Oleh Taqiyuddin Muhammad
DALAM kunjungan ke Museum Negeri Aceh, 2008 silam, kami memang sudah merencanakan untuk memeriksa kemungkinan adanya naskah-naskah manuskrip atau apapun catatan kuno berkaitan—apapun jenis kaitan— dengan Samudra Pasai. Rencana itu dapat dikatakan gagal karena ternyata kami harus punya kesiapan finansial yang memadai. Waktu yang kami perkirakan sekitar dua atau tiga hari rencana itu selesai, tapi dengan mengikuti prosedur Museum, kami mungkin harus berada di Banda Aceh, paling tidak, satu atau dua pekan. Terang saja kami tidak mampu, dan nyaris saja kunjungan itu berujung sia-sia. Tapi, Tuhan Maha Pemurah, timbangan itu benar-benar berbalik setelah kami mendapatkan cetak fotografi naskah Surat Sultan Zainal ‘Abidin yang dipamerkan di satu ruang Museum bersama cetak fotografi surat-surat lainnya. Naskah fotografi itu kami foto kembali dan hasilnya seperti terlihat nantinya.
Sepanjang pengetahuan kami, naskah fotografi tersebut merupakan satu-satunya kertas dokumen (arsip) dari zaman Samudra Pasai (abad ke-13—16 M) yang pernah dipublikasikan untuk khalayak umum. Kami belum pernah melihat naskah lainnya, andaikata ada.
Pada komentar gambar naskah fotografi ini disebutkan bahwa naskah asli tercatat sebagai Cartas Orientas no. 59 pada Arsip Nasional Torre do Tombo, Lisbon, Portugal. Disebutkan pula bahwa surat ini adalah milik Sultan Zainal ‘Abidin (V) sementara kami baru menemukan empat makam sultan Samudra Pasai bernama Zainal ‘Abidin.
Perihal adanya naskah surat Sultan Zainal Abidin yang tersimpan di Lisbon (Lissabon) pernah diutarakan Almarhum Haji Mohamad Said dalam Aceh Sepanjang Abad. Menurut Said dan sumber-sumber yang digunakannya, naskah surat itu berisi permohonan Zainal Abidin kepada wakil raja Portugal di Goa supaya mendukung dirinya menjadi raja di Pasai dan sebagai imbalan, pihaknya akan memberikan hak monopoli dagang kepada Portugis. Tahun yang disebutkan Said adalah 1520.[1]
Jika naskah surat yang dimaksud Said adalah naskah fotografi yang dipamerkan di Museum Negeri Aceh, maka Said beserta sumber-sumbernya telah keliru mengenai isi naskah surat tersebut. Sebab, naskah surat sama sekali tidak memuat “permohonan” sebagaimana dikatakan. Malah sebaliknya, nada kekesalan terhadap Portugis tampak terang sekali. Namun, jika naskah yang dimaksud adalah lainnya, berarti ada naskah lain yang barangkali masih tersimpan di Lisbon, dan kita berharap suatu saat dapat dipublikasikan untuk kepentingan sejarah dan ilmu pengetahuan.
Hal-hal menyangkut keautentikan naskah surat ini masih perlu dipelajari sebab naskah fotografi, bagi kami, tidak mendukung pengamatan bahan-bahan materil, yakni kertas dan tinta, yang digunakan untuk penulisan surat.
Sehingga, dari sisi ini, naskah fotografi tidak dapat memberikan informasi mengenai waktu penulisannya.
Pada naskah fotografi ini, terlihat noda-noda di beberapa bagian lembaran naskah akibat tinta yang mengembang, atau juga tinta lembaran lain yang menempel pada lembaran naskah, namun coret-coretan dengan huruf berbalik (dari arah kiri ke kanan) yang terlihat di beberapa bagian sisi kanan naskah dipastikan adalah bekas ceplakan tulisan dalam naskah. Ini dikarenakan ± 1/3 kertas surat bagian kanan pernah dilipat vertikal dari kanan ke kiri sekali lipatan, kemudian surat dilipat horizontal dengan 4 kali lipatan. Mungkin, ini bentuk lipatan asli surat pada saat pengirimannya. Dengan kondisi sebagai tersebut, terlihat indikasi bahwa surat ini pernah berada lama di suatu daerah dengan tingkat kelembaban tinggi. Karena itu dapat diperkirakan bahwa surat ini telah tersimpan lama pada seseorang atau sebuah jawatan imperial Portugis di Melaka, atau mungkin juga Goa, sebelum dipindahkan ke tempat penyimpanannya yang kemudian.
Di samping kanan naskah terdapat cap yang belum berhasil kami identifikasikan; kemungkinan besar adalah cap jawatan yang mengarsipkannya pertama sekali.
Pengamatan penulis tidak menangkap adanya tanda-tanda khusus surat ini berasal dari Diwan (sekretariat)[2] kesultanan Samudra Pasai, terutama, lantaran tidak ditemukan tanda tangan (tauqi’at/thughra) atau cap (khatam) yang lazim digunakan untuk pengesahan surat-menyurat. Hal ini, barangkali, tidak menyalahi fenomena arsip surat-surat kuno perdagangan India yang ditemukan di Geneza Kairo.[3] Surat-surat tersebut tidak mencantumkan tanda tangan pemiliknya sehingga satu-satunya intepretasi yang memungkinkan untuk fenomena ini adalah lantaran penerima surat telah mengenal pola khath (tulisan) pengirim atau juru tulis dari sumber surat.[4]
Sekalipun demikian, ada tiga hal yang meyakinkan bahwa naskah surat itu berasal dari sultan Samudra Pasai dan telah ditulis pada paroh pertama abad ke-10 H/16 M.
Pertama, nama dan julukan pemilik surat yang tertera pada bagian kepala surat: Sultan Zainal ‘Abidin al-Qa’im tahta Amri Rabb Al-‘Alamin. Zainal ‘Abidin adalah sultan terakhir yang ditemukan makamnya di kawasan tinggalan Samudra Pasai dengan tarikh wafat 923 H/1517 M.
Kedua—dan ini yang amat menguatkan—penggunaan khath Ta’liq (Nasta’liq), atau yang lebih tenar kemudian dengan sebutan khath Farisi. Khath ini lazim digunakan untuk penulisan surat-surat resmi negara di kawasankawasan yang lebih dipengaruhi unsur kebudayaan Islam Persia sebagaimana halnya India.[5]
Ketiga, isi surat yang memuat peristiwa-peristiwa sejarah pada permulaan abad ke-16 M di mana Portugis sebagai kekuatan imperialisme pertama Eropa telah berhasil menancapkan kakinya di India dan kepulauannya.
Naskah surat ini terdiri dari 27 baris, dan penulisan teksnya terlihat lebih condong ke sebelah kiri halaman kertas sehingga ujung-ujung kalimat pada sebelah kiri halaman tampak padat sekali dan tak jarang dibelokkan ke atas.
Teks Naskah
Terjemah:
Rasa hormat dan hubungan baik dari Sultan Zainal ‘Abidin Al-Qa’im tahta Amri Rabbil ‘Alamin (penyelenggara urusan kaum muslimin di bawah perintah Tuhan semesta alam) kepada Kapitan Moran (Morano?) di haribaan Sultan Portugal yang terikat seluruh negeri dalam kerajaannya.
Amma Ba’du
Ketika kami melihat (menerima) surat dari Anda yang [memang] saya harapkan [?], maka saya terbawa [larut] oleh kegembiraan hati kami dan kesungguhan jalinan baik di antara kami dan Anda. Dan ketika orang kepercayaan Portugis tiba dari Kuj Kulam atau Mulaqat (Melaka), kami hormati dan kami hadiahi seluruh [hasil bumi] yang sampai ke negeri kami. Tidak pernah putus rasa hormat (hubungan baik) kami sejak awal sampai waktu ini terhadap Anda.
Kemudian, Manuel Falxem (?) datang kepada kami. Ia adalah orang yang paling jahat kelakuannya.
Yang pertama sekali ia perbuat ialah ketika tiba kapal barang dari Fariyaman (Pariaman) ke Syummuththrah (Sumatra/Samudra Pasai). Di dalamnya banyak orang Sumatra. Ia merampas [sejumlah] 30 dirham dari emas. Semua awak kapal barang itu dijualnya dan sebagian lagi dibunuh.
Yang kedua, ketika kapal barang dari Bengal tiba, ia merampas dari mereka 225 tharfayat (?) dirham dan satu budak perempuan, dan satu kapal barang Benggala yang seharusnya [?] ke Sumatra [kemudian] dibawa ke Melaka padahal banyak sekali harta benda orang-orang Sumatra dalam kapal kontainer itu.
Ketiga, datang dari… dirampasnya dan ia membunuh empat orang, dua orang di antaranya adalah penduduk Maraqqusy (?).
Keempat, ia menginginkan dari kami 125 tharfayat dirham dengan semena-mena (lalim) dan […?] dua puluh.
Kelima, ia mengambil lima puluh hamba sahaya laki-laki dan perempuan dari penduduk Sumatra dan
membawanya ke Melaka.
Keenam, ia menginginkan dari kami lada sebanyak lima puluh (50) pikul dengan semena-mena.
Setelah itu, Caspar Moggado (?) datang kepada kami. Dia juga orang yang paling jahat perbuatannya.
Yang pertama dilakukannya ialah ketika kapal kontainer Diyu tiba di Sumatra. Ia mengambil dari mereka 200 tharfayat dirham dengan semena-mena dan pemaksaan.
Kedua, ketika tiba di Sumatra kapal barang dari Kambayat (Kambai) sementara pemilik kapal barang adalah Raja Kambai dan nama nakhodanya ‘Alikhan. Dia (Caspar Moggado) mengambil dari mereka 100 tharfayat dirham.
Ketiga, ketika kapal barang dari Falaykat (?), yakni Fati (?) tiba dan dalam kapal barang itu banyak harta benda penduduk Sumatra. Ia mengambilnya dari mereka 100 tharfayat dirham dengan semena-mena dan paksa.
Keempat, ketika kapal barang dari Nawur (Navur?), yakni Fati (?) tiba. Ia mengambil dari mereka 125 tharfayat dirham.
Kelima, ketika sebuah kapal [penumpang] dari Barrus, nama negeri yang di dalamnya terdapat harta benda Raja Bengal, ia mengambil dari mereka 100 pikul qula’ (?) dan 4000 bukhur-nya (kemenyan), dan semua awak kapal dijualnya.
Keenam, berapa banyak penduduk Sumatra yang dirampas harta benda mereka secara semena-mena dan paksa, dan berapa banyak orang-orang Qadhi dan Wazir yang dibuat murka (dirampasnya).
Dari itu, kami mengadukan keadaan-keadaan kami ini kepada Anda sebab dalam hati kami ini ada persoalan tersebut, [yakni] persoalan yang tidak pernah dirasakan oleh Sultan Portugal atau Anda sendiri, bahkan Sultan Portugal tidak tahu persoalan kelakuan-kelakuan Manuel Falxem dan Caspar Moggado sebab sesungguhnya kami tahu Sultan [Portugal] dan Kapitan Moran tidak ingin merugikan bandarnya sendiri karena bandar kami adalah bandar Anda juga maka bolehlah… Anda, [ia] menjaganya (maka seharusnya, Anda menjaganya juga).
Komentar-komentar Awal
Pertama:
Naskah surat tidak dibuka dengan basmallah atau tahiyyah (salam) karena surat ditujukan kepada orang
berlainan aqidah. Sebab itu cukup dibuka dengan beberapa kalimat diplomatis menyatakan hubungan baik yang terjalin.
Kedua:
Seperti dikatakan, pengirim atau pemilik surat adalah Sultan Zainal ‘Abidin, yang dalam surat itu tertera gelarannya, yaitu al-Qa’im tahta Amr Rabb Al-‘Alamin (orang yang mengurusi Muslimin di bawah perintah Tuhan semesta alam). Zainal ‘Abidin adalah putera Sultan Mahmud (W. 872 H/1468 M) anak dari Zainal ‘Abidin Ra-’Ubabdar. Kakek dari pihak ayahnya, yakni Zainal ‘Abidin Ra ‘Ubabdar yang juga bergelar Al-Malik Azh-Zhahir ini, adalah piut dari Al-Malik Ash-Shalih (696 H/1297 M). Beberapa petunjuk penting yang terdapat pada makam puteranya yang lain, yaitu Khujah As-Sulthan Al-’Adil Ahmad (W. 864 H/1460 M), mengungkapkan bahwa pada zaman pemerintahan Zainal ‘Abidin Ra-‘Ubabdar, Samudra Pasai mencapai masa puncak kegemilangan dan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai pelosok Asia Tenggara yang amat jauh.[10]
Namun persoalan mengenai pemilik surat ini tidak tuntas begitu saja. Mohamad Said serta sumber-sumbernya, begitu pula para penulis sejarah yang lain, menyebutkan bahwa Sultan Zainal ‘Abidin masih hidup setelah 1518.[11]
Said dan lainnya, memang, tidak menyebutkan kapan Zainal ‘Abidin wafat tapi nama sultan Zainal ‘Abidin masih disebut-sebut untuk peristiwa-peristiwa sampai dengan 1521. Meski mereka telah keliru jika menyangka bahwa Sultan Zainal ‘Abidin yang memerintah Samudra Pasai di belasan awal abad ke-16 M telah hidup sesudah 1517, tapi bagi kami, persoalannya ialah adakah sultan bernama Zainal ‘Abidin sesudah Zainal ‘Abidin yang wafat pada 1517 M?
Pada komentar naskah fotografi, memang, disebutkan bahwa pemilik atau pengirim surat itu adalah Zainal ‘Abidin V, namun dari inskripsi makam-makam yang dijumpai di kawasan tinggalan Samudra Pasai hanya ada empat sultan bernama Zainal ‘Abidin yang diketemukan sampai dengan saat ini: 1. Zainal Abidin, ayahanda dari Ratu Nahrasyiyah (wafat sekitar tahun-tahun permulaan abad ke-9 H/15 M); 2. Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar Al-Malik Azh-Zhahir (W. 841 H/1438 M), kemenakan Zainal ‘Abidin I, putera dari saudaranya yang bernama Ahmad (makam dan tarikh wafatnya yang terakhir tidak diketahui); 3. Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Zainal ‘Abidin Al-Malik Azh-Zhahir (W. 878 H/ 1474 M); dan 4. Zainal ‘Abidin bin Mahmud (W. 923 H/1517 M).
Kemudian, ada tiga hal yang juga perlu dipertimbangkan:
- Tidak ditemukan sama sekali makam sultan Samudra Pasai yang bertarikh wafat lebih akhir dari makam Sultan Zainal ‘Abidin yang wafat pada 1517 M, meski ditemukan beberapa makam bukan sultan yang bertarikh wafat sesudahnya, salah satunya adalah makam yang kami duga milik permaisuri Sultan Zainal Abidin IV sendiri karena dimakamkan persis di samping makamnya.
- Epigrafi ayat-ayat Al-Qur’an dan syair pada makam Sultan Zainal Abidin yang secara lebih kental mengisyaratkan ihwal masa akhir dan kesudahan zaman Samudra Pasai.
- Nisan makam Maharaja Ibrahim (W. 930 H/1524 M) di Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh, yang bercorak nisan makam Samudra Pasai periode terakhir. Kami melihat ini sebagai petunjuk bahwa dialah penguasa (raja) Samudra Pasai setelah Zainal ‘Abidin wafat, yakni ketika Samudra Pasai telah menjadi wilayah bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam yang diperintah oleh Sultan ‘Ali Al-Makhshush bi Mughayatillah (‘Ali Mughayat Syah) bin Syamsu Syah bin Munawwar Syah (W. 936 H/1530 M).[12] Para sejarawan menyebutkan bahwa Maharaja Ibrahim adalah saudara Ali Mughayat Syah dan dialah orang yang telah membebaskan Samudra Pasai dari kungkungan Portugis.[13]
Mempertimbangkan hal-hal tersebut, kami mencoba memberi kesimpulan sementara bahwa pemilik surat tersebut adalah Sultan Zainal ‘Abidin yang wafat pada 923 H/1517 M.
Ketiga:
Kapitan Moran (Morano; Muran?), tampaknya, adalah perwakilan gubernur Portugis di Melaka. Tidak disebutkan siapakah viceroy atau gubernur Portugal di Goa pada waktu itu.[14] Mungkin, salah seorang dari dua pejabat tinggi Portugis: Lopo Soares de Albergaria (1515-1518 M) yang menggantikan Afonso de Albuquerque (1515), atau Diogo Lopes de Sequiera (1518-1521 M).
Apabila surat ini ditujukan kepada Sequiera, maka boleh jadi naskah surat ini telah ditulis pada masa akhir hidup Sultan Zainal ‘Abidin. Agaknya, hal ini memang lebih mungkin, selain karena isi surat menggambarkan perihal buruk yang dialami Samudra Pasai dalam masa-masa itu, Sequiera juga barangkali dikenal sebagai seorang yang lebih memungkinkan untuk diajak berdiplomasi.
Terkait perantara antara Sultan Samudra Pasai dan pemerintah Portugis di Goa, sepertinya, Kapitan Moran telah mewakili pihak Portugis dalam kesepakatan untuk mengikat hubungan baik, antara Samudra Pasai dan Portugis di Melaka. Atas kesepakatan itu, Samudra Pasai tidak mengganggu setiap lalu lintas Portugis, Goa-Melaka, dan tampaknya Sultan Samudra Pasai telah memberikan hak monopoli dagang kepada pihak Portugis. Teks surat: Dan ketika orang kepercayaan Portugis tiba dari Kuj Kulam atau Mulaqat (Melaka), kami hormati dan kami hadiahi seluruh [hasil bumi] yang sampai ke negeri kami.
Selain Kapitan Moran, naskah surat juga menyebutkan Portugis bernama Manuel Falxem (?) dan Caspar Mogado (?). Marsden dalam Sejarah Sumatra menyebutkan dua orang Portugis bernama: Gaspar d’Acosta dan Manuel Pacheco.[15]
Marsden menuturkan:
“Beberapa waktu sebelum kejadian ini (yakni, Diego Pacheco mengelilingi Sumatra—pasca 1511), sebuah kapal di bawah komando Gaspar d’Acosta hilang di pulau Gomez (?) dekat tanjung Aceh. Orang-orang Aceh menyerang kapal itu, membunuh sejumlah orang dan menawan sisanya. Kapal milik Joano de Lima dibajak di dekat pantai dan orang-orang Portugis dibunuh. Penghinaan-penghinaan dan perlakuan buruk lainnya yang dialami Portugis di Pasai menggerakkan gubernur Malaka, Garcia de Sa, untuk mengirim kapal di bawah pimpinan Manuel Pacheco. Kapal itu bertujuan untuk menuntut balas. Untuk itu, ia meblokade pelabuhanpelabuhan dan mencegah bandar-bandar Pasai mendapat bahan makanan. Akhirnya Sultan Pasai mengirim utusan untuk berdamai dengan pemerintahan Portugis di Malaka. Pemerintah Malaka menerima usulan tersebut.”[16]
Apakah Gaspar dan Manuel ini yang dimaksud dalam naskah surat Sultan Zainal ‘Abidin? Sekalipun tidak dapatdipastikan, tapi peristiwa yang dituturkan Marsden tampak ada kaitannya dengan isi surat Sultan Zainal ‘Abidin. Cuma boleh jadi, setiap pihak (Suamtra Pasai dan Portugis) mewakili sudut pandangnya masing-masing, atau justeru sumber Portugis yang diduga kuat telah memanipulasi fakta sebenarnya, atau menggunting Sebagian kenyataan, untuk membenarkan tindakan ekspansionisnya atas Sumatra Pasai.
Keempat:
Penyebutan sultan untuk wakil raja atau gubernur Portugis di Goa. Hal ini juga diutarakan Tome Pires dalam The Suma Oriental-nya. Tome Pires menyebutkan bahwa kala itu sebutan sultan di kawasan timur India hanya dikhususkan untuk penguasa tiga negeri; Pasai, Melaka dan Bengal. Sementara lainnya disebut dengan raja. Tome Pires menulis: “Surat-surat dari Portugis untuk raja mana saja yang dituju di kawasan itu harus dicantumkan: Dari Sultan Portugal kepada raja ini dan itu.”[17]
Kelima:
Disebutkan dalam naskah surat bahwa seluruh negeri Islam terikat hubungan dengan pemerintah atau sultan Portugal. Ini merupakan gambaran umum Dunia Islam antara 1514-1518 setelah Portugis berhasil mendirikan pos-pos dagangnya di berbagai pangkalan strategis Dunia Islam dari Teluk Arab/Persia sampai Melaka setelah Penaklukan de Alboquerqei pada 1511.[18]
Keenam:
Naskah surat menyebutkan beberapa nama negeri yang memiliki hubungan langsung dengan Samudra Pasai. Di antara negeri-negeri itu ada yang masih menggunakan nama tersebut sampai dengan hari ini, sementara beberapa lainnya masih perlu kepada penyelidikan lanjut.
Dari sini tampak jelas hubungan luas Samudra Pasai dengan negeri-negeri terkenal lainnya. Naskah menyebutkan:
1. Portugal (Fertugal).[19]
Salah satu kerajaan Eropa di semenanjung Iberia yang merupakan kekuatan imperialisme pertama menjajah Timur. Hasrat untuk sampai ke negeri-negeri di Timur lewat jalur lain yang jauh dari wilayah kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyah (Ottoman), sejak awalnya, telah disemangati oleh usaha-usaha Pangeran Henry (1393-1460) dari Portugal yang terkenal dengan Mualim. Usaha itu berbuah keberhasilan setelah Vasco de Gama berhasil melintas Tanjung Harapan (Cape of Hope) dan sampai ke India pada 1497.
Tak lama setelah de Gama mencapai India, Portugis mulai meluaskan pengaruh dan pendudukannya di negerinegeri Timur Islam dengan mendirikan benteng dan pos perdagangannya (factories). Kekuatan imperialism Barat yang pertama ini melangkah jauh dari negeri asalnya di semenanjung Iberia sampai dengan Melaka— sebuah bandar strategis untuk pertukaran komuditi niaga antara Asia bagian Barat-Selatan dan Asia TenggaraTimur Jauh—setelah berhasil merebut Goa dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan imperiumnya di Timur. Dan setelah 1509, Albuquerque (viceroy) merupakan tokoh paling berpengaruh dalam kegiatan imperialisme Portugis di Timur.[20]
2. Kouj Kalim (Kulam-mali)
Kouj Kalim, atau barangkali Kulam. Meskipun kami belum berhasil menjumpai nama kota seperti ini, dan Cuma menjumpai Kouj Bahar di kawasan Bengal, tapi dapat diperkirakan bahwa yang dimaksud adalah Kulam-mali, salah satu kota pelabuhan terpenting selain Calicut di Malabar, barat India. Ibnu Baththuthah menyebutkan Kulam-mali adalah kota terbagus di Malabar dengan pasar-pasarnya yang tertata rapi. Kota itu memiliki gudanggudang besar untuk penyimpanan sejumlah komuditi yang dapat diangkut satu kapal atau lebih.[21]
Dalam naskah surat disebutkan bahwa setiap utusan Portugis yang datang dari Kulam-mali hendak menuju Melaka atau sebaliknya, disambut dengan baik di Samudra dan dihadiahi berbagai barang yang dikumpulkan di Sumatra.
3. Mulaqat (Melaka)
Naskah surat ini telah memberikan suatu kepastian tentang asal muasal nama Melaka. Dari naskah ini diketahui bahwa nama Melaka (Malaka) tidak berasal dari zaman pra-Islam atau pra-Samudra Pasai sebagaimana dugaan ramai sejarawan. Kata Melaka ternyata adalah peralihan fonetik dari kata Mulaqat yang berarti tempat perjumpaan. Nama tersebut diberikan melihat fungsi bandar Melaka yang sengaja dikhususkan sebagai tempat perjumpaan para pedagang dari Timur dan Barat.[22]
Kami meyakini bahwa Melaka mencuat sebagai bandar perdagangan terbesar di Asia Tenggara setelah negeri itu dibuka oleh Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar . Sebelum itu Melaka, barangkali, hanya sebuah kerajaan kecil yang dihuni penganut agama Budha yang bermigrasi dari selatan Sumatra atau Singapure. Tidak mashurnya negeri itu sebelum ditaklukan oleh Sultan Zainal ‘Abidin dari Samudra Pasai dikarenakan para pedagang dari Asia Barat pada masa sekitar abad ke-7 H/13 M, yang umumnya Muslim, lebih tertarik untuk singgah di bandar-bandar yang dikuasai Muslim. Hal ini dapat ditangkap dari keterangan Al-Qazwiniy (W. 682 H/1283 M) dalam Atsarul Bilad wa Akhbarul ‘Ibad:
“Jawah (yakni, pesisir utara Sumatera) adalah negeri di pantai laut Cina seberang India.[23] Di zaman kita sekarang (yakni, paroh kedua abad ke-7 H/ 1283 M), para pedagang yang pergi ke Cina hanya bisa mencapai negeri ini dan sulit mencapai negeri-negeri lain sebab selain letaknya yang jauh, juga karena berbeda agama. Dari negeri ini para pedagang mengambil kemenyan Jawi, kamper… dan membawanya ke berbagai negeri lain.”[24]
Kami juga meyakini bahwa setelah Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar membuka negeri itu, ia menempatkan puteranya Manshur bin Zainal ‘Abidin (W. 882 H/ 1486) sebagai penguasa Mulaqat (Melaka). Sepeninggal Sultan Zainal ‘Abidin, Manshur tampaknya telah mengangkat dirinya sebagai sultan di Melaka.[25]
4. Fariyaman (Pariaman)
Dapat langsung diketahui bahwa tempat yang dimaksud adalah daerah yang disebut kemudian dengan Padang Pariaman, Sumatera Barat. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia disebutkan bahwa Padang Pariaman telah cukup lama berdiri. Nama Pariaman berasal dari kata Parsi dan Yaman. Konon, dulunya orang-orang Parsi, Yaman, Gujarat dan lainnya berdagang sampai daerah ini.[26]
Meskipun hampir dapat dipastikan bahwa Pariaman telah dikunjungi oleh ramai pedagang dari kawasan Timur Tengah, Persia, dan India sebelum didatangi orang Eropa karena kekayaan alamnya, namun sampai dengan saat ini kami belum memperoleh banyak informasi tentang sejarah Pariaman, begitu pula mengenai keterkaitannya dengan kerajaan Minangkabau yang dikatakan oleh William Marsden sebagai kerajaan yang wilayah kekuasaannya di zaman purba meliputi seluruh pulau Sumatera. Marsden juga mengakui bahwa sejarah Minangkabau sendiri tidak banyak diketahui. Pada umumnya, keberadaan catatan sejarah kerajaan ini diragukan dan di lain pihak, sumber-sumber sejarah tertulis tidak ada.[27]
Bagaimanapun, naskah surat ini menunjukkan bahwa Pariaman telah punya hubungan sangat dekat dengan Samudra Pasai meski sejauh ini kami belum menemukan sumber-sumber sejarah untuk mengetahui corak atau watak hubungan tersebut.
5. Syummuthrah (Sumatra/Samudra Pasai)
Telah diterangkan di Bagian pertama.
6. Bengal[28]
Bengal merupakan kawasan luas di timur anak benua India, dan karena sebagian besar sungai di timur India bermuara ke kawasan tersebut semisal Gangga, Jamuna dan Bhrahmaputra, maka kawasan itu juga dikenal dengan sebutan: Bilad Al-Anhar (negeri sungai-sungai).
Bengal menjadi kawasan Islam yang tunduk ke Ghur atau kemudian ke Delhi setelah dibuka oleh Ikhtiyaruddin Muhammad bin Bakhtiyar Al-Khiljiy, salah seorang panglima Quthubuddin Aibak, di penghujung abad ke-6 H/12 M.
Pada masa Sultan Ilyas Syah (W. 759 H/1358 M) di pertengahan abad ke-8 H/14 M, Bengal merupakan kawasan yang meliputi barisan pegunungan Himalaya di utara sampai dengan teluk Bengal di selatan, dari barisan gunung Lauhitya di timur sampai dengan dataran tinggi Nagpur Minor di barat.
Sultan Ilyas sangat bangga dengan sebutan Bengal untuk persatuan negeri-negeri Bengal, begitu pula dengan sebutan Benggali untuk penduduknya. Dia sendiri memilih gelar Syah Bengal untuk dirinya sekalipun ia memulai pemerintahannya di Bengal bagian utara dengan mengambil Pandawa sebagai ibukota pemerintahan. Hal ini dilakukan sebagai upaya menarik hati rakyat Bengal untuk mendukung pemisahan diri dari pemerintahan pusat di Delhi.
Pemerintahan Bengal di bawah kesultanan yang berdiri sendiri, terpisah dari Delhi, berlangsung sampai dua abad lamanya (739 H/1338 M-945H/1537 H). Dalam masa itu, Bengal sempat diperintah oleh 24 orang sultan dengan ibukota pemerintahannya yang berpindah-pindah antara Kuru dan Pandawa (kedua kota kuno di tepi sungai Gangga itu sekarang sudah terpencil).
Pada tahun 899 H/1494 M pemerintahan Bengal dipegang oleh Husain Syah yang sebelumnya memegang jabatan umum (menteri) pada masa pemerintahan Dinasti Ahbasy, dan menggelar dirinya dengan Sultan ‘Ala’uddin. Dalam masa kepemerintahannya, Bengal mencapai masa puncak kesejahteraan dan kemakmuran. Sultan Husain sempat memerintah sampai 27 tahun lamanya yang kemudian diteruskan oleh anak cucu keturunannya sampai dengan tahun 944 H/1537 M. Ibukota mereka di Kuru (Hastinapur, sekarang).
Dari sini dapat diketahui bahwa Sultan Bengal yang dimaksud dalam naskah surat Sultan Zainal ‘Abidin adalah Sultan Husain Syah.
7. Maraqqusy (Maraqsya; Maraqqasy?)
Mulanya, kami mengenyampingkan kemungkinan yang dimaksud adalah kota Marakkush di barat Afrika Utara (Maghribi) karena yang terakhir ini ditulis dengan kaf bukan qaf. Namun, sejauh ini kami pun belum dapat mengetahui pasti tempat atau kota dengan nama ini. Sekadar untuk memperkirakannya, Maraqqasy bisa jadi adalah Meraxsa, karena sangat mungkin pengucapan yang tepat bagi nama kota atau tempat tersebut adalah Maraqsya, dan ini sangat dekat dengan kata-kata Meraxsa. Jika perkiraan ini tidak meleset, maka boleh jadi yang dimaksud adalah Meraxsa di Banda Aceh sekarang. Meraxsa merupakan salah satu kota pelabuhan paling utara di pesisir barat Aceh tempat di mana sekarang lebih dikenal dengan Ulee Lheu. Namun jelas belum ada sandaran apapun untuk menegaskan hal ini, dan masih saja terbuka kemungkinan yang dimaksud ialah Marakkush di Maghribi (Moroko).
8. Diyu
Diyu adalah sebuah kota pelabuhan India yang terletak di mulut teluk menuju Kambai. Dermaganya dipadati berbagai komuditi yang diangkut dari berbagai negeri di samudera India. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pedagang. Setiap tahunnya, lebih dari 2000 orang sampai ke dermaga ini. Suatu hal yang dapat dipastikan, perdagangan merupakan tonggak utama perekonomian Diyu. Pemerintah Diyu, kala itu, tidak hanya membuka tangan bagi setiap pedagang yang datang tapi juga menggalakkan mereka untuk berniaga ke Diyu dengan memberikan berbagai fasilitas dan hadiah kepada mereka.[29]
9. Kambayat (Kambai)
Kambai adalah salah satu kota pelabuhan di tepi barat India berada dalam teluk yang dapat dilayari kapal-kapal. Ibnu Baththuthah menyebutkan bahwa saat air laut surut, kapal-kapal berdiri di atas lumpur dan ketika pasang kapal-kapal itu mengapung kembali di atas air. Dari laporan Ibnu Baththuthah, dermaga Kambai tampaknya merupakan sebuah dermaga yang dangkal. Kota ini dipadati pedagang asing, dan memiliki bangunan-bangunan yang kokoh dan mesjid dalam jumlah banyak. Para pedagang yang datang bersaing dalam membangun kota ini. Karena saking banyaknya pedagang yang sampai ke pelabuhan ini, diangkatlah seorang yang dikenal dengan Malik At-Tujjar (raja para saudagar). Kapal-kapal Arab mengangkut kuda Arab, wol dan lainnya ke kota tersebut dan mengangkut rempah-rempah dan lain-lain sebagai gantinya. Di samping itu, pemerintahan setempat juga mewajibkan para saudagar membayar 1 % dari keuntungan untuk keperluan kota.[30]
10. Barrus (Barus)
Pada 1997 satu tim arkeologi Indonesia-Prancis menemukan sebuah cap di Barus (Sumatera Utara). Cap itu ditemukan di situs Lobu Tua yang diperkirakan oleh Tim tersebut berasal dari periode pertengahan ke-9 M sampai akhir abad ke-11 M.[31]
Menurut Ludvik Kallus, inskripsi yang terdapat pada cap tersebut berbunyi Allah, Muhammad atau Billah, Muhammad.[32] Namun setelah mengamatinya secara saksama dan menyalin ulang inskripsi tersebut, kami memastikan bahwa inskripsi yang tertulis pada cap tersebut adalah dua kata: Balush di baris atas dan Khamak atau kata-kata semisal itu di baris bawah. Inskripsi ini tertulis dalam khath Kufi yang cenderung muzakhraf (berias) atau muwarraq (berdaun) sebagaimana halnya khath Kufiy pada periode di mana khath Naskhiy sudah lebih populer digunakan (penghunjung abad V H dan seterusnya). Fenomena khath Kufiy demikian telah berkembang di Mesir, lalu dari sana menyebar ke seluruh Dunia Islam, barat dan timurnya[33]
Dari sini, barangkali, bisa disimpulkan bahwa Barrus atau suatu tempat yang kemudian dikenal dengan Barrus pernah bernama Balush atau Palush.
Tahun 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Forum Jakarta-Paris menerbitkan buku Barus Seribu Tahun Lalu oleh Claude Guillot dkk. Dalam buku itu dikutip catatan teks Xintang Shu yang menggambarkan Sriwijaya sebagai suatu kerajaan dibagi menjadi dua kerajaan, termasuk yang paling barat dinamakan Lang-Po-Lu-Si. Kerajaan ini kaya akan emas, air raksa dan kamper. Lang-Po-lu-si biasanya diidentifikasikan sebagai Barus.[34]
Dari keterangan-keterangan ini dapat dijelaskan bahwa pada masa sebelum Barrus, di kawasan tersebut sudah berdiri kerajaan suku yang telah memeluk Islam dikenal dengan Balush, Palush atau Po-lu-si. Kapan mulanya kawasan itu lebih dikenal dengan Barrus, belum dapat diketahui dan perlu penelitian lebih lanjut. Namun apabila melihat kepada sistem politik kekabilahan (kesukuan) yang lumrah dipraktikkan dalam berbagai masyarakat adat, di mana sebuah kerajaan, negeri atau suku dimiliki sepenuhnya oleh seorang pengayom, maka besar kemungkinan Balush atau Palush merupakan nama raja yang memerintah di kawasan tersebut sebelum Barrus atau Parrus yang boleh jadi juga nama seorang raja dan pemimpin legendaris bagi masyarakat setempat pada masa kemudiannya. Sementara kata Khamak pada cap Lobu Tua itu, mungkin, punya arti semacam: kerajaan, suku atau keluarga.
Tidak mustahil, kemudian, apabila nama Raja Barrus ini melekat untuk wilayah tersebut sehingga pada pertengahan abad ke-9 H/15 M, atau lebih pastinya permulaan abad ke-10 H/16 M),[35] wilayah itu sudah dikenal dengan Barrus sampai dengan sekarang. Kami kira, suatu hari, inskripsi pada nisan-nisan kuno di Barrus akan memberi jawaban putus tentang hal ini.
11. Fulikat (Palikat) dan Nawur (Navur) yaitu Fati
Dua kota di kawasan pantai Coromandel, India Selatan.
Ketujuh:
Naskah surat juga menyebutkan beberapa istilah perekonomian dan kelautan yang digunakan di zaman Samudra Pasai:
- Tharrad. Pada hakikatnya, tharrad adalah sejenis kapal perang yang digunakan bangsa Arab sejak pertama mereka mengenal kelautan. Strukturnya yang ramping memungkin kapal ini untuk melaju dengan kecepatan tinggi. Kapal yang dirancang khusus untuk peperangan ini juga memiliki ruang-ruang dengan kapasitas yang mampu menampung sekitar 40 ekor kuda perang, dilengkapi dengan pintu yang bisa dibuka-tutup sesuai keperluan. Kapal semacam ini kemudian dipakai oleh orang-orang Eropa dan disebut Tartana.[36] Tapi menurut kami, tharrad yang dimaksud dalam naskah surat adalah kapal pengangkut kotak-kotak barang (container) karena thard dalam bahasa Arab berarti barang kiriman dari satu tempat ke tempat lain.[37] Maka, tharrad bisa bermakna kapal pengangkut barang-barang kiriman. Bisa juga, dinamakan tharrad untuk kapal-kapal barang ini dikarenakan strukturnya yang sama dengan kapal perang; ramping, agar mampu melaju dengan kecepatan tinggi.
- Dirham. Mata uang ini sudah mulai beredar sejak awal sejarah Islam. Dirham berasal dari bahasa Yunani, drachma, tapi orang-orang Arab mengutipnya dari bangsa Persia. Mata uang ini dibuat dari perak dan tembaga.[38] Namun, dirham Samudra Pasai adalah mata uang terbuat dari emas dan perak. Meski lazimnya mata uang dari emas disebut dengan dinar dan perak disebut dengan dirham, namun di Samudra Pasai disebut untuk keduanya mengikuti tradisi Persia. Dalam naskah surat disebutkan: “dirham dari emas”. Pada dirham yang sering ditemukan di kawasan tinggalan Samudra Pasai tercetak tulisan (inskripsi) As-Sulthan Al-’Adil pada satu mukanya, dan pada muka yang lain terdapat nama-nama sultan yang mengeluarkan dirham tersebut. Tulisan Malik Azh-Zhahir yang terdapat setelah nama-nama sultan pada sejumlah besar dirham yang ditemukan adalah tradisi kemudian untuk menandakan seorang sultan dari garis keturunan Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar yang bergelar Al-Malik Azh-Zhahir. Pada dirham tertulis Malik tanpa al. Penghapusan al pada awal kata/nama Arab juga merupakan tradisi Persia. Dengan demikian, menurut kami, Malik Azh-Zhahir bukan gelar setiap sultan Samudra Pasai sebagaimana dugaan sebagian sejarawan, tapi adalah penanda dan baru dimulai pada masa generasi putera Sultan Zainal Abidin Ra-Ubabdar.
- Tharfayat. Istilah ini belum diketahui secara pasti maknanya. Kami menduga, istilah ini bermakna semacam pajak (tax) yang ditarik oleh pemerintah Samudra Pasai. Tharfayat dapat saja berupa penggabungan dua kata yang dalam istilah ilmu bahasa Arab disebut dengan Naht (pemahatan), yakni kata thar dari Syammuthrah atau Samathar dan kata fay dari kata fayyi’ (pajak) lalu di-jama’-ta’nits-kan menjadi tharfayat. Dengan demikian, barangkali, bisa dipahami bahwa dua orang Portugis, yang dikeluhkan oleh Sultan Zainal Abidin dalam suratnya itu, telah merampas banyak kapal barang yang tiba di Samudera (Samudra Pasai) atas nama pajak Samudra Pasai. Mungkin, ini sengaja dilakukan Portugis dalam rangka memperkuat blokadenya atas pelabuhan-pelabuhan Samudra Pasai serta mempersulit keadaan di dalamnya.
- Buhar. Kata ini dalam bahasa Arab berarti bawaan atau pikulan.[39] Pikul adalah sukatan yang barangkali berbeda ukurannya antara satu negeri dengan lainnya. Satu pikul dapat berukuran 62, 5 kg.
- Bandar, berasal dari bahasa Persia, maknanya dermaga atau pelabuhan, dan dapat berarti kota tepi laut yang menjadi pusat perdagangan. Biasanya, dikepalai oleh seorang Syah Bandar (istilah Persia).[40]
Kedelapan:
Naskah menyebutkan dua jabatan penting dalam kesultanan Samudra Pasai, yakni wazir dan qadhi. Ini menandakan bahwa dalam sistem pemerintahannya, Samudra Pasai tidak berbeda dengan negeri-negeri Islam yang lain pada waktu itu.
Kedua jabatan dalam tata pemerintahan Islam ini memiliki dasar-dasar hukum yang kuat dalam syari’at Islam. Dalam sejarah Islam, kedua jabatan ini telah mengalami beberapa perkembangan amat menentukan dalam memberikan bentuk akhir dari kedudukan dan fungsinya.
Analisis Isi Naskah Surat
Secara umum, naskah surat Sultan Zainal ‘Abidin yang ditujukan kepada Kapitan Moran (?) berisi pengaduan sultan kepada wakil raja (viceroy) atau gubernur Portugis untuk negeri-negeri di Timur menyangkut tindak semena-mena dua utusan Portugis di bandar Samudra Pasai. Sultan menyebutkan bahwa tindakan kedua utusan itu sangat merugikan pihaknya, yang pada akhirnya tentu akan mengeruhkan hubungan antara Samudra Pasai dan Portugis. Karena itu, Sultan meminta kepada wakil raja Portugal lewat Kapitan Moran untuk menyikapi berbagai perilaku kedua utusan Portugis itu.
Dengan demikian, isi surat ini jelas menunjukkan kondisi masa-masa akhir Samudra Pasai. Pemilik surat, Sultan Zainal ‘Abidin yang dari inskripsi pada batu nisannya di komplek pemakaman kesultanan Blang Me, Samudera, Aceh Utara, diketahui telah wafat pada 923 H (1518 M), yakni setelah empat tahun Khujah (Khoja) Sultan Ahmad mangkat pada 919 H (1514 M). Dari sini dapat diperkirakan bahwa teks surat tersebut telah ditulis antara tahun 1514 dan 1518. Besar kemungkinan ditulis menjelang masa-masa akhir pemerintahan dan hidup Sultan. Kemungkinan ini didasari kenyataan isi surat yang menggambarkan kesemerautan kondisi Samudra Pasai serta konflik dengan Portugis yang semakin memuncak.
Semenjak kejatuhan Melaka di tangan Portugis pada 1511, kerajaan-kerajaan Islam di kepulauan timur India mengalami tekanan kuat dari bangsa imperialis itu. Watak penjajahan Portugis yang keras dan kejam di satu sisi, dan semakin melemahnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam utara Sumatra, terutama Samudra Pasai, dalam menghadapi rongrongan bangsa penjajah itu, di sisi yang lain, mengarahkan kita pada suatu kesimpulan bahwa Sultan Zainal ‘Abidin terpaksa mengikat hubungan dengan Portugis. Barangkali itulah alternatif terbaik yang terpikirkan oleh Sultan dalam waktu-waktu sulit tersebut demi menyelamatkan Samudra Pasai. Namun, mungkin, pemimpin politik tertinggi Samudra Pasai itu kemudian menyadari bahwa pilihannya itu adalah keliru. Masa berhubungan dengan Portugis yang kurang dari empat tahun itu adalah masa paling buruk bagi Samudra Pasai. Negeri Islam terbesar di Asia Tenggara ini menyaksikan ketidak-stabilan politik, sosial dan ekonomi dalam seluruh tingkatannya, dalam dan luar negeri.
Sejauh penyelidikan kami, antara tarikh wafat Khoja Sultan Ahmad dan Sultan Zainal ‘Abidin tidak ditemukan batu nisan bertarikh serta berukir indah yang menjadi penanda kehidupan budaya di Samudra Pasai. Hal ini sedikit banyak menjadi petunjuk atas merosotnya budaya dan peradaban Samudra Pasai dalam waktu-waktu itu lantaran kekacauan yang terjadi akibat hubungan dengan Portugis.
Hubungan yang dijalin Sultan dengan Portugis ternyata sia-sia belaka. Bangsa yang dalam usaha penjajahannya tidak cuma menargetkan rempah-rempah tapi juga untuk melanjutkan upaya-upaya salibis dalam menundukkan negeri-negeri Islam, tidak menghormati hubungan tersebut. Suatu penyesalan tentu datang, dan kesan adanya penyesalan ini terlihat dari ekspresi seniman pemahat batu nisan Sultan Zainal ‘Abidin yang memilih untuk memahat ayat Al-Qur’an, surah At-Taubah: 29, serta bait-bait syair pewaris tahta Sevilla terakhir, Al-Mu’tamid bin ‘Abbad (W. 488 H/1095 M), pada penanda makam Sultan di komplek pemakaman kesultanan Blang Me, Samudera, Aceh Utara. Seniman atau siapapun perancang batu nisan Sultan Zainal ‘Abidin ini seolah-olah 1/26/2021 Naskah Surat Sultan Zainal ‘Abidin (Wafat 923 H/1518 M) – Misykah | Dari Samudra Pasai menuju Kebudayaan Islam Asia Tenggara hendak mengisyaratkan bahwa akhir yang menimpa Samudra Pasai tidaklah jauh berbeda dengan Andalusia di Spanyol.[41]
Catatan Kaki
[1] Lihat, Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada, 1981), jld. 1, h. 164.
[2] Untuk memperluas gambaran mengenai diwan serta berbagai hal menyangkut dengannya dapat dibaca antara lain: Ibnu Ash-Shairafiy, Al-Qanun fi Diwan Ar-Rasa’il, (Kairo: Ad-Dar Al-Mishriyyah Al-Lubnaniyyah, 1990).
[3] Geneza: suatu ruang penyimpanan dalam rumah peribadatan (sinagog) orang-orang Yahudi. Di situ disimpan surat menyurat atau dokumen-dokumen yang berbahasa Arab dan Ibrani. Salah satu geneza yang ditemukan adalah Geneza Kairo di mana dalam kumpulan surat-surat atau dokumen tersebut, yang sebagiannya sudah terpotong-potong, dijumpai catatan-catatan menyangkut perdagangan di samudera India pada abad-abad pertengahan. Lihat, S. D. Jwateun, Dirasat fi At-Tarikh Al-Islamiy wan Nuzhum Al-islamiyyah, ed. Arab: ‘Athiyyah Al-Qaushiy, (Kuwai: Wakalat Al-Mathbu’at, 1980), h. 189.
[4] Ibid, h. 256
[5] Lihat, ‘Abdul Fattah ‘Abbadah, h. 66.
[6] لعلھ كوج أو كوخ
[7] في النسخ المخطوط نلاحظ بعض الاضطراب بین ”ثلثون“ و“ثلثین“
[8] أو طرنایات ولا نعثر لھا معنى في المعاجم العربیة ولعلھا فارسیة الأصل أو انظر تعلیقنا الآتي ذكره
[9] أو فات
[10] Lihat uraian Bagian sebelum ini.
[11] Mohamad Said menyebutkan di antara peristiwa 1521 bahwa Portugis mengkhianati jaminannya atas Zainal Abidin dan mengangkat raja lain untuk Pasai. Lihat, Mohamad Said, h. 164. Sementara William Marsden juga menyebutkan bahwa pada tahun 1521, ketika J. d’albequerque tiba di Pasai bersama Pangeran Orfacam (?), Sultan Jeinal masih tetap berusaha bersahabat dengan Portugis. Juga disebutkan tentang terjadinya pertempuran di kubu pertahanan Jeinal yang terletak agak jauh dari kota Pasai. Lihat, William Marsden, Sejarah Sumatra, h. 379. Makam Ali Mughayat Syah terdapat di komplek pemakaman kesultanan Kandang XII, Banda Aceh,
[12] sementara ayahnya, makam ayahnya Syamsu Syah berada di komplek pemakaman kesultanan yang sama dengan Maharaja Ibrahim di Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh, dan sementara ini kami belum berhasil menemukan makam kakeknya, Munawwar Syah, yang menurut perkiraan sementara berada di kawasan Pidie. Makam Munawwar Syah, sangat penting ditemukan karena mungkin akan didapati keterangan genealogis yang lebih .lengkap dan hubungannya dengan Samudra Pasai
[13] Mohamad Said, h. 166
[14] Naskah surat tidak menyebutkan nama Sultan Portugal barangkali karena itu merupakan salah satu etika diplomasi.
[15] William Marsden, tampaknya, telah mengambil informasi ini dari Valentij, seorang missionaris yang bergiat di Asia Tenggara sebagaimana disebutkan dalam catatan kata pengantarnya untuk Sejarah Sumatra (h. xxvi).
[16] William Marsden, h. 378-379.
[17] Tomé Pires, The Suma Oriental of Tomé Pires, terj. Armando Cortesao, (London: The Haklyut Society, 1944), Vol. II, h. 245. Dalam tradisi politik Islam: kaum Muslimin diperintah oleh amirul mu’minin atau khalifah; suatu kawasan (regional) diperintah oleh sultan; dan suatu negeri, kota atau kerajaan diperintah oleh malik, amir, raja/maharaja. Lihat, As-Sayyid Dahlan, h. 50. As-Sayyid Dahlan mengutipnya dari As-Suyuthiy dalam Husn Al-Muhadharah.
[18] Salah satu sumber penting mengenai penguasaan pelabuhan-pelabuhan dagang besar di Timur, terutama India, oleh Portugis adalah karya Asy-Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz bin Zainuddin Al-Ma’bariy Al-Malibariy berjudul: Tuhfatul Mujahidin fi Ba’dhi Akhbaril Burtughaliyin, yang selesai ditulis pada 993 H/1585 M, dan diterbitkan oleh Mathba’ah At-Tarikh, Haidarabad, Dakan.
[19] Lihat antara lain, Jamal Hamdan, Istiratijiyat Al- Isti’mar wat At-Tahrir, (Kairo: Maktabah Al-Usrah, 1999), h. 64-70; A. Torayah Sharaf, h. 132-140
[20] Lihat, misalnya, H.J. Van den Berg (dkk.), Dari Panggung Peristiwa Dunia, (Jakarta: J.B. Wolters, 1950), h.117-131.
[21] Syauqiy ‘Abdul Qawiy ‘Utsman, Tijaratul Muhith Al-Hindiy fi ‘Ashris Siyadah Al-Islamiyyah 41-909 H/661-1498 M, (Kuwait: Al-Majlis Al-Wathaniy li Ats-Tsaqafah, 1990), h. 33
[22] Peralihan fonetik ini, kami duga, akibat dialek orang Eropa yang tidak mahir mengucapkan kata-kata Arab atau bahasa setempat lainnya. Fenomena ini sering terjadi, banyak nama-nama tempat yang berubah sebutannya karena pengucapan yang tidak tepat dari bangsa Eropa dan sebutan itu kemudian menjadi populer.
[23] Al-Qazwini juga menyebutkan Ramniy di laut Cina. Ini menandakan bahwa laut Cina yang dimaksudnya adalah laut selat Malaka.
[24] Zakariya bin Muhammad Al-Quzwainiy, Atsarul Bilad wa Akhbarul ‘Ibad, (Beirut: Dar Shadir), h. 29
[25] Lihat uraian kami dalam Bagian sebelum ini.
[26] E. Nugroho (pemred), Ensiklopedi Nasional Indonesia, jld. 12, h. 12-5.
[27] William Marsden, h. 306
[28] Lihat, antara lain, Nizhamuddin Ahmad Bakhsyi Al-Hirawiy, j. 3, h. 63-170.
[29] Lihat, Syauqiy ‘Abdul Qawiy, h. 132
[30] Ibid, h. 131-2
[31] Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, h. 33-4
[32] Ibid
[33] Lihat, Ibrahim Jumu’ah, Qishshatul Kitabah Al-’Arabiyyah,(Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1984), h. 63; Yahya Wahib Al-Jabburiy, h. 121.
[34] Claude Guillot (dkk.), Barus Seribu Tahun Yang Lalu, (Paris: Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, 2008), h. 49.
[35] Di sini, kami mengabaikan saja keterangan tradisi tutur, antara lain Hikayat Raja-raja Pasai, mengenai hubungan Barrus dan Samudra Pasai dalam waktu lebih awal dari waktu yang kami sebutkan (abad ke-15 atau ke-16).
[36] Mushthafa ‘Abdul Karim Al-Khathib, h. 304.
[37] Al-Mu’jam Al-Wasith, h. 574.
[38] Mushthafa ‘Abdul Karim Al-Khathib, h. 179.
[39] Ibnu Manzhur, j.5, h.371.
[40] Mushthafa ‘Abdul Karim Al-Khathib, h. 87.
[41] Ayat yang terpahat pada nisan sebelah utara (kepala) adalah ayat surat At-Taubah [9]: 129 yang maknanya:“Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.” Sementara syair AlMu’tamid bin ‘Abbad yang dimaksud adalah syair diawali: Huma mahallani.. Inskripsi syair ini lazim ditemui pada nisan-nisan tinggalan Samudra Pasai periode III.
Sumber: Dikutip dari www.misykah.com, website resmi Cisah, tayang pada 4 November 2013.
Epitaf menyebutkan nama Sultan Zainal 'Abidin bin Mahmud Rahimahullah, pada batu nisan makamnya, di Gampong Meunasah Meucat-Blangme, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. |
Kompleks pemakaman kesultanan di Gampong Meunasah Meucat-Blangme, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. |
2 Komentar
Penguasaan Portugis atas Pasai juga dapat kita lihat pada sejarah Fatahillah. Beliau meninggalkan Pasai menuju Makkah tahun 1519 ketika Portugis sudah memulai cengkeraman atas Pasai dan ketika kembali tahun 1522 mendapati bahwa Pasai sudah betul betul dikuasai Portugis sehingga beliau meneruskan perjalanan ke timur menuju Demak, menetap dan membangun pasukan di sana. Tahun 1523 Pasai diserang oleh pasukan Aceh pimpinan Maharaja Ibrahim. Portugis berhasil diusir dan penguasa lokal yang menjual Pasai ke tangan Portugis dihukum setimpal. Wallahu a'lam.