Kompleks makam Faqih Muhannad bin Mahmud bin Syuhbah al-Farnawi terendam air laut Gampong Pande, Banda Aceh Foto: Akbar Rafsanjani. |
Terkadang, terasa seperti kehabisan kalimat untuk mengungkapkan bagaimana sesungguhnya Aceh di abad-abad yang lampau. Melawat ke kawasan gampong-gampong di Kecamatan Kutaraja, terutama Gampong Jawa, Pande, Pelanggahan, Lampaseh Kota dan sekitarnya, yakni di daratan yang dibatasi oleh Krueng Aceh di timur dan Krueng Dho di barat, dengan menitikkan arah pandangan ke kompleks-kompleks pemakaman peninggalan sejarah yang tersebar di sana, maka suatu kesan yang sulit untuk diperkatakan muncul dalam benak.
Sebuah bayangan tentang masa
silam seakan tampak dalam keremangan lentera pikiran yang begitu lemah untuk
dapat mennyorot dan menjangkau masa yang telah digelapkan oleh sekian lapis
zaman. Lentera itupun, sesungguhnya, tidak dibekali dengan daya yang cukup, dan
sangat alakadar oleh karena kelangkaan sumber sejarah yang autentik, ditambah
pula dengan ketumpulan pengetahuan yang dimiliki untuk dapat mengenal
karakteristik sejarah Islam.
KARAKTERISTIK SEJARAH ISLAM
Menyangkut hal terakhir yang
disebutkan dalam paragraf sebelum ini, perlu kiranya pula, diungkapkan kembali
bahwa materi sejarah Islam, pada kenyataannya, sudah sejak lama tidak lagi
memperoleh perhatian yang sepantasnya baik dari masyarakat umum maupun
masyarakat terpelajar.
Menyimak cerita-cerita yang dirawikan
dan berkembang dalam masyarakat umum, bahkan terpelajar, mengenai para Nabi dan
Rasul, mengenai kehidupan Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam, keluarga
dan sahabat-sahabat beliau dari generasi awal Islam, serta perjalanan umat
sampai dengan dewasa ini, tampaklah dengan nyata betapa minim, semraut dan
simpang-siurnya pengetahuan sejarah Islam yang dimiliki oleh masyarakat umum,
dan sekali lagi, bahkan masyarakat terpelajar. Wajar saja bila kemudian
karakteristik sejarah Islam adalah sesuatu yang sulit untuk dikenali dan
dibedakan dengan "sejarah-sejarah" yang lain, malah di banyak waktu,
legenda dan berbagai dongeng pun dianggap sebagai sejarah atau sejarah Islam.
Padahal, bukan sejarah, apalagi sejarah Islam.
Bagaimana seseorang dapat
mengenal karakteristik sejarah Islam bila tidak dapat memahami dengan jelas,
misalnya, pengaruh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surah Ash-Shaff:
10-13 dalam perjalanan sejarah umat ini?
Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
"Wahai orang-orang yang
beriman! Mau-kah kamu Aku Tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan
kamu dari azab yang pedih?(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi
kamu jika kamu mengetahui, niscaya Allah Mengampuni dosa-dosamu dan Memasukkan
kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-
tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung. Dan
(ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan
kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada
orang-orang Mukmin."
Saya dapat mengatakan dengan
yakin bahwa ayat-ayat ini merupakan salah satu di antara pelbagai tuntunan yang
diamalkan, dan pada gilirannya telah menggerakkan berbagai peristiwa yang
terjadi di masa-masa silam Aceh.
Jika ditanyakan, dari mana Anda
tahu itu, maka saya akan menjawab bahwa studi epigrafi telah menemukan bukti
untuk itu!
Ayat 13 dalam surah Ash-Shaff
ditemukan terpahat pada tidak sedikit batu nisan peninggalan sejarah baik itu
dari zaman Sumatra (Samudra Pasai), Lamuri maupun Aceh Darussalam. Ini adalah
sebuah petunjuk kuat bagaimana mereka telah menaruh perhatian besar terhadap
ajaran yang disampaikan dalam ayat-ayat tersebut, dan dari pengamalannya,
tentu, telah terlahir banyak peristiwa sejarah, yang dapat ditajukkan dengan
"peristiwa penyebaran dan pengembangan Islam ke berbagai kawasan di
daratan dan kepulauan Asia Tenggara".
Maka, kisah dalam sejarah Islam
akan mengambil kisah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya
dengan harta dan jiwa, sebagai kisah pokok dan inti, dan itu merupakan satu
dari watak atau karakteristik sejarah Islam. Kisah maju dan mundurnya umat
Islam akan ditentukan oleh jauh atau dekatnya umat dengan tuntunan hidupnya
yang abadi.
Dari itu, saat seseorang
mendengarkan sebuah kisah tentang masa silam Aceh Darussalam dan negara-negara
Islam yang pernah hidup di persada bumi Aceh dan Asia Tenggara, maka patutlah
ia mencermati di mana ditempatkan "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya"
dalam kisah tersebut. Apabila yang paling menonjol dalam kisah itu bukan kisah
"iman kepada Allah dan Rasul-Nya", maka kehati-hatian dalam menerima
kisah tersebut adalah suatu tindakan yang bijaksana. Syaikh Nuruddin Ar-Raniriy
(abad 11 H) juga pernah mensinyalir hal ini dalam "Shirathul
Mustaqim", karyanya.
KOTA LAMA YANG TERABAIKAN
Kawasan Gampong Jawa, Pande,
Peulanggahan dan lain-lain sekitarnya, sudah tak pelak lagi merupakan sebuah
kota kuno yang padat dan sibuk sepanjang abad-abad lampau Aceh Darussalam.
Kenyataan itu memiliki sekian banyak bukti. Namun, sayangnya, tidak semua mata
dengan serta merta mampu menangkap kenyataan tersebut. Itu merupakan kenyataan
yang perlu ditemukan dengan sebuah tingkat kesadaran yang tinggi dan juga,
tentunya, dengan pengetahuan.
Kompleks makam Faqih Muhannad bin Mahmud bin Syuhbah al-Farnawi saat air laut surut Gampong Pande, Banda Aceh. |
Jika tidak demikian, maka
kawasan tersebut tidak lebih dari perkampungan pesisir yang sebagiannya terisi
oleh permukiman, dan lainnya adalah tambak ikan dan rawa-rawa hutan bakau.
Bahkan, satu hal lagi yang SAMA SEKALI TIDAK AKAN MEMBUAT KAWASAN ITU ISTIMEWA
IALAH LABELNYA SEBAGAI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) KOTA BANDA ACEH--Mohon
maaf, saya perlu menulis ini dengan huruf besar. Dari kota tua yang bersejarah
menjadi TPA yang dilintasi truk-truk pembuang sampah di setiap
harinya--ditambah lagi dengan bau TPA yang khas--tentu, penurunan level (grade)
yang sangat tidak diperkirakan serta memilukan dalam sekali waktu! Lalu, suatu
hal yang menggelikan pula sekaligus membuat saya merasa seperti orang sakit
jiwa adalah ketika Kota Banda Aceh merupakan anggota dalam Jaringan Kota Pusaka
(?!). Saya benar-benar belum menemukan cara untuk menerima kekontrasan ini!
SANG FAQIH DARI JAZIRAH ARAB
Kawasan situs Aceh Darussalam yang telah berubah menjadi TPA. |
SANG FAQIH DARI JAZIRAH ARAB
Baris-baris di atas ialah
baris-baris menyangkut beberapa hal yang memprihatinkan yang sempat terlintas
dalam pikiran saya saat hendak mengajukan kepada Pembaca budiman tentang satu
temuan terpenting Mapesa belum lama ini. Baris-baris itu saya tulis disertai
kesadaran bahwa hal-hal yang memprihatinkan itu tidak akan berubah dalam waktu
dekat ini, bahkan dalam waktu yang jauh sekalipun. Kondisi-kondisi sebagaimana
yang telah diungkapkan itu tidak akan memperoleh perhatian, dan semua keadaan
akan berlanjut sebagaimana adanya untuk masa yang panjang, sama seperti bentuk
kehidupan yang sedang dijalani, yang tidak akan berubah, lantaran tidak
diarahkan oleh suatu kesadaran yang lebih tinggi terhadap masa depan bangsa,
umat dan Agama, dan sebaliknya, hanya berpusar pada kehidupan pribadi demi
memuaskan masing-masing obsesi.
Kompleks makam Faqih Muhannad bin Mahmud bin Syuhbah. Gampong Pande, Banda Aceh. |
Kembali ke temuan Mapesa belum
lama ini. Bagi saya, temuan tersebut lagi-lagi meyakinkan saya bahwa Mapesa
sudah berada di jalan yang benar selama seluruh usaha yang dilakukannya
beranjak dari ketulusan niat dan ditujukan untuk menyingkap berbagai fakta dari
sejarah Islam di Aceh. Sebab, tidak ada ruang untuk kebetulan dalam penemuan
tersebut, dan itu semata-mata atas taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Wal-Hamdulillah.
Mengapa saya perlu menegaskan
hal ini lagi sedangkan memang tidak ada daya dan kekuaatan selain dengan
pertolongan Allah?
Satu kompleks makam peninggalan
sejarah Aceh Darussalam di Gampong Pande, sebagaimana sejumlah kompleks lainya
di kawasan gampong itu, telah lama berada dalam kondisi terendam oleh pasang
laut, dan rata-rata batu nisannya telah dikeremuni tiram (Ostrea cucullata).
Dalam kondisi seperti itu,
sesungguhnya, teramat sukar untuk menemukan nisan-nisan dengan inskripsi yang
relatif utuh. Saya sendiri tidak pernah menduga sepasang nisan yang berada di
lokasi demikian dapat bertahan begitu lama dengan inskripsi yang secara umum
masih dapat terbaca dan masih memamerkan keindahan kaligrafi yang menurut saya
juga merupakan salah satu "masterpiece" dari zaman yang sudah
berselang abad itu. Selain dari itu, inskripsi pada nisan makam ternyata juga
telah menyumbangkan informasi yang sangat berarti bagi sejarah Aceh Darussalam.
Meski sangat di luar dugaan,
tapi begitulah adanya. Hanya atas rahmat dan taufiq Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sepasang nisan itu ditemukan oleh Mizuar Mahdi bersama Yusri dari Mapesa.
Sebuah temuan yang akan menentukan agenda baru bagi kerja Mapesa, di mana
lembaga swadaya masyarakat ini akan meletakkan kota lama di kawasan tepi barat
hilir Krueng Aceh ini, terutama Gampong Pande dan Gampong Jawa, sebagai fokus
utama dari ragam kegiatan penyelamatan, pelestarian, pengkajian dan
penyiarannya.
Pada sepasang nisan makam yang
ditemukan di rawa-rawa Gampong Pande itu terpahat inskripsi sebagai berikut:
A. Batu Nisan Kepala (sebelah
utara)
أ.
1. والملائكة
وأولو العلم قائما بالقسط لا
2. (إله
إلا) هو العزيز الحكيم
3. لا إله
إلا الله محمد رسول الله
4. شهد
الله أنه لا إله إلا هو
Komentar:
Inskripsi yang terpahat pada
batu nisan bagian kepala ini adalah bunyi ayat 18 dari surah Al 'Imran, yang
artinya:
"Allah Menyatakan bahwa
tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu
yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha
Bijaksana."
Batu Nisan Kaki (sebelah
selatan) Al-Faqih Asy-Syaikh Muhannad Al-Farnawi (w. 940 H / 1536 M). Gampong Pande, Kutaraja, Banda Aceh. |
B. Batu Nisan Kaki (sebelah
selatan)
ب.
1. هذا
القبر الفقيه التقي المتقي به المطيع له الملك العالي
2. المخصوص
بعناية الله الملك الثاني(الباني؟)
3. (الشيخ؟)
مهند ابن محمود ابن شهبة [ا]لفرنوي توفي يوم الإثنين عشرون من شهر
4. المحرم
(كذا) سنة أربعين وتسعمائة من الهجرة
Komentar:
1. Inskripsi pada sisi 1 dan 2
dari nisan ini adalah kalimat yang berarti:
"Inilah kubur Faqih (ahli
fiqh), yang bertaqwa, orang yang menjadi tempat memelihara diri serta yang
dipatuhi oleh raja yang tinggi, yang dikhususkan dengan 'inayah Allah, raja
yang kedua..."
Dari kalimat tersebut dapat
dijelaskan bahwa tokoh yang dimakamkan dengan penanda nisan tersebut adalah
seorang faqih (ahli fiqh) yang dalam istilah yang lebih umum adalah ulama. Di
sini disebutkan bahwa ahli fiqh ini adalah seorang yang shalih, seorang yang
bertaqwa dan memelihara dirinya dari murka dan azab Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sifat yang serupa ini juga disebutkan pada inskripsi nisan makam Al-Marhum
Sultan Al-Malik Ash-Shalih di Sumatra (Samudra Pasai; Aceh Utara, sekarang).
Selanjutnya disebutkan juga bahwa ia tidak saja orang yang memelihara dirinya
sendiri dari murka dan azab Allah (bertaqwa), tapi sekaligus merupakan tempat
seorang raja--yang disifatkan dengan raja yang tinggi--memelihara dirinya dari
murka dan azab Allah, dan ia adalah orang yang dipatuhi oleh raja itu.
Sampai di sini, tampaknya, kita
sudah dapat menyimpulkan bahwa ulama atau faqih yang dikubur di Gampong Pande
itu adalah seorang tokoh besar dalam kerajaan Aceh Darussalam. Dari konteks
kalimat yang terpahat pada batu nisannya, kita dapat mengira-ngira perannya
dalam kerajaan mesti tidak jauh dari seorang penasehat dan mufti sultan, atau
guru dan pengasuh dalam keluarga kesultanan, atau semua itu sekaligus.
Siapa raja yang dimaksud?
Penyebutan pada kali pertama
sebagai Al-Malik Al-'Ali (raja yang tinggi), lalu ditambahkan dengan
Al-Makhshush bi 'Inayatillah (raja yang dikhususkan dengan 'inayah Allah),
tanpa menyebut sultan, ini mengesankan bahwa tokoh yang dimaksud adalah memang
seorang Malik (raja) dan bukan sultan, dan boleh jadi ia seorang putra mahkota
dari sultan (calon sultan). Namun, penyebutannya dengan gelar
"Al-Makhshsush bi 'inayatillah" menarik perhatian sebab gelar
demikian, sejauh ini, hanya ditemukan pada nisan makan Sultan 'Ala'uddin bin
'Ali Mughayat Syah. Maka di sini muncul pertanyaan yang menarik untuk dibahas
lebih luas di kesempatan lain: apakah raja yang dimaksud pada inskripsi itu
adalah Sultan 'Alauddin 'Inayat Syah bin 'Ali Mughayat Syah sebelum ia menjadi
sultan Aceh Darussalam?
Gelar Al-Makhshush bi
'Inayatillah kemudian disusuli dengan penyebutan gelar Al-Malik kembali dan
kali ini diikatkan dengan sifat Ats-Tsani (kedua). Sebenarnya ada peluang untuk
membaca kata ini dengan Al-Bani (pembangun), tapi saya lebih mengunggulkan kata
Ats-Tsani. Andaikan maushuf (kata yang disifatkan) itu adalah As-Sulthan, maka
barangkali akan lebih tepat jika dibaca Al-Bani. Itu hanya menurut saya. Dan
dari sini, kita seperti mendapatkan semacam dukungan untuk dugaan bahwa raja
yang dimaksud adalah Sultan 'Alauddin 'Inayat Syah bin 'Ali Mughayat Syah,
sebab sejauh yang diketahui selama ini, hanya dua orang di antara putra-putra
Al-Marhum Sultan 'Ali Mughayat Syah yang sampai ke tahta kesultanan Aceh
Darussalam: pertama, Sultan Shalahuddin, dan yang kedua, Sultan 'Alauddin.
Makam Sultan 'Alauddin 'Inayat Syah berdapingan dengan ayahnya Sultan 'Ali Mughayat Syah di Kandang XII kota Banda Aceh. |
Untuk itu, maafkan saya, jika
lagi-lagi saya harus mengira-ngira--sejauh yang dimungkinkan oleh teks
tersebut--bahwa Sultan 'Ali Mughayat Syah telah mempersiapkan dua putra mahkota
sebagai penggantinya di kemudian hari: pertama, Al-Malik Shalahuddin, dan
kedua, Al-Malik (Ats-Tsani) 'Alauddin Al-Makhshush bi 'Inayatillah. Demikian
yang dapat saya perkirakan, dan satu tambahan perkiraan lagi ialah bahwa
pendidikan dan pengasuhan Al-Malik Ats-Tsani 'Alauddin Al-Makhshush bi
'Inayatillah telah diserahkan kepada seorang ulama dan faqih terkemuka di
kerajaan Aceh Darussalam, yang setelah meninggal dunia dikuburkan di Gampong
Pande.
2. Inskripsi pada sisi 3 dan 4
dari nisan adalah kalimat yang di beberapa tempat tidak dapat saya pastikan
kata-katanya seperti kata Asy-Syaikh pada bagian awal dari sisi 3. Huruf-huruf
di bagian awal sudah tidak begitu jelas, namun saya menduga kuat bahwa itu
adalah kata Asy-Syaikh, yakni sebuah gelar yang umum mendahului nama seorang
ulama, dan berarti tuan guru.
Kemudian pada bagian nama, di
situ juga menimbulkan sedikit masalah sebab huruf pertama dari nama tidak dapat
dipastikan sementara huruf-huruf berikutnya yang dapat terlihat dengan jelas
adalah huruf ha' dan dal. Namun sesudah menimbang beberapa hal, maka saya
membacanya dengan: Asy-Syaikh Muhannad (lihat gambar pertanggungjawaban saya
untuk bacaan tersebut). Dalam Lisanul 'Arab, "muhannad" berarti
pedang yang dibuat dengan besi dari India.
Bacaan selanjutnya cukup jelas
kecuali pada dua tempat yang salah satunya kekurangan alif, yakni pada kata
Al-Farnawiy, sedangkan pada tempat lain, yakni di bagian paling ujung dari sisi
3 terdapat alif yang tidak dapat dikaitkan dengan apapun kata yang terdapat
pada bagian ujung inskripsi sisi 3. Saya kira, alif yang terdapat di situ
adalah untuk memperbaiki (istidrakah) ketiadaan alif pada kata Al-Farnawi
(Wallahu A'lam). Dengan memperhatikan catatan-catatan tersebut, maka bacaan
inskripsi pada sisi 3 dan 4 dapat diterjemahkan begini:
"Asy-Syaik Muhannad ibn
Mahmud ibn Syuhbah Al-Farnawiy yang wafat pada hari Senin dua puluh (20) dari
bulan Al-Muharram (sic) tahun empat puluh dan sembilan ratus dari hijrah (940
hijriah)."
3. Siapakah Asy-Syaikh Muhannad
ibn Mahmud ibn Syuhbah Al-Farnawi ini? Sejauh yang diketahui, tokoh ulama ini
belum pernah ditemukan tersebut dalam apapun kepustakaan menyangkut sejarah
Aceh Darussalam. Hanya nisan ini yang memberitahukan kehadirannya dalam sejarah
Aceh Darussalam.
Sesuatu yang baru dapat dilacak
untuk sementara ini adalah menyangkut nisbah pada ujung namanya: Al-Farnawiy.
Saya menemukan nisbah yang serupa dalam Adh-Dhau' Al-Lami' li Ahli Al-Qarn
At-Tasi' (Cahaya Terang bagi Tokoh-tokoh Abad ke-9 Hijriah) karya Al-Imam
Syamsuddin Muhammad bin 'Abdur-Rahman As-Sakhawi--Rahimahullah.
Di sana As-Sakhawi menerangkan:
الفرنوي
بفتح أوله وسكون ثانيه إبراهيم بن يوسف الكاتب وابن أخيه محمد وآخرون
"Al-Farnawiy [dibaca]
dengan fatah huruf awalnya, dan sukun huruf keduanya. Yaitu: Ibrahim bin Yusuf
Al-Katib dan kemenakannya, Muhammad, dan lain-lain." (J. 11, h. 218)
Sayangnya, As-Sakhawiy tidak
menyebutkan dari mana nisbah ini berasal, bahkan dalam biografi Muhammad bin
'Ali yang ditulisnya, ia hanya menyebutkan: Muhammad Al-Farnawiy Al-Ashl
Al-Qahiry (J.8. h. 229), yakni Al-Farnawi asalnya, dan kemudian tinggal di
Kairo, tanpa menerangkan apa atau daerah mana yang dimaksud dengan nisbah
Al-Farnawi. Namun saya meyakini bahwa nisbah Al-Farnawi ini telah diambil dari
kata-kata Farnah. Ini yang saya yakin lebih tepat dari lainnya.
Lantas kalau sekiranya
Al-Farnawiy adalah nisbah dari nama tempat, Farnah, maka di mana letak Farnah
ini?
Yaqut Al-Hamawiy dalam Mu'jamul
Buldan (j. 4, h. 257) menyebutkan bahwa Farnah adalah satu tempat di syu'ur
(tempat-tempat berpohon) qabilah Huzail. Tidak diketahui secara persis
keletakan tempat tersebut, namun qabilah Huzail adalah Arab yang mendiami
Makkah serta kawasan antara Makkah dan Tha'if.
Bagaimanapun, sesuatu yang
dapat dijelaskan kemudian, bahwasanya Asy-Syaikh Al-Faqih Muhannad bin Mahmud
bin Syuhbah adalah seorang ulama yang berasal dari Jazirah Arab dan kemudian
tinggal di Aceh sepanjang tahun-tahun di paruh awal abad ke-10 hijriah (ke-16
masehi) sampai dengan wafatnya pada 940 hijriah (1533 masehi). Kedatangannya ke
Aceh Darussalam dapat diyakini dalam masa pemerintahan Al-Marhum Sultan 'Ali
Mughayat Syah yang wafat pada 936 hijriah, sebab Syaikh hanya hidup sekitar 4
tahun kemudian setelah Sultan berpulang ke Rahmatullah.
Sang Faqih dari Jazirah Arab
ini kiranya layak memperoleh kajian yang lebih mendalam di masa mendatang, dan
untuk sementara ini perlu disampaikan bahwa satu-satunya bukti atas
kehadirannya dalam sejarah Aceh Darussalam, di waktu ini, masih berada di
kawasan lahan rawa-rawa Gampong Pande, dan masih terendam air laut saat pasang
naik.
Bitai, 5 Jumadil Akhir 1438
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari group facebook Mapesa.
2 Komentar