|
Dalam Kesultanan Aceh. Sumber: KITLV |
Di Tibang, di pematang-pematang areal kolam ikan yang sunyi,
kami mengamati permukaan tanah. Pecahan tembikar dari zaman yang telah sangat
lampau terlihat berserakan di mana-mana. Mulai dari serpih kecil hingga belah
besar. Bertebaran seakan baru saja dihamburkan atau dimuntahkan bumi kendati
hakikatnya sudah sedari lama ditinggalkan oleh waktu yang menggilasnya.
Panas siang hari itu mencoba melantas ke bawah kulit untuk
memanggang sisa-sisa ketabahan. Angin pesisir yang sekali-sekali berlalu
menghampiri, meskipun telah berusaha seukuran dayanya untuk menyabarkan hati,
tapi tetap saja tidak menyampaikan apapun jawab untuk pertanyaan-pertanyaan
yang bergulir dalam pikiran.
Siapa mereka yang dulu tinggal di sini? Bagaimana mereka
hidup? Rumah mereka? Lingkungan permukiman mereka? Mata pencarian mereka?
Tempat mereka melaksanakan ibadah, mengaji, belajar?
Lantas, kemana mereka pergi? Apa sebabnya? Mengapa mereka
tidak membawa barang-barang pecah belah itu bersama mereka? Mengapa terkesan
seolah-seolah mereka meninggalkan permukiman mereka begitu saja? Ada apa,
sebenarnya? Apa yang terjadi dengan mereka?
Akal berjuang mencari jawab dengan penuh gairah. Namun
sayang, perjuangannya berkali-kali terbentur keheningan yang menyelimuti
pohon-pohon bakau yang tumbuh di sana sini.
Kehidupan telah berganti. Waktu telah menyulap perkampungan
yang ramai dan padat menjadi perairan payau yang sekarang difungsikan menjadi
kolam-kolam ikan.
Sementara di tempat-tempat lain di luar sempadan pantai atau
kawasan pesisir Kota Banda Aceh, kehidupan sudah berubah rupa semenjak
pendudukan asing bercokol sampai dengan hari ini menjadi kota yang tampaknya
sedang berupaya keras mewarnai diri dengan warna kemordernan, dan meninggalkan
apa yang merupakan inti-inti kekuatan untuk bangkit dan jaya. Temalinya dengan
masa lampau diputuskan. Rautnya seakan-akan memasabodohkan kesilaman.
Daruddunia di mana para sultan agung Aceh mengeluarkan
putusan-putusan yang menentukan dalam sejarah menghilang tanpa bekas yang
berarti. Tembok tinggi yang mengelilingi Dalam Kesultanan Aceh diruntuhkan dan
lenyap. Tidak sedikit masyarakat Aceh, di dalam maupun di luar Kota Banda Aceh,
mempertanyakan mana bekas tapak Dalam Kesultanan Aceh yang pernah menghebohkan
dunia. Ada semacam kerinduan dan gairah yang mendalam untuk dapat menyaksikan
bekas kediaman sultan-sultan Aceh yang legendaris sekalipun cuma reruntuhan.
Reruntuhan itu, setidaknya, mampu membangun sebuah imajinasi historis akan
kebesaran masa silam, dan imajinasi tersebut pada gilirannya mampu mengembalikan
rasa percaya diri serta kemauan keras sebuah bangsa yang dalam sejarahnya
pernah sampai ke puncak kejayaan.
|
Daruddunia Sumber: KITLV |
Kubur-kubur para pembesar dan tokoh negara yang
nisan-nisannya sengaja dibuat sedemikian rupa untuk dapat menyampaikan
pesan-pesan, amanat-amanat, kepada setiap generasi yang datang kemudian,
setelah sebagiannya diruntuhkan dan dibakar oleh pendudukan asing, kini,
sebagian besar yang lain ikut musnah atau tersembunyi di belakang
bangunan-bangunan rangka baja, dan itu semua terkadang atas nama penataan tata
ruang kota atau program pemerintah lainnya. Mungkin, tak lama lagi, kawasan
sempadan pantai yang kaya dengan peninggalan sejarah juga akan
"dijarah" untuk pembangunan yang konon demi peningkatan kesejahteraan
dan ekonomi masyarakat.
Akal dipenuhi gairah keingintahuan akan kehidupan di masa
silam; untuk memetik pelajaran serta mengilhami sekian pengalaman bangsa di
masa lalu, selain juga untuk menumbuhkembangkan rasa bangga dan cinta tanah air
tumpah darah yang merupakan bagian dari iman.
Namun lagi-lagi gairah berujung resah, dan resah semakin
memuncak ketika membayangkan apa yang nantinya bakal ditunjukkan kepada
anak-cucu tentang kota pusaka di mana berbagai gerak perubahan yang
mencita-citakan kebaikan umat manusia telah keluar dari gerbangnya.
Termangu lama membayangkan apabila suatu saat dihadapkan
kepada pilihan: mempertahankan kesilaman yang tersisa, yang akan selalu
mengingatkan akan jati diri, ataukah sama sekali harus melupakannya demi
peningkatan ekonomi?
|
Peta Dalam Sultan Aceh Sumber: KITLV |
Dalam pikiran dan jauh di dasar nurani, saya meyakini kedua
hal tersebut dapat diformulasikan dalam satu wujud yang tidak saling merugikan.
Kesilaman dan ekonomi sekaligus. Bahkan, saya demikian yakin bahwa kesilaman
dapat menjadi sumber daya ekonomi yang memiliki prospek jauh lebih bagus bagi
masyarakat Kota Banda Aceh, khususnya, serta masyarakat Aceh pada umumnya, dan
malah dapat dicapai dengan investasi yang saya kira lebih kecil, daripada harus
memaksakan Kota Banda Aceh menanggung bobot pembangunan yang melebihi daya
tampungnya, dan sekaligus akan berdampak buruk pada lingkungan hidupnya.
Singkat kata, biarlah Kota Banda Aceh dengan bobot sejarah
masa silamnya yang begitu besar menjadi kota pusaka dan penyimpan memori. Di
satu sisi, ia akan selamanya menjadi saksi atas perjalanan sejarah bangsa,
sementara di sisi lain yang tak kalah pentingnya, ia juga dapat menjadi media
pengarah dan pencipta kehendak untuk menggapai sesuatu yang jauh lebih luhur
daripada sekadar apa yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan dalam
waktu yang sama, dari sisi materiil atau katakanlah duniawiah, ia juga akan
mendatangkan keuntungan ekonomis yang bermarwah dan bermartabat.
Suatu hari, jika sarana-sarana pemerintah yang kurang
berfaedah serta warung-warung kopi yang menyesak ruang Kota Banda Aceh sudah
tergantikan dengan galeri-galeri kesenian dan kebudayaan, museum-museum dalam
berbagai jenisnya, laboratorium-laboratorium pengembangan pengetahuan,
masjid-masjid yang dijadikan sebagai pusat-pusat pengkajian Islam dan ilmu
pengetahuan, perpustakaan-perpustakaan, pusat-pusat konferensi dan konvensi
atau sarana-sarana lain semisalnya, dan ditambah lagi dengan lanskap kota yang
didominasi elemen-elemen kesilaman dan kesejarahan, maka saya sungguh yakin
Kota Banda Aceh akan kembali mendekati posisi Bandar Aceh Darussalam di masa
silamnya.
Membayangkan sebuah gambaran umum dari sudut pemikiran ini,
akal jadi dipenuhi gairah, bahkan meluap-luap, tapi tak lama kemudian resah
juga kembali menjelma oleh karena muncul pertanyaan: akankah gagasan formulasi
seperti yang dikemukakan tadi dapat memperoleh tempat yang patut dalam nalar
para pengambil kebijakan?!
Sampai di poin ini, nafas mendadak tersendat, mata lantas
menatap hampa, dan tak ada sebiji kata pun yang dapat dijadikan jawab. Maka
abadilah gairah. Maka abadilah resah!
Bitai, 20 Rajab 1437 H.
Dikutip dari group facebook Mapesa.
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Sumber: KITLV |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
|
Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. |
0 Komentar