Batu nisan Sultan Zainal 'Abidin Bin Mahmud, Wafat pada hari Selasa, 18 Muharram 923 Hijriah (9 Februari 1517). Gampong Meunasah Meucat, Blang Me, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. |
Luapan Sejarah di Penghulu Hari (Jum'at, 11 Rajab 1438)
Nasehat bagi Para Raja
Dalam "Kalilah wa Dimnah" ada satu ungkapan hikmah.
Saya terjemahkan beberapa baris buah pena Ibn Al-Muqaffa' ini semampu saya:
"Orang yang tidak pernah puas memiliki bagian yang
mencukupinya dari dunia ini maka matanya selalu menyimpan gairah kepada yang
lebih dari itu, dan ia tidak pernah merasa khawatir dengan akibat yang akan
ditanggungnya. Dia persis seperti lalat yang tidak rela dan tidak pernah merasa
puas dengan pepohonan buah dan kembang-kembang yang wangi, lantas memburu air
yang mengalir dari telinga gajah. Tapi apa hendak dikata, gajah memukulinya
dengan kipasan telinga, dan ia pun akhirnya mati binasa."
Ungkapan tersebut, saya memahaminya begini—semoga tidak
keliru:
Nafsu atau keinginan pribadi yang telah mengalami mutasi dan
berubah menjadi sesuatu yang seolah-olah merupakan kebutuhan, lantas demi
meraihnya berbagai alasan Machiavellis diberikan, tentu saja suatu hari, itu
akan berbuntut risiko yang mengenaskan. Manusia dapat kehilangan segala-galanya
gara-gara secuil nafsu yang dituruti. Pengalaman ini sesungguhnya saban zaman
berulang tapi manusia yang kalap atau dipanikkan oleh tekanan keinginan dan
kerakusan luput menuai pelajaran.
Kekuasaan memiliki pesona yang amat memikat begitu pula harta
kekayaan. Kilauannya menarik, menggiurkan, sangat menggoda!
"Aku seperti lebah singgah di bunga Nailafur," kata
Shatarbeh dalam Kalila dan Dimna, "tertawan oleh harum bunga, namum ketika
senja tiba dan bunga terkatup, lebah terperangkap di dalamnya. Ia terkejut,
panik lalu mati."
Ya, di ujung pesona dunia dan kekuasaan, ada belati
tersembunyi siap menikam jantung, ada racun mematikan mengendap di dasar gelas,
dan ketika itulah buah penyesalan pun harus ditelan meski demikian pahitnya.
"Siapa saja yang sesat dalam kekuasaannya, niscaya
menjadi rendah dalam kemegahannya," begitu petuah para raja masa lalu yang
disalin Imam Al-Mawardi (W. 450 H/1057 M) dalam karyanya "Nashihatul Muluk"
(Nasehat Kepada para Raja).
Dalam nasehatnya bagi para raja, Imam Al-Mawardi juga
menukilkan nasehat seorang bijak kepada seorang penguasa:
"Hai raja, dunia ini sesungguhnya negeri amal dan
akhirat adalah negeri balasan. Maka, barangsiapa tidak beramal, ia tidak akan
memperoleh balasan. Karena itu, bawalah dirimu berlalu di hadapan kesenangan
hidup dunia tanpa sekali pun menoleh dan membelalakkan matamu padanya.
Camkanlah olehmu, hai raja, bahwa tali kekang keselamatan berada dalam
genggaman bencana; leher kesentausaan terkapit di bawah sayap kepunahan; dan
pintu ketentraman selalu dikawal oleh hal yang menakutkan. Karena itu, apabila
engkau berada dalam keadaan selamat, sentausa dan tentram, janganlah pernah
lupa memperkirakan lawan-lawannya, dan janganlah kautempatkan dirimu pada
sasaran panah kehancuran. Waktu adalah lawan manusia, maka siagalah menghadapi
lawanmu dengan banyak melakukan amal."
"Apabila itu engkau lakukan, sungguh engkau tidak perlu
lagi apapun wejangan!" demikian orang bijak itu mengakhiri kalimatnya
sebagaimana dinukilkan dalam Nashihatul Muluk.
Apabila itu engkau lakukan, engkau pasti tahu bahwa memakan
harta anak yatim, menyalahgunakan harta umum, melakukan praktik korupsi,
sogok-menyogok, dan apa pun harta yang diperoleh dari menipu, mencuri serta
berbagai tindak kejahatan dan kebatilan lainnya, semua itu telah dinyatakan
oleh Tuhan sebagai "Huban Kabiran"; sebuah dosa yang teramat besar.
Dan, engkau juga pasti akan tahu bahwa Tuhan Yang Maha Adil tentu tidak akan
membiarkan begitu saja suatu hal yang telah dinyatakan-Nya sebagai dosa yang
besar. Andai kata engkau tak mau perduli, Tuhan-Mu juga tidak butuh
kepedulianmu untuk menyatakan keadilan-Nya, dan Dia pun tidak akan
mempedulikanmu ketika menjatuhkan hukuman-Nya.
Sabda Nabi Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam : "Orang yang
tidak mau perduli dari mana ia memperoleh harta, maka Allah pun tidak peduli
kepadanya ketika ia dicampakkan ke dalam neraka." (Hadits riwayat
An-Nasa'i dan Al-Bukhari dalam bab "Buyu' [Jual Beli]")
Apabila itu engkau lakukan, engkau pasti akan tahu, hai raja,
baik kecil maupun besar kerajaanmu, bahwa kepemerintahan dan kepemimpinan
penghulu kita, Nabi Muhammad Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam serta para
Khulafaurrasyidin sesudah beliau, adalah untuk memelihara agama Allah dan
kemaslahatan kaum Muslimin. Kabarnya, engkau juga meyakini Nabi dan mencintai
para sahabat beliau. Karena itu, timbang-timbanglah olehmu, hai tuan raja,
apakah hal-hal yang engkau lakukan selama ini termasuk dalam memelihara agama
Allah dan kemaslahatan Muslimin?!
Apabila itu engkau lakukan, kau pasti tahu, hai raja, bahwa
rakyat akan mengikutimu, membelamu, mendukungmu, apabila hatimu bersama mereka,
dalam suka dan duka mereka, dalam tawa dan tangis mereka, dalam canda dan
murung mereka. Maka berusahalah untuk sedikit bertenggang rasa dengan hidup
mereka yang bersahaja, dengan mimpi-mimpi mereka yang bersahaja.
Dunia pasti akan berlalu.
"Kekuasaanmu tidak akan abadi selamanya, wahai Sultan,
tidak juga pikiran-pikiran Ar-Razi," ujar Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi (W.
606 H/1210 M) di suatu ketika kepada seorang pemimpin legendaris Islam, Sultan
Syihabuddin Al-Ghuri (W. 602 H/1206 M).
"Kita semua akan kembali kepada-Nya," tegas Al-Imam
Fakhuddin Ar-Raziy mengingatkan.
Ucapan itu, meski kerap didengar, namun tetap saja
menggetarkan jiwa Sultan Al-Ghuriy yang bening. Sultan tak mampu membendung air
matanya yang kemudian mengucur deras, dirasakan betapa kecil dan rendahnya ia
di hadapan Tuhan sekalipun sejarah telah menyaksikan sepak terjangnya yang
tidak mengenal lelah dalam mengembangkan dan meninggikan agama Allah di anak
benua India yang luas.
Pesan serupa telah pula disampaikan oleh para pendahulu tanah
bertuah ini kepada anak cucu mereka yang mungkin adalah kita—enggan rasanya
untuk memastikan!
Pada batu-batu nisan para sultan Samudra Pasai terpahat indah
bait-bait syair yang pernah diucapkan Al-Mu'tamid bin 'Abbad (wafat 488
H/1095), sultan Bani 'Abbad terakhir di Sevilla (barat daya Spanyol):
قال المعتمد بن عباد :
الموت باب كل الناس داخله فليت شعري بعد
الباب ما الدار
الدار جنة عدن إن عملت بما يرضى الإله وإن
خالفت فالنار
وقال :
هما محلان ما للناس غـيرهما فاختر لنفسـك
أي الدار تختار
ما للعبيد سوى الفردوس إن عقلوا فإن هفوا
هفوة فالـرب الغفار
Kematian ibarat sebuah gerbang, setiap orang pasti
memasukinya
Oh andai saja kutahu negeri apa yang akan kujelang setelah
gerbang itu!
Negeri itu adalah syurga 'adnin apabila perbuatanku
diperkenan Tuhan
Namun jika tidak, maka ke nerakalah aku dilontarkan.
Di sana hanya ada dua negeri, tak ada yang ketiga bagi
orang-orang
Maka tiliklah wahai diri, negeri yang mana kaujatuhkan
pilihan!
Tiada lain bagi para hamba selain syurga Firdaus apabila
mereka berakal
Tapi jika mereka tergelincir, maka Tuhan adalah Maha Pengampun.
Bait-bait syair ini kerap dijumpai terpahat pada batu-batu
nisan peninggalan sejarah di Aceh. Salah satunya adalah pada batu nisan Sultan
Zainal 'Abidin Bin Mahmud yang wafat Kota Sumatra (Samudra Pasai), hari Selasa,
18 Muharram 923 Hijriah (9 Februari 1517).
Petikan Inskripsi: الموت باب كل الناس داخله فليت شعري بعد الباب ما الدارالدار جنة عدن إن عملت بما يرضى الإله وإن خالفت فالنار |
Petikan Inskripsi: هما محلان ما للناس غـيرهما فاختر لنفسـك أي الدار تختار ما للعبيد سوى الفردوس إن عقلوا فإن هفوا هفوة فالـرب الغفار |
***
Anakku!
Dengan hati patah, ayah terpaksa mengakui bahwa
kalimat-kalimat tadi terkhusus hanya untukmu. Tidak untuk yang lain, hanya
untukmu!
Ini musim di mana pohon-pohon kepercayaan rubuh.
Ini musim duniawi mengaburkan arah lurus.
Ini musim di mana kolam-kolam batin keruh. Hanya satu kata
yang dikira baik untuk diucapkan dan dimengerti: fulus. Lain itu, ucapanmu akan
dianggap membingungkan.
Namun dari dalam dunia yang kabur ini, ayah melihatmu di
berbagai pelosok negeri. Sorot matamu bagai kembang matahari, berbinar, siap
menyibak kabut kegelapan.
Suatu hari kelak, engkau akan memimpin negeri ini. Engkaulah
raja di masa depan. Bawalah kalimat-kalimat tadi bersamamu apabila kau yakin
kebenarannya. Persenjatailah dirimu dengan kesungguhan hati dan kesabaran, dan
jangan pernah mengumbar omong besar, karena itu tidak berarti, dan di depan
Tuhan kau diadili.
Apabila datang waktumu kelak, dan ayah masih diberkahi umur,
engkau akan mendapati ayah berada dalam barisanmu.
***
Bitai, 11 Rajab 1438
Foto: Adi Zarma & Khairul Syuhada
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari group Facebook Mapesa.
Dikutip dari group Facebook Mapesa.
0 Komentar