Masjid An-Nabawi, 1908. Sumber:ar.wikipedia.org/wiki/ |
Sudah sejak berabad
lamanya, dua Tanah Haram, Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah,
merupakan dua pusat keilmuan Islam di Hijaz. Ulama-ulama dari berbagai pelosok
Dunia Islam telah datang ke kedua kota suci ini untuk mengajarkan ilmu-ilmu
Islam, begitu pula para penuntut ilmu yang berdatangan dari seluruh penjuru
dunia.
Masjid Al-Haram dan
Masjid An-Nabawiy telah mengisi peran besar dalam memajukan dunia ilmu
pengetahuan, tidak saja pada masa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam tapi
juga pada masa Khulafa’ur Rasyidin dan setelah mereka sampai dengan masa-masa
paling kemudian.
Di sekitar kedua masjid
ini juga telah dibangun berbagai madrasah yang pada gilirannya telah ikut
meningkatkan kepesatan gerak keilmuan. Namun, tidak sedikit para ulama yang
memandang mengajar di Masjid lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih besar
pahalanya daripada mengajar di madrasah-madrasah. Di samping itu, mengajar di
Masjid merupakan amal sukarela yang tidak terikat dengan berbagai aturan, serta
terbuka untuk semua orang tanpa pembatasan.
Namun, sebelum
dilanjutkan, saya akan mengemukakan lebih dahulu alasan mengapa topik ini yang
akan dibicarakan.
Ahad yang lalu, Mapesa
dan Komunitas Pakaian Adat-Pidie telah melakukan meuseuraya atau kegiatan
gotong-royong membersihkan serta menata ulang letak nisan-nisan yang terdapat
di satu kompleks makam bersejarah di Gampong Sanggeu, Pidie. Semoga Allah ‘Azza
wa Jalla membalas kebaikan dan perwujudan kesetiaan tersebut dengan sebaik-baik
balasan dari sisi-Nya.
Salah satu makam yang
terdapat dalam kompleks itu adalah makam seorang ulama besar, Syaikh ‘Abdur
Rahim bin Shalih Al-Madaniy, yang wafat pada 943 Hijriah (1537 Masehi).
Meuseuraya Mapesa dan Komunitas Pakaian Adat-Pidie di Kompleks Makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, Sanggeu, Pidie. Salam hormat dan rindu! |
Keberadaan makam ulama
besar ini sudah diketahui sejak 2008. Saat itu, saya bersama Teungku Razali
Ismail dari Bireuen, dalam sebuah lawatan singkat yang hanya memakan waktu satu
hari di Pidie. Tujuan lawatan adalah untuk mengunjugi Klibeut sampai dengan
Batee, tepatnya Kuala Geunteing . Sangat perlu saya ungkapkan di sini—dengan
disertai rasa syukur dan doa kebaikan—bahwa motivator di belakang lawatan ini
tidak lain adalah tulisan Almarhum H. M. Zainuddin, salah satu di antara para
“penyimpan kenangan” di abad ke-20 yang lalu—semoga Allah Ta’ala melimpahkan
rahmat dan keampunan kepadanya. Lawatan itu adalah untuk mengunjungi
tempat-tempat bersejarah yang disebutkan H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich
Atjeh dan Nusantara. Tempat-tempat itu, antara lain adalah: Makam Sultan Ma’ruf
Syah di Klibeut, Jrat Putroe Bale di Sanggeu, satu bangunan kuno di Batee, dan
Kuala Geunteing. Segala puji kepada Allah Rabbul ‘Alamin, atas anugerah dan
kemudahan dari-Nya, semua tempat ini telah sempat dikunjungi pada waktu itu.
Satu hal yang tidak
terduga-duga, dalam waktu kami berada di Sanggeu setelah berkunjung ke kompleks
makam Putroe Balee, dan belum seberapa jauh meninggalkan kompleks tersebut
untuk keluar menuju Groenggroeng lantas ke Batee, mata kami sontak menjurus ke
satu kompleks makam di sisi kiri kami. Nisan-nisan kuno dalam kompleks itu
selain tidak terurus, bagian puncaknya pun rata-rata sudah cacat berat akibat
dijadikan sebagai batu pengasah benda-benda tajam.
Tidak jauh dari situ,
kami kemudian juga melihat satu kompleks lain dengan batu nisan yang unik.
Bentuknya lebih kurang seperti bentuk tharbusy (tharbusy: diarabkan dari kata
dalam bahasa Persia, “sarbusy”, yang berarti penutup kepala). Itulah kali
pertama saya melihat nisan semisal itu, dan tidak pernah ditemukan di kawasan
peninggalan sejarah Samudra Pasai.
Kedua nisan masih sangat
utuh, cuma saja posisi berdirinya yang sudah tidak tegak lagi, bahkan sudah
sangat condong. Lumut juga sudah tampak menebal di beberapa bagian permukaan
batu. Masih utung, lumut tebal itu tidak merusak inskripsi yang terdapat di
bagian bawah (pinggang) kedua nisan.
Nisan Syaikh Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy Sanggeu, Pidie. |
Waktu itu ada
bagian-bagian inskripsi yang sudah dapat terbaca, dan saya sangat bersyukur
ketika mengetahui bahwa tokoh yang dimakamkan ini adalah seorang ulama yang
disifatkan dengan berbagai sifat terpuji. Kemudian, satu lagi yang saya anggap
luar biasa adalah nisbah pada akhir namanya: Al-Madaniy. Yakni seorang yang
berasal dari Madinatur Rasul ‘Alaihi Afdhalush Shalati wa Azkas Salam. Saya
berkeyakinan nisbah ini bukan tabalan untuk seorang perantau yang telah lama
menetap di Madinah, tapi memang seorang yang terlahir dan dibesarkan di Madinah
lalu datang merantau ke Pidie (Pedir) untuk mengabdikan dan mengajarkan
ilmunya.
Keberadaan tokoh ulama
besar ini ibarat mutiara bersinar yang akan ditambahkan ke dalam untaian mutu
manikam tokoh-tokoh besar dalam sejarah Aceh serta wilayah taklukannya. Ia
cahaya mata para penghuni zamannya.
Namun disayangkan,
sejauh yang saya ketahui, tidak ada apapun catatan tentang riwayat hidupnya,
bahkan namanya juga belum pernah dijumpai dalam apapun kepustakaan sejarah Aceh
yang sudah tersedia. Saya juga tidak menjumpai biografinya dalam berbagai
kepustakaan biografi Arab untuk abad ke-10 Hijriah yang berada di tangan saya.
Dengan demikian,
belumlah dapat diketahui tahun lahirnya, bagaimana masa kecilnya dan kepada
siapa ia telah berguru, siapa pula murid-muridnya, kapan ia tiba dan mulai
menetap di Pidie (Pedir), dan berbagai sisi hidupnya yang lain. Sesuatu yang
sudah dapat diyakini, ia adalah seorang ulama yang datang dari Madinah di
permulaan abad ke-10 Hijriah, dan wafat di Pedir dalam dekade ke-5 abad itu.
Untuk informasi selebihnya, kita menunggu kontribusi dari lapangan filologi!
Dari tahun wafatnya
pada 943 Hijriah diketahui ia telah hidup pada paruh pertama abad ke-10
Hijriah. Jika saat ini kita masih dihadang kesulitan untuk mengetahui riwayat
hidupnya secara lebih rinci, maka saya merasa tidak pantas juga untuk berhenti
dan menyerah sampai di situ. Ada bagian lain yang saya kira layak untuk disorot
dan disinari dengan sedikit cahaya sehingga kedudukan tokoh ulama yang jasadnya
telah beristirahat di tanah Aceh dalam kurun waktu yang lama ini dapat sedikit
tergambarkan. Kunci untuk itu adalah nisbah di akhir namanya: Al-Madaniy.
Dari bagian yang akan
disorot itu kemudian kita dapat pula membayangkan bagaimana keadaan dan suasana
di Aceh, atau khususnya di wilayah Pedir yang berpusat di daerah
Klibeut-Sanggeu, pada zaman itu. Setidaknya, dalam hal perkembangan ilmu
pengetahuan Islam.
Bagian yang pantas
untuk disorot itu adalah keadaan atau gerak perkembangan ilmu pengetahuan di
Madinah Al-Munawwarah dalam paroh pertama abad ke-10 Hijriah, yakni masa di
mana Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih—Rahimahu-Llah—telah menghabiskan umurnya
sebagian di Madinah dan sebagian lagi di Pedir sampai dengan wafat.
Sifat-sifat yang
disebutkan pada inkripsi nisannya terang mengesankan ia wafat dalam usia yang
lebih dari 43 tahun. Malah, dapat saja diperkirakan ia meninggal dunia dalam
usia yang sudah senja. Asumsi semisal ini tentu mengantarkan kita kepada
perkiraan bahwa ia telah lahir dalam puluhan-puluhan terakhir abad ke-9
Hijriah.
Lantas, bagaimana
keadaan di Madinah Al-Munawwarah secara khusus dalam masa-masa ini; sejak akhir
abad ke-9 Hijriah sampai paroh pertama abad ke-10 Hijriah?
Saya akan meringkaskan
untuk Anda beberapa poin penting dari berbagai bacaan demi sekadar menghasilkan
satu gambaran umum mengenai lingkungan di mana Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih
Al-Madaniy telah menghabiskan sebagian umurnya. Dari sana, diharapkan Anda,
sebagaimana juga saya, dapat memperoleh satu gambaran lain pula menyangkut
keadaan di lingkungan mana tokoh ini telah hadir untuk berperan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan Islam di Aceh.
Penghujung abad ke-9
Hijriah sampai dengan 923 Hijriah dalam abad berikutnya, Madinah, sebagaimana
negeri-negeri lainnya di Hijaz, masih berada dalam pengaruh Daulah Al-Mamalik
(Dinasti Mameluk) yang berpusat di Kairo, Mesir. Peran sultan-sultan dari
Daulah Al-Mamalik dalam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan Islam di dua
Tanah Haram sangat besar. Mereka melanjutkan, bahkan, menambahkan apa yang
telah mereka warisi dari Daulah Bani Aiyub (Dinasti Ayyubid) yang memerintah
sebelumnya.
Di antara para sultan
Daulah Al-Mamalik, Sultan Qaitbay (wafat 901) adalah seorang yang telah
meninggalkan sidik jari paling menonjol dalam mendorong perkembangan ilmu
pengetahuan di dua Tanah Haram. Sultan yang memerintah di paroh kedua abad ke-9
Hijriah ini telah memberikan perhatian yang besar dan bagaimana layaknya untuk
negeri-negeri di Hijaz. Ia membangun berbagai sarana dan prasarana di dua Tanah
Haram sebagai bukti ia pantas menyandang gelar Khadimul Haramain Asy-Syarifain
(pelayan dua Tanah Haram).
Pada 882 Hijriah,
Qaitbay mengutus konsul perniagaannya di Makkah untuk mencari kawasan dekat
dengan Masjidil Haram supaya dapat dibangun sebuah madrasah atas namanya yang
akan dikhususkan untuk pengajaran keempat mazhab fiqh, serta pembangunan
ribath-ribath bagi kaum fakir miskin yang meliputi 72 kamar untuk anak yatim.
Ia juga menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang dibiayai dan difasilitasi
segala keperluan mereka untuk madrasah-madrasah yang dibangunnya.
Demikian pula halnya
dengan Madinah yang tidak kurang mendapatkan perhatian dari para sultan Daulah
Al-Mamalik. Di kota Rasulullah Shalla-Llah ‘alaihi wa Sallam itu telah dibangun
berbagai madrasah, ribath-ribath, zawiyah-zawiyah serta beberapa rumah sakit.
Masjid Nabawi pun telah beberapa kali dilakukan renovasi, dan dalam masa itulah
pula untuk pertama sekalinya dibangun kubah-kubah. Masjid Nabawi direnovasi
secara keseluruhan oleh Qaitbay setelah satu peristiwa kebakaran besar pada 886
Hijriah.
Qaitbai juga telah
membangun sebuah madrasah atas namanya dalam pada waktu renovasi Masjid Nabawi
dilakukan, dan melengkapinya dengan satu perpustakaan besar. Madrasah ini
paling terkenal di Madinah dan masih beroperasi sampai dengan masa Daulah
‘Utsmaniyyah.
Selain Madrasah
Qaitbai, ada pula Madrasah Jaubaniyyah yang dibangun pada 724 Hijriah, Madrasah
As-Sinjariyyah yang merupakan bekas rumah Saiduna Abu Bakr—Radhiya-Llahu
‘Anhu—dan Madrasah Asy-Syiraziyah. Tentang Madrasah yang terakhir ini,
As-Sakhawiy (wafat 930 Hijriah) dalam At-Tuhfah Al-Lathifah fi Tarikh
Al-Madinah mengatakan bahwa pada saat ia pindah ke Madinah, ia tinggal di
Madrasah itu sampai lebih dari 50 tahun lamanya.
Inilah kiranya di
antara berbagai perkembangan yang sempat dihidupi dan disaksikan oleh Syaikh
‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy semasa masih berada di Madinah
Al-Munawwarah. Gerak keilmuan yang giat dalam lingkungan yang dihidupinya tentu
saja telah membukakan baginya cakrawala-cakrawala ilmu pengetahuan yang luas.
Sisi lain dari
kehidupan di Madinah yang tentunya paling berpengaruh bagi Syaikh ‘Abdur Rahim
adalah kegiatan belajar mengajar di Masjid Nabawi, yakni halqah-halqah yang
diisi oleh tokoh-tokoh ulama besar di Madinah baik yang berasal dari Madinah
maupun dari seluruh penjuru dunia. Para ulama tersebut mengajar di Masjid pada
jam-jam belajar yang mereka pilih sendiri. Sedangkan untuk hari Selasa dan
Jumat, kegiatan belajar mengajar diliburkan.
Dalam halqah-halqah itu
diajarkan ilmu Al-Qira’at, Tafsir, Hadits, Fiqh, ilmu-ilmu Bahasa Arab dan
ilmu-ilmu ‘Aqliyyah. Halqah-halqah di Masjid An-Nabawiy yang paling terkenal
pada masa itu antara lain adalah:
Halqah Asy-Syaikh ‘Ali
bin Sa’id bin ‘Abdul Wahhab yang wafat pada 910 Hijriah. Ia mengajarkan Fiqh
dan Hadist di Masjid Nabawi di samping tugasnya sebagai qadhi (hakim) di
Madinah.
Halqah Syaikh Ahmad bin
Muhammad Al-Kazaruniy yang wafat pada 920 Hijriah. Ia mengajar Fiqh Mazhab
Al-Imam Asy-Syafi’iy di Masjid An-Nabawi. Pengajiannya dimulai sejak terbit
matahari sampai sebelum Zhuhur. Setelah itu, ia pulang ke rumahnya untuk
muthala’ah (membaca buku-bukunya) kemudian kembali lagi ke Masjid untuk memulai
pengajiannya setelah Zhuhur sampai dengan ‘Ashar. Setelah ‘Ashar dilanjutkan
satu jam lagi, dan ia tetap tinggal di Masjid sampai dengan semua orang sudah
keluar dan dia orang yang terakhir keluar.
Di antara tokoh ulama
yang telah memberikan pengaruh besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan di
Madinah pada masa itu adalah Al-Hafizh Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin
‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Abu Bakr As-Sakhawiy dari Kairo dan bermazhab
Asy-Syafi’iy. Ia wafat pada 902 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah dalam usia 71
tahun. Ulama besar ini telah menghafal Al-Qur’an dan membacanya dengan sangat
baik sejak kecil. Ia juga menghafal Al-Minhaj, Alfiyah Ibni Malik, An-Nukhbah,
Alfiyah Al-‘Iraqiy, Syarah An-Nukhbah dan sebagian besar Asy-Syathibiyyah.
Mahir dalam Fiqh dan ilmu bahasa Arab dan juga berkontribusi dalam Fara’idh,
Hisab dan Miqat, Ushul Fiqh, Tafsir dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Ia juga
seorang sejarawan besar yang telah meninggalkan karya-karya fudamental semisal
Adh-Dhau’u Al-Lami’ Li Ahli Al-Qarni At-Tasi’, At-Tuhfah Al-Lathifah, Al-Munhal
Al-‘Azb Ar-Rawiy fi Tarjamah Quthubil Auliya’ An-Nawawiy dan lainnya.
Tokoh besar lainnya di
Madinah Al-Munawwarah dalam masa itu adalah Nuruddin Abul Hasan ‘Ali bin
Al-Qadhi ‘Afifuddin ‘Abdullah bin Ahmad yang terkenal dengan As-Samhudiy
(Samhud, Mesir). Ia adalah ulama, mufti, guru dan sejarawan Madinah Al-Munawwarah.
Semasa di Samhud ia mempelajari Al-Minhaj, Syarh Al-Bahjah, Jam’ul Jawami’ dan
sebagian besar Alfiyyah Ibni Malik, pada ayahnya serta meriwayatkan beberapa
kitab hadits. Di Madinah ia melazimi Asy-Syihab Al-Absyithiy, mengikuti
pengajiannya untuk kitab Al-Minhaj dan sebagian tafsir Al-Baidhawiy. Di antara
karya-karyanya yang terkenal ialah: Jawahirul ‘Iqdain fi Fadhli Asy-Syarifain,
Iqtifa’ul Wafa bi Akhbar Daril Mushthafa, Mukhtashar Khulashatul Wafa li ma
Yajibu li Hadratil Mushthafa, dan Hasyiyah ‘ala Al-Idhah fi Manasik Al-Hijj lil
Imam An-Nawawiy. Ia wafat pada 911 Hijriah.
Sebagaimana di Madinah,
di Makkah juga hadir tokoh-tokoh ulama besar masa itu semisal ‘Abdullah bin
Ahmad Ba Katsir Al-Hadhramiy Al-Makkiy (wafat 925 Hijiriah), dan Syaikh Masyaikhul
Islam Zakariya bin Ahmad bin Zakariya Al-Anshariy (wafat 926 Hijriah),
pengarang Syarh Ar-Raudh, Syarh Al-Bahjah, Al-Minhaj, Hasyiyah ‘ala
Al-Baidhawiy (tafsir) dan lainnya.
Para ulama besar yang
disebutkan tadi ialah di antara ulama-ulama yang telah meninggalkan jejak besar
dalam ilmu pengetahuan Islam, dan karya-karya mereka masih dipelajari sampai
dengan hari ini dan telah memberikan manfaat yang tidak diragukan lagi bagi
umat Islam di seluruh dunia dari generasi ke generasi.
Dalam iklim keilmuan yang
tercipta oleh keberadaan para ulama sekaliber itulah, Syaikh ‘Abdur Rahim bin
Shalih Al-Madaniy telah hidup. Bahkan, sangat boleh jadi di antara para ulama
yang tersohor itu adalah rekan-rekan Syaikh ‘Abdur Rahim sendiri. Namun pada
masa kemudian ia telah pindah ke Pedir (Kabupaten Pidie, hari ini) dan menetap
sampai akhir masa hayatnya. Kepindahannya dari Madinah Al-Munawwarah sudah
barangtentu karena didorong tekadnya yang kuat untuk memancarkan cahaya Islam
dan menyebarkan ilmu-ilmunya. Ia adalah nur yang telah tiba dari Madinah, dan
menjadi cahaya mata bagi penghuni Pedir dan Aceh kala itu.
Dengan kehadiran tokoh
setingkat Syaikh ‘Abdur Rahim, barangkali, kita juga dapat mengukur bagaimana
tingkat perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Pedir, pada khususnya, dan Aceh,
pada umumnya, dalam masa-masa paroh pertama abad ke-10 Hijriah. Cuma sayang
sekali, sampai dengan hari ini kita belum menemukan warisan keilmuannya. Sebuah
kerja keras dalam usaha menemukan karya-karyanya, saya kira, wajib ditekadkan.
Sebagai seorang yang bekerja di lapangan, saya sangat yakin dengan ketajaman
naluri yang dimiliki Ananda saya, Masykur Syafruddin, untuk menemukan apa yang
diharapkan.
Berikut ini adalah
bunyi inskripsi yang terdapat pada batu nisan makam Syaikh ‘Abdur Rahim bin
Shalih Al-Madaniy. Adinda saya, Mizuar Mahdi, telah mengirimkan kepada saya
gambar-gambar yang terang dan bagus namun begitu di sana sini terdapat
kesulitan yang merintangi saya untuk memperoleh bacaan yang lengkap dan
sempurna.
Nisan kepala Makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih Al-Madani, Sanggeu, Pidie. |
أ.
1. الشيخ الأفخر المحترم
2. والعارف العالم معظم
3. المتحلي بالاسماء مكرم
4. ذو المفاخر في علومه ومعارفه
5. والمحاسن في فعلا ته ومراسمه
6. والعامل بصالح العبادات
وعما [؟] (والأعمال)
7. أطله الله ببشير غفرانه
8. واصطفاه من بين العباد
(إلى معاونه؟)
ب
Nisan kaki makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, Sanggeu, Pidie. |
1. توفي الشيخ العارف الكا
[مل]
2. المتقي (المنسقي ؟) الفقير
المغفور
3. شيخ عبد الرحيم بن صالح
المدني
4. تغمده الله بغفران رحمته
5. وأسكنه أوساط رضوان جنته
6. بعد هجرة النبوية صلى
7. الله عليه وسلم سنة ثالث
و أر
8. بعين وتسعمائة يوم الجمعة
شهر رمضان
Terjemahan:
A. 1. Syaikh (tuan
guru) yang paling dibanggakan lagi dihormati; 2. yang ‘arif lagi ‘alim, [dan
dia] diagungkan; 3. yang terhias dengan nama-nama (sifat-sifat terpuji), [dan
dia] dimuliakan; 4. yang memiliki segala kemegahan dalam ilmu-ilmu dan
pengetahuan-pengetahuannya; 5. dan memiliki segala keelokan dalam berbagai
perbuatan dan tingkah lakunya; 6. dan yang selalu mengerjakan ibadah dan amal
yang shalih; 7. semoga Allah menyejukkannya dengan berita gembira keampunannya;
8. dan memilihnya di antara para hamba [untuk menjadi bagian dari
pertolongan-Nya].
B. 1. Telah diwafatkan
Syaikh yang ‘arif lagi kamil (sempurna); 2. yang bertaqwa (yang sangat
penurut?) lagi faqir, yang [semoga] diampuni; 3. Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih
Al-Madaniy; 4. semoga Allah meliputinya dengan keampunan kasih sayang-Nya; 5.
serta menempatkannya di tengah-tengah ridhwan syurga-Nya; 6. setelah hijrah
Nabi, semoga shalawat; 7. Allah dan salam tercurah kepada beliau, tahun tiga
dan; 8. empat puluh dan sembilan ratus (943) hari Jum’at dalam bulan Ramadhan.
Kompleks makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy (wafat 943 H/1537 M), Sanggeu, Pidie. |
Baik inskripsi pada
nisan kepala maupun nisan kaki memuat informasi tentang Syaikh ‘Abdur Rahim,
dan ini mengingatkan kita kepada kedua nisan makam Syaikh Muhammad di Pango,
Banda Aceh. Inskripsi pada nisan kepala seluruhnya mengungkapkan tentang
sifat-sifat yang dimiliki Tuan Guru yang berasal dari Madinah ini, sedangkan
inskripsi pada nisan kaki adalah untuk memberitahukan tarikh wafatnya.
Kalimat: “..yang
memiliki segala kemegahan dalam ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuannya..” secara
terang menyampaikan bahwa tokoh yang hidup sezaman dengan Syaikh Zakariya
Al-Anshariy dan ulama-ulama semisalnya ini adalah seorang ulama yang memiliki
keluasan ilmu pengetahuan sekelas ulama-ulama besar di paruh pertama abad ke-10
Hijriah. Dan hanya tekad untuk mengabdikan dirinya kepada Agama serta
menyumbangkan ilmu-ilmunya itulah yang telah mengantarkan dirinya ke negeri
yang sangat jauh dari Madinatur Rasul Shalla-Llah ‘alaihi wa Sallam. Maka
adalah pantas kemudian bila diungkapkan bahwa Allah telah memilihnya di antara
para hamba untuk menjadi bagian dari pertolongan-Nya.
Semoga Allah merahmati
Syaikh Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, dan membalas segala kebaikan yang
telah diperbuatnya untuk Islam dan umatnya dengan sebaik-baik balasan dari-Nya.
Wal Hamdulillah,
wash-Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Alihi wa Shahbihi Ajma’in!
Oleh: Musafir Zaman, Penulis adalah pembina Mapesa
Pertama sekali diposting di group facebook Mapesa
Pertama sekali diposting di group facebook Mapesa