Stimulus
Maksud membacakan alinea-alinea yang terdapat dalam dua karangan para pakar--yang sebenarnya hanya merupakan beberapa baris teks di antara sekian banyak teks berintikan pokok pikiran yang sama--muncul karena didorong hasrat untuk sekadar memberikan stimulus supaya kita makin terpanggil untuk benar-benar mencermati, mengenali, serta memahami satu di antara sekian aspek kesejarahan atau historiografi yang tidak boleh tidak untuk diinsafi--jika tidak untuk dikuasai--manakala kita berhadapan atau hendak berada lebih dekat dengan tarikh Aceh (Fansur, Samudra, Pasai, Lamuri, Pedir, dan Aceh Darussalam beserta seluruh wilayah taklukannya di kepulauan dan daratan Asia Tenggara) secara khusus, atau tarikh Islam di Asia Tenggara (seluruh tanah negeri orang-orang Jawi) secara umum.
Menginsafi
aspek yang sebentar lagi akan terjelaskan lewat alinea-alinea yang dinukilkan
dari dalam tulisan pakar-pakar--dengan itu saja, belum yang lain--kiranya, akan
membukakan mata kita untuk melihat betapa luas dan rumitnya persoalan
historiografi; akan memberikan kita kesadaran mendalam untuk senantiasa
bersikap rendah hati serta menjauhi segala sikap yang berbau kecongkakan;
memacu kita untuk segera menggalang barisan yang mampu berkerjasama, bahu
membahu, dengan penuh ketekunan dan kesabaran; dan yang terakhir, namun teramat
penting, akan melahirkan pada diri kita suatu keyakinan bahwa kerja di dalam
ruang tarikh Aceh atau tarikh Islam di Asia Tenggara adalah kerja yang mesti
dilakukan lintas generasi, dan oleh karena itu, mempersiapkan kader peneliti
masa depan yang siap bekal adalah suatu kemestian yang harus diemban para
peneliti yang tengah berkerja saat ini.
Alinea-alinea di bawah ini--yang mudah-mudahan dapat menjadi semacam stimulus sebagaimana diharapkan--datang dari pakar-pakar yang sudah ternama. Satunya adalah bumiputra Indonesia yang telah diakui kecemerlangannya dalam bidang arkeologi Islam di Indonesia, yaitu Almarhum Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary (1939-2006). Sementara lainnya adalah Claude Gaillot dan Ludvik Kalus, dua pengkaji ketimuran (orientalis) asal Prancis, yang dalam dasawarsa terakhir ini, sumbangan-sumbangan keilmuannya mulai menjamah Indonesia.
Inskripsi pada nisan Sitti Hur abad 16 di komplek Poteumerhom Kuala Daya, Lamno. |
Alinea-alinea di bawah ini--yang mudah-mudahan dapat menjadi semacam stimulus sebagaimana diharapkan--datang dari pakar-pakar yang sudah ternama. Satunya adalah bumiputra Indonesia yang telah diakui kecemerlangannya dalam bidang arkeologi Islam di Indonesia, yaitu Almarhum Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary (1939-2006). Sementara lainnya adalah Claude Gaillot dan Ludvik Kalus, dua pengkaji ketimuran (orientalis) asal Prancis, yang dalam dasawarsa terakhir ini, sumbangan-sumbangan keilmuannya mulai menjamah Indonesia.
Hasan Muarif
Ambary dalam bukunya, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia (1421 H/2001 M: 69), menulis:
"Dalam
arkeologi Islam, epigrafi merupakan salah satu jenis data dan disiplin ilmu
pengetahuan yang penting peranannya bagi upaya rekonstruksi kebudayaan,
sekaligus untuk mengetahui kemungkinan terjadinya difusi kebudayaan dari satu
tempat ke tempat lain. Dari kajian epigrafi, yang menganalisis sumber
tulisan-tulisan kuno ini, kita dapat memperoleh gambaran tentang
perubahan-perubahan yang pernah terjadi serta faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan-perubahan tersebut. Hasil-hasil penelitian epigrafi yang signifikan
dalam kajian tentang Islam Indonesia adalah bukti-bukti tulisan di berbagai
media atau benda yang memiliki atribut keislaman yang kuat, khususnya tulisan
beraksara atau berhuruf Arab dan berbahasa Arab, Melayu, Sunda dan sebagainya.
Salah satu
obyek epigrafi adalah kaligrafi. Kaligrafi, dalam hal ini adalah kaligrafi
Islam, merupakan seni dalam kesenian Islam, puncak kesenian Islam yang
mencerminkan spirit Islami, dan juga pusat ekspresi seni Islam."
Demikian
tulis Hasan Muarif Ambary dalam buku tersebut.
Inskripsi pada nisan Plang Pleng abad 15 di komplek makam Plang Pleng Lamteh, Ulee Kareng, Banda Aceh. |
Alinea-alinea selanjutnya ditulis Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam buku mereka, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (2008: 7-9):
"Proses pengislaman jelas merupakan salah satu perubahan terpenting yang pernah dialami dunia Nusantara dalam sejarahnya. Tetapi sayangnya masa awal proses yang berlangsung lama itu telah terselubung dengan melajunya waktu, baik oleh kisah-kisah bersifat legenda epik maupun oleh babad dan hikayat yang jelas mempunyai tujuan politik. Dalam situasi ini, memilah kenyataan dari cerita rekaan yang menutupinya merupakan tantangan hebat, apalagi kerena berbagai sumber yang dapat menunjang tugas penelitian ini sudah lama kiranya dikuras habis oleh para sejarawan. Namun kalau disimak dengan seksama, gambaran ini barangkali tidak sepenuhnya benar. Salah satu kumpulan data asli yang amat berharga yang sebagian besar tidak tersentuh, ialah epigrafi Islam sebelum abad ke-17. Terukir dalam batu supaya menentang perjalanan waktu, prasasti-prasasti yang sekitar tiga ratus jumlahnya itu mengungkapkan secara serba singkat sejumlah sosok laki-laki dan perempuan yang pernah menjadi pelaku atau paling tidak saksi dari perombakan budaya yang dahsyat itu.
Inskripsi pada nisan Malik Syamsuddin (w. 822 H/1419 M) di situs Lamuri Lamreh, Mesjid Raya, Aceh Besar. |
Kalau dikatakan bahwa kumpulan data tersebut sama sekali terbengkalai selama ini, sama dengan menistakan beberapa sarjana ulung masa lalu, seperti Moquette di Indonesia dan Winstedt di Malaysia, untuk menyebut dua contoh saja. Ketekunan dan kepakaran mereka hanya dapat dikagumi saja. Tetapi dalam dunia yang mahaluas ini, hanya segelintirlah orang yang sempat mengabdi kepada tugas berat epigrafi, apalagi epigrafi Islam. Kekurangan tenaga itu berakibat prasasti-prasasti tidak pernah diteliti sebagai suatu keseluruhan. Tambahan lagi, epigrafi, seperti juga ilmu-ilmu lain, telah berkembang dengan pesat dalam periode mutakhir, khususnya sebagai hasil penelitian yang dilakukan di berbagai daerah dunia Islam, dengan hasil berbagai jenis perbandingan yang amat subur dan berguna.
Menghadapi situasi ini, beberapa tahun silam kami menganggap perlu meletakkan dasar korpus semua prasasti Islam di dunia Nusantara, baik yang dikenal maupun belum, sambil menyajikan sebuah interpretasi baru kalau perlu dan suatu terjemahan, serta menimba makna historis dari semua teks tersebut.
Inskripsi pada nisan Sultan Syamsu Syah ibnu Sultan Munawar Syah (w. 937H/1531 M) Poteumerhom, Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh |
Mengumpulkan data itu saja sudah mengandung hikmah. Demikianlah dapat diamati bahwa peta prasasti-prasasti tersebut menunjuk pada beberapa kawasan utama. Jumlahnya tiga: bagian utara Sumatra dengan proporsi prasasti yang terbersar di seluruh Nusantara (Pasai, Barus, Lamuri, Pidie, Aceh, juga boleh ditambah Aru), Semenanjung Melayu (dua pusatnya Malaka-Johor dan Patani0 dan Brunei sebagai suatu kasus luar biasa dan tersendiri, ditambah lagi Pulau Sulu yang jauh dari segi geografi tetapi dekat dari segi sejarah."
Demikian
bunyi alinea-alinea yang sempat dipetik dari sejumlah teks para pakar yang
menekankan pokok-pokok pikiran yang sama. Alinea-alinea atau beberapa baris
tulisan tersebut diharapkan dapat menjadi penggugah kemauan untuk meluaskan
perhatian serta penilikan kita terhadap berbagai persoalan terkait sejarah dan
historiografi Islam di Asia Tenggara.
Adapun
gambar-gambar yang disajikan beserta "stimulus" ini adalah secuil di
antara gambar-gambar yang kapan saja dapat disaksikan dan diunduh dengan mudah
di grup dan website Mapesa apakah itu untuk dicermati, dipelajari maupun
disebarkan. Sebab, apapun publikasi Mapesa adalah dari kita, untuk kita, dan
dalam rangka melangkah menuju kehidupan yang lebih cerdas serta kukuh dalam
keimanan.
Semoga Allah
senantiasa melimpahkan rahmat, petunjuk dan taufiq-Nya kepada kita semua. Amin.
Inskripsi pada nisan dari abad 16 di komplek makam Poteumerhom Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. |
Inskripsi pada nisan Malik Syamsuddin (w. 822 H/1419 M) di situs LamuriLamreh, Mesjid Raya, Aceh Besar. |
Inskripsi yang memuat kalimah Tauhid pada Nisan Plang Pleng abad 15
di komplek makam Plang Pleng di Lamteh, Ulee Kareng, Banda Aceh.
|
Inskripsi pada nisan Plang Pleng abad 15
di komplek makam Tuan di Kandang
Pande, Kuta Raja, Banda Aceh.
|
Inskripsi pada nisan Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah (w. 913 H/1508 M) di komplek Poteumerhom Kuala Daya, Lamno. |
Inskripsi pada nisan Plang Pleng abad 15 di komplek makam Plang Pleng
Lamteh, Ulee Kareng, Banda Aceh.
|
Inskripsi pada nisan Plang Pleng abad 15
di komplek makam Plang Pleng
Lamteh, Ulee Kareng, Banda Aceh.
|
Inskripsi pada nisan dari abad 16 di komplek makam Poteumerhom Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. |
Inskripsi pada nisan Plang Pleng abad 15 di komplek makam Plang Pleng
Lamteh, Ulee Kareng, Banda Aceh.
|
Inskripsi pada nisan Malik Syamsuddin (w. 822 H/1419 M di situs Lamuri Lamreh, Mesjid, Aceh Besar. |
Inskripsi pada nisan dari abad 16 di komplek makam Poteumerhom Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. |
Inskripsi pada nisan dari abad 16 di komplek makam Poteumerhom Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. |
Inskripsi pada nisan dari abad 16 di komplek makam Poteumerhom Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. |
Inskripsi pada nisan Malik Ibrahim abad 16 di komplek makam Poteumerhom Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. |
Inskripsi pada nisan Plang Pleng abad 15di komplek makam Raja-Raja Gampong Pande
Pande, Kuta Raja, Banda Aceh.
|
Inskripsi pada nisan Plang Pleng abad 15 di komplek makam Plang Pleng
Lamteh, Ulee Kareng, Banda Aceh.
|
Bitai, 6 Sya'ban 1437 H.
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook Musafir zaman di group Mapesa.
0 Komentar