Koin Aceh yang bertulis: "Bandar Aceh Darussalam" (Koin koleksi: Masykur Syafruddin) |
Payung Bandar
Hasrat kuat
Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) untuk melestarikan warisan sejarah Aceh
telah diterjemahkan dalam wujud kerja nyata semenjak lembaga swadaya masyarakat
ini berdiri pada 2012. Hampir setiap pekan Mapesa mengadakan apa yang disebut
dengan "meuseuraya".
Meuseuraya
Mapesa merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara bergotong royong
meliputi pembersihan, penataan serta dokumentasi nisan-nisan di berbagai lokasi
situs kompleks makam peninggalan sejarah Aceh Darussalam. Kerja ini, hakikatnya,
merupakan kerja pelestarian yang besar faedahnya bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, penyingkapan nilai-nilai budaya yang Islami serta pengokohan
kepribadian bangsa.
Untuk
melakukan kerja pelestarian dengan gayanya tersendiri, Mapesa tidak pernah
menunggu "pencairan dana" dari pihak pemerintah sekalipun tetap
membuka diri untuk berbagai bentuk dukungan dari pelbagai pihak, pemerintah
maupun masyarakat.
Setiap
person yang terlibat dalam kerja pelestarian itu sesungguhnya telah membawa
bekalnya masing-masing, yang bukan lain, adalah cinta dan ketulusan. Berbekal
cinta dan ketulusan itu sajalah mereka berupaya mengangkat payung pelindung di
atas berbagai peninggalan sejarah Aceh. Mereka yakin, peninggalan sejarah Aceh
Darussalam merupakan warisan umat manusia dan sejarah Islam yang mencapai
martabat istimewa dan wajib dilestarikan.
Mengawali
kerja kepengurusan Mapesa periode 2016-2018, lembaga yang diisi para pegiat
muda ini memikul tanggung jawab tambahan. Mapesa telah diajak untuk berperan
dalam proses perancangan Qanun Kota Banda Aceh tentang Pelestarian Cagar
Budaya; salah satu dari 5 qanun prioritas usulan DPRK Banda Aceh. Suatu hal
yang lantas betul-betul disadari Mapesa ialah tanggung jawabnya yang sekarang
menjadi ekstra berat lantaran mesti mengangkat payung penaung di atas sebuah
kota pusaka yang sudah berumur ratusan tahun.
Sebuah
pandangan yang telah dilontarkan dalam forum diskusi Mapesa baru-baru ini ialah
tentang penempatan Kota Banda Aceh sebagai sebuah ibukota bersejarah di dunia,
terutama di Dunia Islam, di mana berbagai kegiatan da'wah Islam, pemerintahan,
perekonomian, keilmuan dan kebudayaan telah berlangsung di kota ini sejak
ratusan tahun yang silam. Pandangan ini menghendaki sebuah upaya untuk tidak
melulu melihat Kota Banda Aceh dari sudut pandang pragmatis sebagaimana yang
umum tampil dalam sikap hidup masyarakat Aceh hari ini. Sekali-sekali, sudut
pandang lain perlu diperhatikan dan dipertimbangkan.
Bahwa setiap
orang menginginkan taraf hidupnya sampai ke tingkat kemewahan itu adalah
sesuatu, yang katakanlah, sulit untuk disangkal, setidaknya dalam deru campur
debu zaman ini. Namun jalan untuk sampai ke tingkat itu tidaklah satu, apalagi
pragmatisme juga bukan tangga ideal yang mampu menjamin ketidakrugian. Malah,
menurut saya, justru memusnahkan bagian paling pokok lagi istimewa dari apa
yang dimiliki, yakni "jati diri"--saya tulis baris terakhir ini
dengan perasaan harap-harap cemas semoga tidak ada yang menodong saya dengan
sanggahan, apa perlu dan gunanya "jati diri" di zaman seperti ini?!
Peta
kolonial yang menampilkan tata ruang Aceh di masa silam sekaligus sebaran situs makam bersejarah yang sangat banyak. (Foto diusahakan oleh Kurator Kartografi Kuno Irfan M. Nur) |
Melihat Kota
Banda Aceh dari sudut pandang di luar kerangka pikir pragmatisme sama sekali
tidak berarti menjauhkan asas manfaat, tapi justru bercita-cita untuk menggali
seluruh manfaat lewat jalan yang sedapat mungkin menihilkan kerugian moril dan
materil (jalan bil hikmah). Maka, pandangan yang telah dilontarkan dalam
diskusi Mapesa itu mengajak untuk melihat Kota Banda Aceh tidak sekadar sebagai
tempat untuk mengais rezeki, atau tempat untuk mencapai target-target pribadi
atau kelompok, tapi juga sebagai "Bandar Aceh Darussalam". Yakni,
sebagai sebuah ibukota di mana da'wah Islam, pemerintahan, perekonomian,
keilmuan dan kebudayaan telah dipusatkan di ruang geografis ini sejak ratusan
tahun yang silam.
Bandar Aceh
Darussalam dengan demikian telah meninggalkan lapisan budaya yang tebal di
tanah yang hari ini ditempati Kota Banda Aceh. Dengan kata lain, sebuah kota
modern secara praktis telah menindih kota lama, bahkan nyaris menghilangkannya.
Baik penghuni maupun pengunjung Kota Banda Aceh hari ini akan sukar sekali
menghadirkan kota lama itu dalam pikiran dan perasaan sekalipun tengah berada
di depan Gunongan yang merupakan salah satu binaan dari zaman kesultanan Aceh
Darussalam.
Citra Bandar
Aceh Darussalam hakikatnya telah lama memudar. Lebih dari satu abad yang
lampau, Kolonial Belanda telah mengubah rupa kota kesultanan. Kejatuhan pusat
pemerintahan Aceh Darussalam ke tangan Belanda berimplikasi pada derasnya
konsep tata ruang Eropa yang masuk ke ruang kota lama, lalu mendominasinya. "Bandar
Aceh Darussalam" akhirnya lenyap dalam rongga zaman yang gelap, dan kini,
tampaknya, tak ada seorang pun lagi yang menyimpan rekaman rupa kota kesultanan
ini secara lebih utuh.
Alhasil,
terima atau tidak terima, Kota Banda Aceh jelas lebih mencirikan kota-kota
pendudukan Belanda di Indonesia daripada Bandar Aceh Darussalam yang telah
berumur ratusan tahun. Kini, saya membayangkan bagaimana citra Bandar Aceh
Darussalam yang sudah mengekal sejak ratusan tahun itu dalam tempo yang tidak
sampai setengah abad saja menjadi pupus dan kian hari makin seperti layaknya
kota yang tidak pernah wujud saja; terlupakan. Maka, patut untuk disadari
kemudian bagaimana imperialisme telah berhasil memutuskan banyak sekali
keterkaitan antara Aceh dan masa lampaunya.
Kemauan
Kolonial untuk mewariskan kota pendudukan sebagai identitas baru menggantikan
identitas kota lama Bandar Aceh Darussalam begitu nyata. Ini tampak, misalnya,
dalam pemanfaatan ruang kawasan Kuta Alam di zaman kolonial.
Toponimi
Kuta Alam jelas mengingatkan kita akan keterangan beberapa sejarawan tentang
Dinasti Kuta Alam yang setelah Sultan 'Ali Mughayat Syah naik tahta pada
permulaan abad ke-16 telah mempersatukan Dinasti Kuta Alam dan Dinasti Darul
Kamal. Antara kawasan Kuta Alam hari ini dan Dinasti Kuta Alam itu tampaknya
memiliki suatu keterkaitan yang mendasar. Akan tetapi yang umum terlihat
sekarang di kawasan Kuta Alam hanyalah bangunan-bangunan bersejarah dari era
kolonial. Sepertinya tak ada satu pun sudut yang mengesankan atau mengingatkan
Kuta Alam zaman Aceh Darussalam. Kuta Alam yang berarti kota Dunia hanya
tinggal nama yang mengesankan kehebatan Aceh Darussalam namun tanpa menyisakan
sesuatu pun dari zaman tersebut.
Peta kolonial yang menampilkan: Kawasan Darud Dunia, Bandar Aceh Darussalam.(Foto diusahakan oleh Kurator Kartografi Kuno Irfan M. Nur) |
Kondisi yang
tidak berbeda jauh juga teramati di kawasan Istana Daruddunia, dan kita pada
akhirnya tetap saja tidak mampu menjawab di mana para sultan Aceh dulunya
beristana. Sementara itu, suasana dalam ruang pendopo gubernur pun terasa dekat
sekali dengan ke-Belanda-an. Apakah kita memang benar-benar tidak mampu menjauh
dari kebelandaan?!
Bagaimanapun,
wujud fisik Kesultanan Aceh Darussalam seakan telah senyap di balik tembok
waktu yang tebal, dan hanya tinggal cerita-cerita yang dikisahkan. Dikisahkan
pun terkadang hanya sekadar untuk mengisi waktu kosong. Generasi hari ini tidak
lagi dapat berinteraksi dengan "Bandar Aceh Darussalam" sebagai
sumber identitas, pengalaman serta pelajaran.
Tahun-tahun
setelah musibah stunami, Bandar Aceh Darussalam semakin melesak jauh ke bawah
Kota Banda Aceh yang dibangun Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Sumut.
Pemerintah pun kemudian tampak begitu bersemangat untuk menjadikan
"warisan tsunami" sebagai aset pariwisata yang prospektif. Alhasil,
kota ini pun beralih menjadi "Kota Tsunami".
Sesungguhnya
tidak perlu dipertanyakan lagi, apakah Bandar Aceh Darussalam akan
dipertahankan atau dilepaskan pergi untuk selamanya, sebab jawabannya sudah
jelas bahwa Bandar Aceh Darussalam merupakan bagian paling istimewa dari jati
diri bangsa. Maka, revitalisasi Bandar Aceh Darussalam adalah sebuah gagasan
yang akan benar-benar dipertimbangkan dalam rangka mengangkat payung penaung di
atas kota Islam paling bersejarah di Asia Tenggara.
Bitai, 1
Jumadil Akhir 1437 H
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di group Mapesa.
0 Komentar