Di tempat
meriam ini berada dewasa ini, di Fort Cornwallis, Pulau Pinang, ia lebih
dikenal dengan sebutan Meriam Sri Rambai. Tidak diketahui asal usul penamaan
tersebut, tapi yang jelas, meriam ini pada awalnya adalah milik VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie atau United East Indies Company).
Selain lambang
VOC yang ditemukan pada badan meriam ini, pada bagian pangkal larasnya juga
terdapat tulisan dengan huruf besar dalam bahasa Latin berbunyi: IAN BERCERUS
ME FECIT 1603 (Ian Bercerus made me in 1603), "Ian Bercerus membuatku pada
1603". Tulisan ini dengan terang menginformasikan pembuat dan tahun
pembuatannya pada 1603, yakni satu tahun setelah VOC resmi berdiri. Meriam ini,
dengan demikian, merupakan meriam Belanda tertua yang ditemukan di Semenanjung
Malayu.
Tentang
kekuatan angkatan laut Aceh dalam abad ke-11 Hijriah (abad ke-17 Masehi) juga
telah disinyalir lewat inskripsi Jawiy (Melayu) yang bertatahkan perak, pada
bagian tengah meriam. Inskripsi tersebut berbunyi:
"Tawanan
Tuan kita Sri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat tatkala menitahkan
Orangkaya-kaya Sri Maharaja akan Panglima dan Orangkaya Laksamana dan Orangkaya
Raja Lila Wangsa akan mengamuk ke Johor. 2 Ra' (?) Barrel."
Tulisan
tersebut menginformasikan bahwa meriam ini merupakan di antara rampasan perang
yang telah diperoleh pada zaman Sri Sultan Perkasa Alam atau Sri Paduka Sultan
Iskandar Muda-Rahmatu-Llah 'Alaih. Waktu itu, Orangkaya-kaya Sri Maharaja telah
memerintahkan Panglima, Orangkaya Laksamana serta Orangkaya Raja Lila
Wangsa-Rahmatu-Llah 'Alaihim-untuk "mengamuk" di Johor.
Sebagian
sejarawan Barat mengaitkan informasi ini dengan peristiwa penyerangan Aceh ke
Johor pada 1613 Masehi. Penyerangan itu terkait sikap Aceh yang tidak akan
pernah mengenal kompromi terhadap musuh besarnya, Portugis di Malaka, begitu
pula terhadap seluruh negara yang mengikat apapun bentuk hubungan dengan bangsa
penjajah tersebut. Sejarawan meyakini bahwa dalam penyerangan itulah, meriam
VOC ini disita oleh Aceh serta dipindahkan bersama sultan dan keluarga
kesultanan Johor yang ditawan ke Aceh.
Mengenai
permulaan kepemilikan Johor atas meriam ini sebelum penyerangan tersebut, para
sejarawan belum dapat memastikannya, tapi C. A. Gibson-Hill (1953), tampaknya,
cenderung untuk mengatakan bahwa itu terjadi pada 1605, yakni sekitar 2 tahun
setelah pembuatannya, sebagai sebuah hadiah resmi dari VOC kepada Sultan Johor.
C. A.
Gibson-Hill (1953) juga mengemukakan bahwa meriam itu masih berada di Aceh
sampai dengan Penguasa Aceh memberikannya kepada Sultan Ibrahim dari Selangor
pada 1795 guna membantunya dalam sebuah peperangan.
Sultan Ibrahim
kemudian menjadikan meriam ini sebagai salah satu senjata pertahanan di benteng
Kuala Selangor, dan masih berada di situ sampai tahun 1871. Namun sekitar
pertengahan tahun itu, dua kapal Inggris menyerang Kuala Selangor, dan dalam
tahun itu pula tidak sedikit senjata telah berada di Kota Cornwallis, termasuk
di antaranya Meriam Tawanan Sri Sultan Perkasa Alam atau yang disebut dengan
Meriam Sri Rambai.
*) Materi ini dipamerkan di stan Wali Nanggroe pada acara Sail Sabang 2017. Kerjasama Lembaga Wali Nanggroe dengan Pengurus Mapesa
0 Komentar