Tim kerja yang dikapteni Mizuar Mahdi Al-Asyi, Ketua Mapesa. |
Tetangga saya yang
berjualan dekat rumah, beberapa hari lalu, mengagetkan saya dengan
pertanyaannya.
“Ada temuan baru,
Pak?” tanyanya sambil menyerahkan belian saya.
Ia seorang ibu rumah
tangga sekaligus pedagang sebab bagian depan rumah yang ditinggalinya telah
dialihfungsikan menjadi warung. Satu lagi yang saya tahu tentang ibu muda ini:
ia adalah anggota Grup Mapesa dan suka mengikuti gambar-gambar benda sejarah yang
dipublikasi Mapesa. Dia sendiri yang memberitahukan itu kepada saya.
Tetangga saya yang
baik lagi ramah ini bertanya demikian kepada saya karena ia tahu kalau saya
juga ikut-ikutan dalam Mapesa. Katanya, ia pernah lihat foto saya di Mapesa.
Sempat kembang pula hidung saya (Aceh: keumang idoeng) mendengarnya walaupun,
mungkin, dalam gambar itu saya hanya nampak sebagai “figuran” atau “stuntman”,
dan yang terlihat dari saya pun, barangkali, hanya lengan! Tapi ia begitu yakin
melihat gambar saya, sampai-sampai di setiap perjumpaan yang diselang jarak
waktu sedikit lama, ia selalu menanyakan, kapan pulang dari Banda Aceh, Pak?
Saya bilang, saya di sini sudah lama, tidak di Banda Aceh. Tapi dari rautnya,
ia seperti menyangsikan kejujuran saya!
Bagaimanapun, pertanyaan
tentangga saya ini sempat membingungkan saya. “Ada temuan baru, Pak?” Saya mau
jawab apa? Apalagi setelah dia bilang, selama ini publikasi yang dia ikuti di
Grup Mapesa cuma sejarah-sejarah saja, saya jadi tambah bingung dan sedikit
terperanjat! Akhirnya, saya menjawab dengan nada seperti orang tak mau kalah
gengsi, “O, banyak! Banyak sekali temuan baru! Cuma saja, mungkin, belum sempat
diekspos!”
Kondisi nisan 'Amidul Muluk setelah pengangkatan. Bagian yang menyimpan informasi tentang tokoh ini justru berada di bagian dalam tanah dan mulai dirusak oleh akar serabut pohon kelapa. |
Saya tidak tahu kapan
terakhir kali si tetangga membuka laman Grup Mapesa, tapi pada saat melangkah
kembali ke rumah, saya mencoba mencerna dengan baik kata-katanya; “temuan
baru”, “cuma sejarah-sejarah saja”. “Temuan baru” yang menjadi pusat
ketertarikannya, dan ungkapan “cuma sejarah-sejarah saja” yang tentu melukiskan
ketidaktertarikannya.
Apa sebenarnya yang
ingin disampaikan oleh penggemar Mapesa yang satu ini? Saya jadi berprasangka,
sekalipun sadar sebagian prasangka itu dosa, tapi yang saya inginkan
mudah-mudahan adalah sebagian prasangka yang lain, yang bukan dosa. Prasangka
yang bertujuan untuk mengevaluasi diri, bukan untuk menumbuhkan bibit
permusuhan dan kebencian.
Apakah yang dia
maksud dengan “cuma sejarah-sejarah saja” itu adalah tulisan-tulisan saya yang
panjang dan membosankan yang sering saya kirim? Saya renung-renung,
ingat-ingat. Agaknya, iya juga. Sepertinya memang tulisan-tulisan saya yang dia
maksud dengan “cuma sejarah-sejarah saja”!
Saya jadi tersenyum
sendiri. Ungkapan semisal ini, menurut saya, banyak manfaat. Sangat banyak,
malah. Antara lain, secara pribadi, dapat menyadarkan diri saya akan tempat di
mana sudah seyogyanya saya berdiri sebagai “penghuni bawah angin”, bukan “di
atas angin”. Lain itu, saya kira juga bisa jadi sebuah masukan yang perlu
dipertimbangkan oleh saya sendiri dan Mapesa bahwa publikasi yang paling
diminati masyarakat, difavoritkan, itu sesungguhnya adalah “temuan baru”.
Kaligrafi Arab dalam kualitas sempurna. |
“Temuan baru” yang
dimaksud itu saya pastikan, tentu, dan tidak lain, adalah ekspos gambar-gambar
kegiatan Meuseuraya atau gotong royong yang diadakan oleh Mapesa pada setiap
hari akhir pekan di berbagai komplek makam peninggalan sejarah. Amatan saya,
jumlah penyuka (likers) bagi postingan Meuseuraya Mapesa juga jauh di atas
rata-rata jumlah penyuka jenis postingan lainnya.
Lewat Meuseuraya,
maksud saya lewat gambar-gambar itu, masyarakat dapat menikmati suguhan
informasi-informasi baru serta wawasan-wawasan yang mengenyangkan rasa ingin
tahu mereka akan sejarah negerinya di masa lampau. Lebih penting lagi, saya
kira, dengan gambar-gambar itu, masyarakat dapat merasakan “sebuah sengatan”
yang hakikatnya menyegarkan dan membangkitkan semangat. Sengatan itu terjadi
ketika indera mata, alat pikir dan ruh mereka berinteraksi dengan berbagai
peninggalan sejarah. Benda-benda peninggalan sejarah benar-benar dapat
menyatakan kepada masyarakat Aceh dengan tanpa keburaman bahwa bumi yang mereka
pijak hari ini adalah juga bumi yang dulunya pernah dipijak oleh nenek moyang
mereka. Bumi di mana nenek moyang mereka telah mengukir berbagai sejarah
kegemilangan.
Rasa memiliki masa
lalu yang gemilang itu dengan sendirinya memupuk rasa percaya diri untuk
memimpikan masa depan yang lebih baik. Bangsa ini di tangan pendahulu telah
mencapai sebuah kebesaran yang mengesankan, dan karena itu bukanlah sesuatu
yang mustahil atau cakap besar, jika sejarah kebesaran itu juga dapat terulang
lewat tangan anak cucunya hari ini. Anak cucu juga mampu mengeluarkan diri
mereka dari gua gelap dan pengap yang mengurung mereka sekarang ini asalkan
mereka bersedia berusaha sekuat tenaga mendekati cahaya yang dulu pernah
menjadi sumber kekuatan bagi nenek moyang mereka. Bukankah mereka sangat
berhasrat menjadi “khairu khalaf li khairi salaf”, sebaik-baik penerus bagi
sebaik-baik pendahulu?!
Dari cakap panjang
lebar dan sedikit tampak “lage hana meupu-pu peugah” (ngawur) ini, saya
sebenarnya hanya hendak memberikan sorotan kepada satu sudut yang diharapkan
Mapesa tidak pernah surut untuk melakukannya, sekalipun dimaklumi memang berat.
Yakni, Meuseuraya. Kegiatan ini, sejatinya, adalah sebuah kegiatan yang hebat
dan bermakna.
Mungkin, saya boleh
sedikit menyimpang untuk mengatakan begini: “beruntung” keluarga atau kerabat
dekat kita yang sudah meninggal dunia karena dalam waktu-waktu tertentu kita
datang berziarah, membersihkan pusara mereka serta mendoakan. Artinya, kita
selalu ingin menyelamatkan dan merawat ingatan kita terhadap orang-orang dekat
yang telah terpisah alam dengan kita, dan itu merupakan bagian dari sikap
berbakti yang terpuji.
Tampak inskripsi ayat Al-Qur'an (ayat Al-Kursiy) dengan kaligrafi yang istimewa pada nisan 'Amidul Muluk. |
Namun, sayang, bagi
mereka yang telah pergi dari dunia fana ini ratusan tahun yang silam. Mereka
yang telah mengukir sesuatu untuk bangsa ini sehingga masih dengan kepala tegak
kita memperkenalkan diri kita sebagai orang Aceh. Sebagian besar dari mereka
tidak lagi memiliki ahli waris yang tertentu; zaman telah menghapus catatannya.
Karena itu, semua kitalah sebagai ahli waris mereka.
Mereka sengaja telah
meninggalkan sejumlah besar penanda dan jejak untuk dikenali, memilih
tokoh-tokoh dari masa mereka yang pantas untuk dikenang, bahkan mengukir
pesan-pesan tertentu untuk kita. Mereka jelas ingin terhubung dengan
generasi-generasi kemudian, sekaligus ingin mengingatkan bagaimana bangsa ini
menapaki jalannya menuju kegemilangan yang dibangun atas dasar wahyu Tuhan.
Maka pantas saja bila
suatu ketika kemudian, pahlawan dan pemimpin besar Aceh dalam prang fi sabilillah,
Almarhum Paduka Sri Sultan Muhammad Dawud Syah, amat terluka hatinya oleh sebab
Belanda telah memusnahkan sejumlah penanda dari masa silam itu. Ia mengutuk
Belanda atas tindak kejahatan tersebut sebagaimana ia mengutuk berbagai tindak
kejahatan lainnya yang dilakukan bangsa kolonial itu. Bahkan, menurut Filolog
dan Pemerhati Manuskrip, Herman Syah, protes keras terhadap kejahatan itu juga
datang dari seorang ulama besar Aceh lagi mujahid, Teungku Chik Kuta Karang,
Syaikh ‘Abbas—rahimahullah. Keduanya, Sultan Muhammad Dawud Syah dan Teungku
Chik Kuta Karang, meletakkan tindak kejahatan Belanda dalam hal ini sebagai
salah satu alasan mengapa Belanda wajib diperangi! Belanda telah merusak dan
menistai kehormatan sebuah bangsa yang merdeka.
Berlalu satu abad,
dan di awal abad ke-21, Mapesa adalah salah satu lembaga yang dengan suka rela
telah datang mewakili generasi Aceh hari ini untuk merawat semua warisan
tersebut lewat Meuseuraya-nya. Saya kira Mapesa telah menentang keras sikap
tutup telinga dan tutup mata yang menyuarakan: “Masa lalu, masalah lu!”
Adinda saya, Mizuar Mahdi Al-Asyi, Ketua Mapesa, sedang mengerahkan tenaganya dalam proses pengangkatan nisan 'Amidul Muluk. Adinda saya itu, kini, adalah salah seorang pemilik teknik-teknik yang handal dan jitu dalam kerja arkeologis ini. Suatu hari kelak, mudah-mudahan, ia dapat menuliskan pengalaman dan teknik-tekniknya dalam lapangan ini. |
Dari itulah saya
tidak pernah ragu untuk menyatakan bahwa Meuseuraya adalah kegiatan yang hebat,
yang diharapkan Mapesa tidak pernah mundur sekalipun dimaklumi betapa beratnya.
Bahkan, tetangga saya meyakini kegiatan Meuseuraya jauh lebih berfaedah dan
mewakili dirinya dari pada “broeh-broeh putoeh” (sampah-sampah putus) yang saya
tuliskan. Dan dalam poin ini, saya seratus persen setuju dengan pandangan
tetangga saya itu.
Lantas apa hubungan
tetangga saya dengan nisan ‘Amidul Muluk?
Tetangga saya tinggal
di sini, selang beberapa rumah saja dari rumah saya. Sementara nisan ‘Amidul
Muluk berada di Gampong Pango Deah, Banda Aceh. Jauh sekali. Tidak ada hubungan
apa-apa, sebenarnya, selain saya mengirimkan gambar-gambar ini adalah demi
menyenangkan dan menenangkan hatinya yang merindukan “temuan baru” Mapesa.
Yakni, gambar-gambar kegiatan Meseuraya di sebuah lokasi yang baru, dengan
batu-batu nisan peninggalan sejarah Aceh Darussalam yang menyajikan wawasan kesejarahan
yang baru pula.
Mudah-mudahan ia
menyukai gambar-gambar saya kirim ini, dan tidak membaca tulisan yang saya
tulis. Saya berharap saat ia mengklik petunjuk “Lanjutkan Membaca..” dan
melihat tulisan panjang saya yang “angker” ini, dia langsung kabur, ambil
langkah seribu. Kalau tidak, habislah saya!
Nisan ‘Amidul Muluk
ini dibilang temuan baru, baru juga; dikatakan temuan lama, itu pun boleh juga.
Baru karena gambar-gambar ini, mungkin, baru pertama sekali dikirimkan ke laman
ini. Dan lama, karena sebenarnya sudah lama ditemukan; medio 2012.
Hakikatnya, limpah
ruah sudah temuan baru dalam waktu yang hampir genap satu dekade ini, namun
situasi dan kondisi pribadi belum mengizinkan semua itu tersajikan dengan baik
ke hadapan publik. Berbagai rencana yang sudah dipersiapkan buyar di awal-awal
2015—Walillahil amru, wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Dan saya untuk beberapa
lama perlu kembali merangkai diri yang pecah!
Nisan ini ditemukan
dalam kondisi yang memprihatinkan. Inskripsi ayat-ayat Al-Qur’an dengan
kaligrafi Arab yang indah dan mewakili zamannya serta arsip sejarah tentang
seorang tokoh penting dalam Kerajaan Aceh Darussalam nyaris lenyap untuk
selamanya. Untunglah, Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengilhami sahabat-sahabat
dari Mapesa untuk menyelamatkan catatan sejarah yang sudah bertahan selama
ratusan tahun silam ini.
Gambar-gambar yang
saya kirim menampilkan kondisi nisan pada saat proses pengangkatan dan
penyelamatannya. Adinda saya Mizuar ibnu Mahdi, Ketua Mapesa, memimpin kerja
ini didampingi Arkeolog Deddy Satria, Sukarna Putra (CISAH), Syahrial Qadri dan
Iqbal. Saya tahu gambar-gambar ini dapat memancing keprihatinan Anda, namun
saya sama sekali tidak mengizinkan siapa pun untuk menyalahkan, mencerca dan
mencerderai perasaan pihak mana saja. Apa yang sesungguhnya kita harapkan
adalah suatu kesadaran bersama yang diikuti rasa tanggung jawab untuk bahu
membahu menyelamatkan serta melestarikan warisan bersama ini.
Sekarang, tokoh ini
telah berada dalam daftar tokoh-tokoh sejarah yang hidup dalam abad ke-10
hijriah Aceh Darussalam. Tapi dengan begitu, kerja juga masih belum usai sebab
catatan mengenai riwayat hidup tokoh ini, sebagaimana sejumlah tokoh besar
sejarah lainnya, belum ditemukan. Sebuah penjelajahan besar dan akan memakan
waktu lama di dunia manuskrip kuno itulah nantinya yang akan menentukan apakah
kita dapat menghasilkan karya yang paling tidak sudah meniru-niru karya-karya
semisal karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy: “Ad-Durar Al-Kaminah fi A’yan Al-Mi’ah
Ats-Tsaminah”, karya Syamsuddin As-Sakhawiy: “Adh-Dhau’ Al-Lami’ li Ahlil Qarn
At-Tasi’”, karya Najmuddin Al-Ghazziy: “Al-Kawakib As-Sa’irah bi A’yan Al-Mi’ah
Al-‘Asyirah”, atau lainnya.
Inskripsi pada nisan 'Amidul Muluk di Pango Deah, Banda Aceh. |
Nisan ‘Amidul Muluk,
sekalipun tidak memuat cerita lengkap tentang tokoh pemilik makam, tapi dari
berbagai sisi yang mungkin diamati, paling tidak, dapat menggambarkan kepada kita
model kebudayaan yang hidup di Aceh Darussalam abad ke-10 hijriah (ke-16
masehi). Dan saya selalu saja menemukan suasana negeri-negeri Islam abad ke-10
hijriah baik yang saya hidupi lewat bacaan maupun lewat pengalaman saat berada
di negeri mana masih sangat banyak menyisakan peninggalan sejarah dari abad
tersebut. Wangi yang merebak dari masa lalu itu terkadang begitu kentara
tercium oleh kesadaran saya.
Berikut ini adalah
epitaf yang terdapat pada nisan makam ‘Amidul Muluk:
1. العبيد الله المغفور
2. رضوان الله المسمى
3. عميد الملوك سنة 996
2. رضوان الله المسمى
3. عميد الملوك سنة 996
Terjemahan:
1. Hamba Allah yang
diampuni
2. Ridhwanu-Llah (dengan keridhaan Allah terlimpah kepadanya) yang bernama
3. ‘Amidul Muluk tahun 996
Komentar:
Epitaf ini
menerangkan bahwa pemilik makam ini dinamakan atau bernama ‘Amidul Muluk, .
Namun lumrahnya, ‘Amidul Muluk merupakan gelar bukan nama. Dalam Lisanul ‘Arab,
‘Amid (عميد) adalah: السيد المعتمد عليه الأمور أو المعمود عليه , tuan yang
dipercayakan kepadanya berbagai urusan atau orang yang dijadikan sandaran. Sedangkan
Al-Muluk adalah kata jama’ dari Malik: raja. ‘Amidul Muluk dengan demikian
bermakna pegangan atau sandaran para raja. Gelar ‘Amidul Malik atau ‘Amidul
Muluk dalam sejarah Islam merupakan sebuah gelar kehormatan yang diberikan
kepada para menteri atau perdana menteri (Hasan Al-Basya, 1989: 64).
Sisi lain dari nisan 'Amidul Muluk. |
Dari data yang
diberikan epitaf dapat saja diyakini bahwa pemilik makam ini adalah seorang
wazir atau perdana menteri dalam Kerajaan Aceh Darussalam di masa hidupnya.
Kata “Al-Musamma” di sini, yang berarti dinamakan atau bernama, dapat dipahami
dengan makna: digelarkan. Barangkali, oleh karena gelar tersebut sudah begitu
melekat dengan si pemilik makam atau menteri ini, maka gelar ‘Amidul Muluk
sudah seperti namanya sendiri. Setiap kali disebut ‘Amidul Muluk, maka dialah
orang yang dimaksud.
Sebuah kemungkinan
lain yang saya perkirakan pula ialah mengenai kata “Ridhwanullah” yang boleh
jadi maksudnya adalah nama dari sang tokoh. Kata Ridhwanullah yang datang
setelah kata “Al-Maghfur” tampaknya lebih tepat diposisikan sebagai “badal”
dalam I’rab daripada menjadi “mubtada’” dengan “khabar muqaddam” yang
dihilangkan (mahdzuf), yakni: ‘Alahi Ridhwanu-Llah (ke atasnya [terlimpah]
ridha Allah); atau “manshub” sebab huruf jar yang dihilangkan, yakni Al-Mardhiy
bi Ridhwanillah (orang yang diridhai dengan ridha Allah). Namun seperti saya
katakan tadi, sebagai “badal” akan lebih tepat dan dengan demikian Ridhwanullah
adalah nama dari almarhum. Ini adalah sebuah kemungkinan yang dapat saja
didiskusikan kembali.
Di antara yang
termasuk unik pada nisan ini adalah penanggalan wafat yang tidak seperti pada
kebanyakan nisan. Serba singkat; tidak menuliskan kalimat menerangkan kewafatan
semisal “tuwuffiya”, “almutawaffa”, “intaqala”, “mata” dan lainnya, tapi
langsung kata “sanah”, yakni tahun. Informasi penanggalan yang pada kebanyakan
nisan diterakan dengan kalimat, pada nisan ini dipahat dengan angka: 996 saja
dan tidak diikuti dengan keterangan hijrah Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam.
Angka 9 juga tampak unik, dan saya belum pernah melihat yang semisalnya.
Sisi lain dari Nisan 'Amidul Muluk. |
Tahun 996 hijriah
adalah tahun 1588 masehi. Tahun ini, kemudian keletakan makam yang berada di
pinggir kanan Krueng Aceh dalam satu asosiasi dengan kompleks makam Poteu
Meurhoem di Ilie, ditambah lagi dengan penanggalan menggunakan angka pada nisan
Sultan Zainal ‘Abidin bin Sultan ‘Abdullah bin Sultan ‘Alauddin yang wafat pada
987 hijriah (1579 masehi), semua ini menggiring dugaan adanya keterkaitan
antara ‘Amidul Muluk dengan keluarga kerajaan yang dimakamkan di kompleks makam
Poteu Meurhoem di Ilie.
Kendati ‘Amidul Muluk
meninggal dunia selang delapan tahun setelah kemangkatan Sultan Zainal ‘Abidin,
namun dalam masa-masa yang menyaksikan puncak kekuasaan Aceh Darussalam sedang
dalam proses peralihan ke Dinasti Darul Kamal, ‘Amidul Muluk ini dapat saja
dikatakan sebagai tokoh yang sempat menjabat sebagai menteri dalam masa
pemerintahan Sultan Zainal ‘Abidin.
Kondisi nisan 'Amidul Muluk saat ditemukan. |
Demikian, dan
sementara menunggu ekspos Meuseuraya Mapesa yang baru, gambar-gambar ini saya
harap dapat menyenangkan hati tetangga saya dan menenangkannya sehingga ia
tidak perlu mengagetkann saya lagi dengan pertanyaan: “Ada temuan baru, Pak?”
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di group Mapesa