Ini adalah beberapa catatan
yang terdapat pada satu nisan dari masa Kerajaan Lamuri, yang antara lain
memberitahukan bahwa orang yang dikuburkan dan ditandai dengan nisan tersebut
adalah seorang ulama dari masa Kerajaan Lamuri.
Nisan tersebut diyakini berasal
dari kawasan situs sejarah Kerajaan Lamuri di Gampong Lamreh, Krueng Raya, Aceh
Besar. Mengenai pemindahan nisan tersebut dari tempatnya belum saya peroleh
informasi, tapi agaknya memang karena harus nisan itu harus dipindahkan untuk
diselamatkan dan disimpan kemudian di Museum Aceh
Inilah catatan-catatan
tersebut:
Pertama:
Pada batu nisan ini terpahat
kutipan ayat Al-Qur'an dalam surat An-Nisa' ayat 78:
أَيْنَمَا
تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
"Di mana pun kamu berada,
kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang
tinggi dan kokoh."
Sebuah pesan Ilahi untuk
menyadarkan manusia akan hakikat kematian yang tidak akan pernah dapat
dihindari dan dengan cara apapun sehingga penyerahan hidup dan mati di jalan
Allah menjadi tawaran dan pilihan terbaik dari berbagai pilihan untuk
menjadikan hidup ini bermakna. Pesan Ilahi itu dinyatakan kembali oleh para
pendahulu untuk para pewarisnya.
Pada nisan itu juga dipahat
pesan-pesan lain yang senada:
المؤمن
حي في الدارين
"Mu'min itu hidup di dua
negeri (dunia dan akhirat)."
الدينا
مزرعة الآخرة
"Dunia itu tempat bercocok
tanam bagi akhirat."
الدنيا
فاني (كذا) والآخرة باقي (كذا)
"Dunia itu fana (musnah),
dan akhirat itu kekal."
Satu catatan yang perlu
disampaikan bahwa cukup dengan memperhatikan bahwa nisan ini adalah benda dari
5 abad yang lalu, dan merupakan penanda kubur dari seseorang yang meninggal,
dan kemudian ditambah lagi dengan memuat ayat Al-Qur'an dan mutiara hikmah yang
sangat baik, sebenarnya, dengan hal-hal ini saja sudah cukup alasan untuk
memberikan tempat yang lebih layak dari belakang pos satpam.
Kedua:
Nisan ini memuat epitaf
(keterangan tentang orang yang dikubur). Saya membacanya sebagai berikut:
أ.
1. هذا
القبر أبو القاسم
2. عمر
شيخ هبة الدين
3. الوفاة
يوم الخمس من
1. سنة
خمس
2. وأربعين
3. وثمانمائة
من هجرة
A.
1. Ini kubur Abul Qasim
2. 'Umar Syaikh Hibatuddin
3. wafat pada hari lima dari
4. bulan Sya'ban
B.
1. tahun lima
2. dan empat puluh
3. dan delapan ratus dari
hijrah
4. Nabi (Shalla...)
Dari epitaf ini diperoleh
informasi:
- Nisan ini adalah penanda
kubur Syaikh Hibatuddin 'Umar, yang dipanggil (kunyah) dengan Abul Qasim, yang
wafat pada 5 Sya'ban 845 hijriah. Jika penanggalan tersebut dikonversikan ke
tahun masehi maka tokoh tersebut telah wafat pada 18 Desember 1441 masehi (hari
Sabtu). 845 hijriah ke 1438 hijriah adalah 593 tahun. 1441 ke 2017 adalah 576
tahun. Artinya: batu kubur ini telah berusia dan bertahan selama 5 abad.
- Tipelogi, model dekorasi dan kaligrafi, semuanya menunjukkan dengan jelas bahwa nisan ini berasal dari kawasan situs Lamuri di Lamreh. Saya tidak memiliki informasi apapun tentang siapa yang telah memindahkannya dari sana. Dan menurut dugaan saya, batu nisan berasosiasi dengan batu nisan Malik Zainal Abidin yang ditemukan di sisi barat Ujong Bate Kapai, Lamreh.
- Tipelogi, model dekorasi dan kaligrafi, semuanya menunjukkan dengan jelas bahwa nisan ini berasal dari kawasan situs Lamuri di Lamreh. Saya tidak memiliki informasi apapun tentang siapa yang telah memindahkannya dari sana. Dan menurut dugaan saya, batu nisan berasosiasi dengan batu nisan Malik Zainal Abidin yang ditemukan di sisi barat Ujong Bate Kapai, Lamreh.
- Tokoh yang dimakamkan di
Lamreh ini disebutkan lengkap dengan kunyah (panggilan): Abul Qasim; gelar:
Syaikh Hibatuddin; dan namanya: 'Umar. Mempertimbangkan penyebutannya dengan
gelar Syaikh Hibatuddin, serta dengan terdapatnya kesamaan ayat dan
kalimat-kalimat yang dipahat pada batu nisannya dengan yang tepahat pada batu
nisan Qadhi Shadrul Islam Isma'il yang juga tedapat di kawasan situs Lamuri di
Lamreh, maka muncul perkiraan kuat bahwa Syaikh Hibatuddin adalah juga seorang
qadhi, dan telah wafat sebelum Qadhi Shadrul Islam Isma'il. Sedangkan mengenai
kunyahnya, Abul Qasim, yang dalam mazhab Asy-Syafi'iy, adalah merupakan sesuatu
yang tidak dibolehkan sebab mengambil kunyah Rasulullah Shallahu 'alaihi wa
Sallam, maka dalam mazhab Malik, itu adalah sesuatu yang dibolehkan. Dan saya
juga telah melihat Syaikhul Islam Ibnu 'Asakir yang bermazhab Asy-Syafi'iy juga
menggunakan kunyah: Abul Qasim.
Dan juga ada beberapa hal lain
yang dapat pula dibicarakan dalam kajian yang lebih lanjut.
Demikianlah yang perlu untuk
diungkapkan untuk sementara waktu dalam harapan agar semua benda-benda
bersejarah di Aceh dapat mendapatkan perhatian dan tempat yang layak sebagai
suatu warisan yang berhak untuk dilestarikan.
Bitai, 25 Jumadil Awal 1438
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari group Mapesa.
0 Komentar