk perkembangan
bahasa Jawi selanjutnya telah disaksikan untuk pertama sekali unsur Jawi
digunakan dalam pemahatan tarikh wafat pada batu nisan. Penanggalan dengan
kata-kata angka Jawi telah ditemukan pada beberapa batu nisan dalam abad ke-15.
Ini menandakan bahasa Jawi telah mengalami perkembangan signifikan sehingga digunakan
dalam penanggalan pada monumen semisal penanda kubur. Namun penggunaan
kata-kata angka Jawi pada batu nisan teramati semakin meningkat pada penghujung
abad ke-16 Masehi di Aceh Darussalam. Bahkan, di permulaan abad ke-11 Hijriah,
dan masih di penghujung abad ke-16 Masehi, telah ditemukan batu nisan dengan
inskripsi yang seluruhnya berbahasa Jawi. Ini menunjukkan bahasa Jawi telah
mencapai puncak perkembangannya di abad ke-11 H/ke-17 M Aceh Darussalam.
Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari data-data pada batu nisan, sampai
saat ini, terlihat selaras dengan perkembangan bahasa Jawi dalam dunia
pernaskahan. Bahasa Jawi yang digunakan oleh Nuruddin Ar-Raniriy, misalnya,
terlihat sudah sangat mapan dan baku. Wajar jika dikatakan bahwa bahasa Jawi tumbuh
dan membesar dalam kandungan abad ke-15 dan ke-16 Masehi dan mencapai
kemapanannya di permulaan abad ke-17 M.
Meskipun era Aceh
Darussalam abad ke-16 Masehi telah mengantarkan bahasa Jawi ke puncak
kemapanannya, dalam karya-karya yang dihasilkan di abad ke-17 Masehi masih saja
direkam keberasalan bahasa Jawiy dari daerah Pasai atau pesisir utara Aceh.
Untuk kenyataan
tersebut, T. Ibrahim Alfian telah mengemukakannya dalam Bab IV bukunya, Kronika
Pasai, bahwa Bahasa Melayu yang berkembang di Kerajaan Samudra Pasai (1250-1524
M) dinamakan dengan bahasa Jawi oleh Pujangga Hamzah Fansuri (meninggal 1590 M)
dan Syaikh ‘Abdur Ra’uf As-Sinkili (meninggal 1680 M).
Alfian lalu mengutip
mukadimah Syarab Al-‘Asyiqin yang ditulis Hamzah sebagai berikut:
“Ketahui bahwa faqir
dan dha’if Hamzah Fansuri hendak menyatakan jalan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan ma’rifat Allah dengan bahasa Jawi dalam kitab ini—insyaAllah—supaya
segala hamba Allah yang tiada tahu akan bahasa Arab dan bahasa Farisi supaya
dapat memicarakan dia. Adapun kitab ini dinamakan Syarab Al-‘Asyiqin yakni
Minuman Segala Orang yang Berahi.”
Ia juga mengutip
Syaikh Syamsuddin dalam Mir’atul Mu’min:
“... Terbanyak
daripada orang yang mulia daripada saudaraku yang shalih…, karena tiada mereka
itu tahu akan bahasa Arab dan Parsi, tetapi tiada diketahui mereka itu
melainkan bahasa Pasai jua.”
Dan sebuah keterangan
yang teramat terang menisbahkan bahasa Jawi itu kepada bahasa Pasai adalah
keterangan yang dinukilkan T. Ibrahim Alfian dari dalam Mir’at At-Thullab,
karya paling terkenang dari Syaikh ‘Abdur Ra’uf As-Sinkili:
“Maka bahwasanya
adalah Hadarat yang Mahamulia [Paduka Seri Sultanan Tajul ‘Alam Shafiyatuddin
Syah] itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah
bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada
bahasa Pasai yang muhtaj [diperlukan] kepada orang yang menjabat jabatan
qadhi……”
Bahasa Pasai dan
bahasa Jawi, dengan demikian mengacu kepada satu bahasa yang berasal dari
wilayah pesisir utara Aceh dan mengalami awal perkembangannya sedini abad ke-14
M sampai dengan abad ke-15 M, yang kemudian dilanjutkan dalam abad ke-16 Aceh
Darussalam.
Sejalan dengan
perkembangan penyiaran Islam di Asia Tenggara, bahasa Jawi kemudian dengan
sendirinya menjadi bahasa berbagai bangsa di kawasan ini. Sebagaimana Islam
telah diterima dan berkembang secara menakjubkan di Asia Tenggara dalam
abad-abad ke-15 dan ke-16 M, maka begitu pula pada gilirannya dengan bahasa
Jawi yang meraup wilayah-wilayah baru yang luas di Pulau Borneo, Bugis sampai
dengan Sulu di timur. Sebagaimana Islam, para penutur Jawi pun tersebar mulai
Aceh di barat sampai dengan Sulu di timur kawasan, bahkan ke seberang samudera
India, ke Madagaskar. Dalam kala itulah, abad ke-15 dan ke-16 M, ia menjadi
Lingua Franca, bahasa penghubung masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara.
Sebelum mengkhiri
pembicaraan singkat atau tulisan rintisan dalam topik ini, kiranya pantas pula
saya mengajukan satu temuan baru sebagai data autentik tambahan atas apa yang telah
diajukan oleh T. Ibrahim Alfian. Saya kira, andaikata Almarhum Prof. T. Ibrahim
Alfian, sang guru besar sejarah itu, masih ditakdirkan hidup sampai sekarang
dan menyaksikan temuan baru ini, sungguh ia akan sangat suka cita
hatinya—semoga Allah Ta’ala merahmati dan meluaskan kuburnya.
Teks kolofon manuskrip
yang menjelaskan Syaikh Nuruddin Ar-Raniry menerjemahkan karyanya dengan bahasa Sumathrah (Samudra Pasai). Manuskrip:Luengputu Manuskrip Melayu Aceh |
Adapun saya, maka
sungguh tiada terkira girangnya hati saya yang diiringi syukur kepada Allah
‘Azza wa Jalla setelah melihat salah satu koleksi Ananda saya yang baik hati,
Teungku Masykur bin Syafruddin Luengputu, sang kolektor muda terkenal itu, yang
dipamerkan di aula UIN Ar-Raniriy sekitar setahun yang lalu! Pada bagian
kolofon salah satu manuskrip yang dipamerkan termaktub baris-baris kalimat
sebagai berikut:
والله أعلم بالصواب وقد فرغ الفقير إلى الله تعالى شيخ نور الدين محمد جيلاني ابن علي ابن حسنجي ابن محمد حميد الرانري سكنا والشافعي مذهبا من جمع هذه الأحاديث (كذا) النبي صلى الله عليه وسلم وترجمها بكلام السمطرة يوم الجمعة من شهر شوال سنة خمسة والعشرين بعد ألف غفر الله [له] ولوالديه آمين
تمت كتاب فد هاري جمعة فد وقت ظهر دان يغ ميوره محمد علي دان يغ امفوث تكو تنجغ فاسي وصلى الله على خير خلقه محمد وآله وصحبه وسلم وتمت
تمت كتاب فد هاري جمعة فد وقت ظهر دان يغ ميوره محمد علي دان يغ امفوث تكو تنجغ فاسي وصلى الله على خير خلقه محمد وآله وصحبه وسلم وتمت
(Dan Allah yang lebih
Mengetahui akan kebenaran. Seorang yang faqir (amat memerlukan) Allah Ta’ala,
Syaikh Nuruddin Muhammad Jilaniy bin ‘Ali bin Hasanjiy bin Muhammad Hamid,
Ar-Ranir tempat tinggalnya, As-Syafi’iy mazhabnya, telah selesai mengumpulkan
(dan menyusun) hadits-hadits Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan
menerjemahkannya dengan bahasa Sumatra pada hari Jum’at dari bulan Syawwal
tahun dua puluh lima setelah seribu (1025) [Hijriah]. Semoga Allah mengampunkan
[baginya] dan bagi kedua orang tuanya. Amin.
Tammat kitab pada
hari Jum’at pada waktu Zhuhur dan yang menyurat Muhammad ‘Ali dan yang empunya
Teuku Tanjoeng Pasi. Dan shalawat beserta salam Allah ke atas sebaik-baik
ciptaan-Nya Muhammad dan keluarga serta sahabat beliau.)
Teks kolofon manuskrip
yang menjelaskan Syaikh Nuruddin Ar-Raniry menerjemahkan karyanya dengan bahasa Sumathrah (Samudra Pasai). Manuskrip:Luengputu Manuskrip Melayu Aceh |
Banyak hal yang
terjelaskan dari baris-baris dalam kolofon ini, namun satu di antaranya yang
perlu digarisbawahi berkenaan dengan topik pembicaraan ialah keterangan bahwa
Syaikh Nuruddin Ar-Raniriy telah menerjemahkan Kitab Hadits susunannya ini
dengan bahasa Sumatra. Kata “Sumathrah” yang ditulis dalam manuskrip ini persis
seperti kata “Sumathrah” yang terdapat dalam Rihlah Ibnu Baththuthah. Ini
berarti Sumaththrah yang dimaksud adalah kota Sumathrah yang hari ini lebih
dikenal dengan sebutan “Samudra Pasai”.
Dengan temuan baru
ini terjelaskanlah bahwa yang dimaksud dengan bahasa Jawi, bahasa Pasai dan
bahasa Sumathrah adalah sebuah bahasa yang telah dikembangkan dan disempurnakan
di wilayah pesisir utara Aceh atau tepatnya di wilayah Kerajaan Samudra Pasai,
dan kemudian menjadi lingua franca di Asia Tenggara, terutama di negeri-negeri
Muslimya. Bahasa itu berakar dari bahasa Jawi (Melayu) kuno yang sudah lebih
dahulu ada serta telah menjadi alat tutur dalam negeri-negeri di pesisir utara
Aceh semisal Pasai, Kedah dan Jambur Ayir.
Inilah, kiranya, asal
muasal dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang dipertuturkan hari ini dan
telah menjadi bahasa resmi Malaysia dan Indonesia. Saya sangat yakin, jika
tanpa Samudra Pasai (Sumuthrah) pada awalnya, dan jika tanpa Malaka dan Aceh
Darussalam pada kemudiannya, sungguh bahasa ini tidak akan mencapai
kemapanannya dan menjadi lingua franca di seluruh pelosok kawasan Asia
Tenggara. Saya kira, negara-negara besar semisal Malaysia, Brunei Darussalam
dan Indonesia telah berutang budi kepada Samudra Pasai, begitu pula kepada
Malaka dan Aceh Darussalam, atas bahasa Jawi modern yang dituturkan oleh
warganya hari ini.
*) Tulisan rintisan ini sekalipun sederhana dan masih kurang mendalam,
saya persembahkan untuk Adinda saya yang baik hati, Saudari Aini Aziz (Aini Aziz Beumeutuwah ), senior di Forum Lingkar Pena (FLP)
Aceh dan penulis Muslimah muda berbakat, yang atas dorongan dan dukungannya
saya dapat menyelesaikan tulisan ini. Semoga Allah Ta’ala membalas jasa baiknya
serta merberkati amal dan umurnya. Teriring doa kebaikan dan salam sejahtera
pula kepada organisasi di mana Saudari Aini Aziz telah menggabungkan diri,
Forum Lingkar Pena, seraya menjujung tinggi persahabatan yang telah terjalin
antara Penulis Muslimah Besar Helvy Tiana Rosa dan Mapesa.
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di group Mapesa