Makam Almarhum Sultan 'Ali Mughayat Syah bin Syamsu Syah bin Munawwar Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Darussalam, abad ke-10 Hijriah. (Kampung Baru, Kota Banda Aceh) |
Pohon
Dalam keharuman sejarah yang merebak bersama angin semilir di Bandar Aceh Darussalam hadir kenyataan yang tak tersangkal. Yakni, kenyataan bahwa Aceh Darussalam tidak secara "bimsalabim" berdiri dengan kokoh dan mencapai zaman kegemilangannya di masa silam. Ada sejumlah besar orang yang telah berdiri di belakang itu, yang membuat nama Aceh Darussalam mencuat dan berkilau di pentas sejarah dunia. Mereka adalah orang-orang yang telah Allah anugerahkan petunjuk, pertolongan serta taufiq-Nya untuk melakukan kerja-kerja besar nan berat sekalipun orang-orang yang hari ini lalu-lalang di atas bumi negeri yang mereka bangun melupakan mereka, bahkan tidak mau tahu.
Satu di antara mereka yang paling utama, tentu saja, Sang
Pelopor Kebangkitan Aceh Darussalam di permulaan abad ke-10 Hijriah. Dialah
yang telah meletakkan fondasi-fondasi yang kuat untuk negeri yang dibinanya.
Dia pula yang telah menyemai kembali benih dari pohon yang diwarisinya dari
para pendahulu, merawat benih itu sampai tumbuh besar dan menjulang, dan
akar-akarnya tertancap kuat di kedalaman. Yakni: pohon iman, kalimah thayyibah,
yang akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit.
Pohon itu telah dan diharapkan akan selamanya menaungi negeri
ini. Sebab, ia adalah warisan kekal yang akan menjamin kelangsungan dari
kemuliaan dan 'izzah yang telah diperoleh bangsa ini sejak awal keberadaannya
dalam Nur Ilahiy.
Benih pohon itulah yang telah disemai dan dirawat sampai
tumbuh besar oleh pendiri dan pelopor kebangkitan Aceh Darussalam, Almarhum
Sultan Ali Mughayat Syah--Rahmatullah ‘alaihi. Benih dari pohon yang diwarisi
dari pendahulunya sampai ke Pemilik Risalah, Al-Mushthafa Rasulullah
Shallalla-Llah 'alaihi wa Sallam. Pohon tempat di mana sebuah kebesaran yang
murni telah bernaung sejak lama dan sampai akhir zaman.
Terus terang, saya atau malah, mungkin, mayoritas generasi
saya belum pernah diperkenalkan secara khusus tentang pahlawan besar ini. Saya
tidak menemukan uraian yang memadai tentang kepribadiannya di buku-buku
pelajaran yang pernah diajarkan. Bahkan, tidak pernah pula menjumpai namanya
dipasang pada papan memori negeri yang dibangunnya lewat suatu perjuangan
berat. Sehingga, jangankan untuk meneladani sikap-sikapnya serta mengikuti
jejak langkahnya, untuk menghargai dan menghormati jasanya sebagai seorang
pendiri yang telah mempusakakan negeri ini kepada generasi sekarang pun tidak.
(Akhir-akhir ini, keberadaan makhluk "mante" malah ternyata lebih
menarik untuk dibicarakan--serta diributkan--daripada kehadiran tokoh pahlawan
Islam semisal Almarhum di masa lalu Aceh Darussalam!)
Hanya keharuman sejarah yang merebak bersama angin semilir di
Bandar Aceh Darussalam yang telah membawa saya untuk pertama sekali
"menjumpai" tokoh ini sejak sekitar 10 tahun yang lalu (2007).
Perjumpaan itu telah meninggalkan kesan yang mendalam, dan semakin menguatkan
keyakinan saya bahwa orang-orang yang telah berdiri di belakang kegemilangan
Aceh di masa lampau adalah para pengikut Muhammad Shalla-Llahu 'alaihi wa
Sallam yang sangat pantas untuk diungkapkan dan sejarah mereka layak untuk
tertanam selamanya dalam ingatan generasi penerus bangsa ini.
Almarhum telah beristirahat di pemakaman Baitur Rijal
(Kandang XII), Kampung Baru, Kota Banda Aceh, hari ini, sejak 502 tahun yang
lalu (dengan perhitungan Hijriah). Ia wafat pada malam Ahad 12 Dzulhijjah 936
Hijriah (6 Agustus 1530).
Tentang Almarhum--semoga Allah melimpahkan rahmat dan
keampunan-Nya--maka orang-orang yang telah mengenal dan menyaksikan kehidupan
Almarhum dari dekat telah memberitakan:
هذا القبر المغفور المرحوم الراجي إلى رحمة
الله المطيع لأوامر الله الغازي في البر والبحر ينصره الله الباذل لعباد الله ألا وهو
السلطان علي مغاية شاه سقى الله ثراه وجعل الجنة مأواه توفي ليلة الأحد ثاني عشر من
شهر الله الحرام ذي الحجة ختمه الله لنا ولكم بالخير والمنة سنة ست وثلاثين وتسعمائة
من الهجرة النبوية المصطفية المكية المدانية الأبطحية منه إليها عليه أفضل الصلوات
وأكمل التحيات
“Inilah kubur orang yang diampuni lagi dirahmati, seorang yang
selalu berharap kepada kasih-sayang Allah, yang tunduk patuh terhadap seluruh
perintah Allah, yang berperang di laut dan di darat dan Allah memenangkannya,
yang menghabiskan segala daya upayanya bagi [kebaikan] hamba-hamba Allah.
Ketahuilah bahwa dialah Sultan ‘Ali Mughayah Syah, semoga Allah menyiramkan
[rahmat-Nya] ke atas pusaranya dan menjadikan syurga tempat kembalinya. Wafat
pada malam Ahad dua belas dari bulan Allah yang haram, Dzulhijjah, semoga Allah
menutupnya bagi kami dan Anda dengan kebaikan dan anugerah, tahun sembilan
ratus tiga puluh enam sejak hijrah Nabi pilihan, Makkah-Madinah yang luas, dari
yang pertama [Makkah] menuju yang kedua [Madinah], ke atas beliau seutama-utama
shalawat dan sesempurna-sempurna tahiyyah (salam).”
Inskripsi pada nisan Sultan 'Ali Mughayat Syah wafat Ahad 12 Dzulhijjah 936 Hijrian (1530 Masehi). di pemakaman Baitur Rijal (Kandang XII), Kampung Baru, Kota Banda Aceh. |
Dalam usaha untuk menarik beberapa pelajaran dan
menyempurnakan faedah dari teks inskripsi tersebut, saya berikan
komentar-komentar berikut ini:
1. "Hadzal qabrul maghfur (ini makam orang yang
diampuni)."
Setiap manusia tidak luput dari silap dan salah. Mengakui
kesilapan dan kesalahan serta memperbaiki sikap adalah suatu keutamaan. Setiap
orang yang memohon keampunan Allah, bertaubat kepada-Nya dengan sebenar-benar
taubat, pasti akan diampuni-Nya. Umum manusia pernah melakukan kesalahan, dan
andai kata ada manusia yang tidak pernah bersalah, ia tetap patut memohon
keampunan Allah sebab siapa pun tidak akan dapat menyempurnakan syukur atas
segala nikmat yang telah dianugerahkan-Nya. Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa
Sallam menyatakan bahwa beliau memohon ampun kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya dalam sehari 70 kali--dalam riwayat lain 100 kali--padahal beliau
ma’shum (terpelihara dan dari dosa dan salah). Dari itu, setiap manusia pantas
untuk memohon serta dimohonkan keampunan Allah untuknya seperti yang tertulis
di batu nisan ini.
2. Al-marhum (orang yang dirahmati).
Kehidupan manusia setelah mati amat ditentukan oleh kasih
sayang Allah kepadanya. Apabila seorang manusia mendapatkan azab dan siksa
setelah matinya adalah karena kemurkaan Allah, maka kenikmatan yang akan
diperioleh pada waktu itu adalah karena rahmat Allah dan kasih sayang-Nya.
Karena itu setiap manusia perlu memohonkan dan dimohonkan kasih sayang (rahmat)
Allah kepadanya.
3. Ar-raji ila rahmatillah (orang yang mengharapkan kasih
sayang Allah).
Apa saja yang dapat menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan
baik ketika hidup di dunia atau setelah mati, maka bagi manusia itu adalah hal
yang menakutkan. Orang yang dalam hidupnya berkiprah untuk suatu cita-cita yang
diyakini kebaikannya acap sekali menghadapi bergunung persoalan berat. Bersama
berbagai persoalan berat itu datang pedih dan penderitaan. Pedih dan menderita
adalah dua hal menakutkan manusia sebelum dan ketika melaluinya, juga terkadang
setelah melaluinya. Bagi seorang mu’min, rahmat Allah mutlak diharapkan dalam
setiap detik kehidupan sehingga ia mampu menghadapi serta melewati hal-hal
menakutkan dalam hidupnya tanpa pernah merasa putus asa.
4. Al-muthi’ li awamirillah (orang yang tunduk patuh kepada
segala perintah Allah).
Inilah pusat sumber kekuatan yang terus mengalirkan semangat
dan keberanian bagi pribadi manusia. Dalam melakukan segala pekerjaan besar
yang menuntut banyak pengorbanan, waktu yang demikian panjang dan sangat
melelahkan, tidak ada sesuatu pun yang dapat memompakan kekuatan (energi)
selain dari keyakinan. Sultan Ali Mughayah Syah seorang mu’min dan karenanya ia
telah berpegang pada tali kuat (al-‘urwatul wutsqa) yang tidak akan pernah
terurai. Iman atau keyakinan yang bukan hanya pada ucapan lisan, tetapi lebih
dari itu, iman yang telah menyatu dalam kepribadiannya sehingga menjelma dalam
sikap tunduk dan patuh kepada Allah. Iman yang telah mengangkatnya ke tingkat
rela menerima dan menanggung beban berat dan kepedihan dalam menenunaikan
segala perintah Allah sebagai seorang muslim dan pemimpin. Iman yang selalu
membakar semangatnya untuk terus bergerak menciptakan perubahan keadaan bangsa
kepada yang lebih baik, yang diyakininya sebagai perintah Allah kepada seorang
pemimpin seperti dia. Tunduk dan patuh kepada segala perintah Allah itu pula
yang membuatnya selalu merasa dekat dengan Allah, Maha Pencipta lagi Maha
Kuasa, Pengatur segala sesuatu dalam kerajaan-Nya. Kedekatan ini telah
memantapkan langkahnya dalam segala kondisi dan situasi. Ketika pedih dan getir
datang menerpa, serta meninggalkan pengaruh yang buruk dalam jiwanya—sebagaimana
lazimnya manusia—kedekatan dengan Allah mengusir kepedihan yang dirasakan dan
menggantikannya dengan sikap sabar dan ihtisab (mengharap pahala dari Allah).
Ketika rahmat Allah datang menghampiri, bertambah pula syukur dan tunduk
patuhnya kepada Allah. Ia tidak menuntut balasan dari selain Allah; peluh, air
mata dan darah hanya dipersembahkan kepada-Nya. Ia telah hidup untuk
mengajarkan keikhlasan kepada rakyatnya sehingga sepeninggalnya ia telah
meninggalkan orang-orang yang pandai menghargai keikhlasan. Karena itu pula ia
dicatat oleh mereka.
5. Al-ghazi fil barri wal bahri yanshuruhullah (orang yang
berperang melawan musuh di darat dan di laut, dan Allah menolongnya).
Itulah salah satu wujud nyata dari firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء
مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah: 207).
Sultan Ali Mugahyat Syah bukan jenis pribadi penikmat
kesenangan. Ia hidup untuk satu misi yang diyakininya telah dibebankan oleh
Allah kepadanya. Ia mengharapkan ridha Allah dan bersedia mempertaruhkan nyawa
untuk menggapainya. Peperangan demi peperangan, apakah di darat maupun di laut,
ditempuhnya demi mempertahan negeri kaum Muslimin dan kemerdekaan mereka dari
serangan dan tindak semena-mena penjajah Portugis yang merupakan kekuatan
imperialisme terawal dari Eropa. Ia telah membangunkan kesadaran
penguasa-penguasa negeri Islam dari keterlelapan dalam nikmat kekuasaan. Sultan
Ali Mughayat Syah ketika itu barangkali telah dapat membaca dengan jelas bahwa
imperialisme tidak lain adalah episode lanjutan dari konfrontasi Barat dan
Dunia Islam dalam perang Salib. Ia tidak dapat menerima sekalipun kaum penjajah
pada awalnya datang merayu dengan menyodorkan beberapa penemuan hasil renaisans
di benua Eropa. Jauh jangkau pandangnya telah menangkap bahaya besar yang
mengintip negeri-negeri Islam di balik kedatangn bangsa kulit putih yang juga
mengangkut para misionaris Kristen. Negeri-negeri Islam perlu bersatu.
Penguasa-penguasa yang sedang dimabuk kesenangan dan kemewahan harus
disingkirkan untuk mendukung kekuatan-kekuatan yang sadar akan kondisi kritis
akibat penggerogotan negeri-negeri Muslim oleh penjajah. Sultan mengomandokan
peperangan (jihad), di laut dan darat, untuk melawan kaum yang memusuhi aqidah
yang diyakininya, dan memendam kebencian kepada umatnya. Dan, Allah
menolongnya, menganugerahkan kepadanya kemenangan demi kemenangan melalui
kekuatan bala tentara dan armada laut Aceh Darussalam. Bukankah Allah Maha
Penyantun (Ra’uf) kepada hamba-hamba yang rela “menjual” diri mereka untuk
menggapai ridha-Nya?!
6. Al-Bazil li ibadillah (Orang yang mengerahkan segala daya
dan upaya untuk kebaikan hamba-hamba Allah).
Apakah Ali Mughayat Syah berperang untuk memuaskan
kecenderungan buasnya? Adakah kepentingan pribadi di balik itu semua? Seorang
yang besar tidak lepas dari hasutan. Itu sudah seperti sesuatu yang terus
mengiringi pribadi-pribadi istimewa. Desas-desus yang menyebar bahwa ia
memerangi Daya karena pamannya yang berkuasa di Daya tidak mengizinkan putrinya
menikah dengannya, tidak ayal lagi itu merupakan hasutan yang muncul dari
orang-orang yang merasa dirugikan kepentingan pribadi mereka. Siapa lagi kalau
bukan penjajah dan antek-anteknya. Hasutan ini sengaja dilancarkan untuk
melemahkan gerakan yang sedang dikomandokan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
Namun tetap saja kebenaran akan muncul seperti terangnya matahari. Rakyatnya mencatat
bahwa ia seorang yang bersedia merelakan apa yang dia miliki untuk rakyatnya.
Orang yang mengerahkan segala daya upayanya untuk kebaikan kaum Muslimin yang
dipimpinnya. Tidak pernah ia menoleh kepada kepentingan pribadinya. Dan itu
adalah syarat utama seorang peletak dasar-dasar kebangkitan dan kemajuan sebuah
bangsa. Ali Mughayat Syah telah berhasil membangun Aceh Darussalam, dan itu
adalah bukti konkret bahwa ia telah mengenyampingkan, bahkan membuang jauh
kepentingan pribadi dan hidup enak. Rakyatnya telah melihat secara nyata apa
yang diperbuat untuk mereka dan karena itulah mereka mencintainya. Mereka rela
bersatu di bawah komando Sultan 'Ali Mughayat Syah untuk menuju kepada suatu
kebaikan yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Lalu dengan penuh kekaguman dan
perasaan bangga mereka mencatat: "Ketahuilah, dan dialah Sultan Ali
Mughayat Syah."
Ketika ia tahu benar risalah yang diembannya, dan dengan pemasrahan yang penuh kepada Allah ia menjalankannya, maka ia pun selalu berada dalam naungan Allah sebagimana gelar yang disandangnya: mughayah, yakni al-makhshush bi mughayatillah (orang yang dikhususkan dengan naungan Allah).
Rahimahullah rahmatan wasi’ah.Bitai, 18 Rajab 1438
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari group facebook Mapesa.
Bagian halaman "Tuhfah al-Mujâhidîn fî Akhbâr al-Burtughâliyyîn” Karangan Syaikh Ahmad Zainuddin Asy-Syafi'iy Al-Malibariy (w.1579) yang menceritakan tentang kisah heroik Sultan 'Ali al-Asyi. |
0 Komentar