Kompleks makam keturunan Khalifah Al-Mustanshir bi-Llah di Samudra Pasai, Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Aceh Utara (Foto: CISAH) |
KETIBAAN laki-laki itu di Mas’ud Abad, sebuah kota di pinggiran Delhi, India, disambut sangat baik. Sultan Delhi sendiri yang datang menyambutnya. Keduanya kemudian tampak saling menunjukkan sikap hormat yang mendalam. Bahkan di luar kelaziman, Sultan sendiri yang menyuguhkan sirih kepada tamunya itu. “Suatu penghormatan yang tidak pernah ia lakukan kepada siapapun,” kata Ibnu Baththuthah dalam Tuhfat An-Nazhzhar yang selesai ditulis pada 3 Dzulhijjah 756 hijriah (1355 masehi).
Laki-laki itu adalah Amir Muhammad, seorang berdarah keturunan Dinasti ‘Abbasiyyah yang nama lengkapnya Amir Ghaiyyatsuddin Muhammad bin ‘Abdul Qahir bin Yusuf bin ‘Abdul ‘Aziz bin Al-Khalifah Al-Mustanshir bi-Llah Al-‘Abbasiy. Kakek Amir Muhammad, Abu Al-Qasim ‘Abdul Aziz, adalah saudara seayah Amirul Mu’minin Al-Musta’shim bi-Llah, khalifah Bani ‘Abbas yang terakhir di Baghdad, wafat pada 656 hijriah (1258 masehi).
Kedatangan Amir Muhammad ke Delhi berawal dari kabar yang sampai ke telinganya bahwa Sultan Muhammad Tughlaq (wafat 752 hijriah/1351 masehi), penguasa Delhi, adalah seorang yang sangat mencintai Bani ‘Abbas. Sebab itulah muncul minatnya untuk bernaung di bawah kesultanan Delhi. Di lain pihak, Sultan Delhi sangat gembira dengan itikad tersebut maka ia segera mengundang Amir Muhammad untuk datang. Saking suka-citanya atas kedatangan tamu besar itu, Sultan sempat mengatakan kepadanya, “Andaikan saja saya belum membai’at Khalifah Abu Al-‘Abbas, sungguh saya akan membai’at Tuan.”
Namun Amir Muhammad menjawab bahwa ia juga terikat dalam bai’at yang sama. “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda,” ujar Amir Muhammad kemudian, “barangsiapa yang menghidupkan lahan terlantar, maka lahan itu jadi miliknya. Dan Tuan telah menghidupkan kami.”
Ada getar renyuh dalam ucapan tersebut. Terkenang kembali Baghdad yang jatuh ke tangan orang-orang Mongol di tahun 656 hijriah/1258 masehi dan Khalifah Al-Mushta’shim billah yang syahid dalam peristiwa tersebut. Sebuah peristiwa yang mengakibatkan kerugian besar bagi Umat Islam, dan juga telah menyebabkan sebagian besar keturunan Bani ‘Abbas terpaksa bersuaka ke kawasan-kawasan Islam yang lain.
Sultan Muhammad Tughlaq memaklumi perasaan itu, dan lantas membalas ucapan Amir dengan sangat halus dan penuh santun.
Kisah kedatangan Amir Muhammad ke Delhi dituturkan Ibnu Baththuthah yang berada di sana pada pertengahan abad ke-14. Pengembara asal Maghribi itu bahkan mengatakan, mengenal Amir Muhammad dari dekat, dan keduanya telah menjalin hubungan yang baik.
Lebih separoh abad kemudian, di pantai utara Sumatera tersiar kabar tentang kemangkatan seorang putera dari Amir Muhammad. Namanya Abdullah. Ia meninggal dunia di Syammuthrah atau Samudra Pasai pada malam Jum’at, 23 Rajab 816 hijriah (1414 masehi), dan telah dimakamkan di tempat yang hari ini bernama Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.
Di Samudra Pasai, Amir ‘Abdullah disebut sebagai Shadrul Akabir (baca: pemuka para pembesar). Sebuah sebutan yang menyemburatkan rasa penghormatan yang tinggi. Betapa tidak, ia adalah salah seorang cucu keturunan ‘Abdullah bin Al-‘Abbas (r.a.), yang merupakan sepupu Rasulullah (saw.); sahabat yang terkenal sebagai ahli tafsir; dan juga bapak dari Bani ‘Abbas. Tidak tertutup kemungkinan, istilah Shadrul Akabir ini juga digunakan untuk menyebut pemangku sebuah jabatan tingkat atas dalam kepemerintahan Samudra Pasai.
Latar belakang kehadiran tokoh sepenting ini di Samudra Pasai belum diketahui pasti, namun penuturan Ibnu Baththuthah tentang kedatangan Amir Muhammad ke Delhi dapat memberikan suatu gambaran. Bagaimanapun, kecintaan Sultan Samudra Pasai kepada Bani ‘Abbas serta loyalitasnya kepada Khalifah ‘Abbasiyah yang ketika itu berkedudukan di Mesir, telah membawa Amir ‘Abdullah ke Kerajaan Islam yang kawasan tinggalan sejarahnya, sekarang, berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Ditambah pula dengan kondisi politik di Delhi yang tidak stabil di penghujung abad ke-14. Pada 801 hijriah (1399 masehi), Delhi dicaplok Timurlank. Hanya dalam 15 hari keberadaannya di Delhi, penguasa Samarkand yang dari pihak ibunya mengalir darah Hulagu Khan dan Gengis Khan ini, telah membuat kota pusat kebudayaan Islam di India itu menyaksikan hari-hari paling getir dalam sejarahnya. Kondisi ini, barangkali, telah ikut menjadi sebab hijrahnya Amir ‘Abdullah ke Samudra Pasai.
Pilihan ke Samudra Pasai tampaknya juga didasari beberapa pertimbangan lain. Kemashuran pusat kebudayaan Islam di kawasan India Belakang ini telah terdengar sampai jauh. Sebagai sebuah bandar di jalur perdagangan yang mahapenting di antara belahan barat dan timur Dunia, ia sudah lama menjadi tumpuan harapan kaum pedagang dan pembisnis dari mancanegara. Dan ia semakin menanjak ke puncak kemashuran ketika para sultan penguasanya tak henti berupaya membangunnya menjadi sebuah pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara. Pantas untuk tidak disangsikan jika Samudra Pasai menjadi pilihan pertama dari tokoh keturunan Khalifah Al- Mustanshir bi-Llah ini.
Makam ‘Abdullah di Gampong Kuta Krueng, Aceh Utara, yang terbuat dari batu marmer menampilkan pula simbol-simbol yang menyiratkan guratan tarikh hidupnya di Samudra Pasai. Ia telah terlibat langsung dalam pergerakan besar da’wah dan penyebaran Islam di Asia Tenggara yang dipimpin Sultan Zainal ‘Abidin, penguasa Samudra Pasai ketiga dari garis keturunan Sultan Al-Malik Ash-Shalih (wafat 696 hijriah/1297 masehi), pada paroh pertama abad ke-15. Beberapa relief kandil (lampu), yang secara khusus melambangkan penyiaran Islam, terlihat pada monumen makam yang sengaja dihadiahkan untuk mengenangnya.
Kalimat Tauhid dan inskripsi ayat Al-Qur’an yang dipetik dari surah At-Taubah: 21 tampak menonjol di antara baris-baris kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an yang lain pada makam itu. Ayat 21 surah At-Taubah menerangkan pahala dan balasan yang kelak diterima oleh orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta. Semua itu sudah barangtentu terkait peran sang pemilik makam dalam menyebarkan Islam di masa hidupnya.
Di samping sebelah timur makam marmer itu juga terlihat beberapa makam lain. Satu di antaranya, makam yang kedua nisannya juga terbuat dari marmer. Bentuknya melengkung seperti kubah, dan dipenuhi kaligrafi Arab yang indah. Makam itu adalah milik seorang puteri dari Al-Malik Al-Mu’azhzham (baca: raja yang dipertuan agung) Paduka Raja di Samudra Pasai. Nampaknya, ia seorang wanita pribumi, bernama Sitti Rahiman. Dari sisi sejarah, keterkaitannya dengan Amir ‘Abdullah belum diketemukan keterangan tegas, namun posisi makam mereka yang berdampingan memungkinkan kita untuk menebak, mungkin, ia adalah wanita yang menjadi pedamping hidup cucu Khalifah Al-Mustanshir bi-Llah ini di Samudra Pasai. Wanita yang pada nisan makamnya juga terdapat relief kandil ini pulang ke rahmatullah pada 816 hijriah, selang beberapa bulan setelah Amir ‘Abdullah wafat.
Agak ke belakang dari kedua makam ini terdapat makam yang secara pasti diketahui adalah milik putera dari Amir ‘Abdullah. Pada bagian puncak nisan sebelah kaki terdapat inskripsi berbunyi: Al-Mustanshir bi-Llah. Mungkin, untuk menandakan ia adalah keturunan Amirul Mu’minin di Baghdad. Ia telah wafat pada hari Jum’at pada 836 hijriah (1433 masehi), lima tahun setelah kemangkatan Ratu yang Dipertuan Agung di Samudra Pasai, Nahrasyiyah binti Sultan Zainal ‘Abidin.
Cukuplah dalil, kemudian, untuk menyatakan sebuah pertalian yang kuat telah terjalin di bentang hubungan antara Baghdad dan Samudra Pasai. Sebuah pertalian yang pada gilirannya semakin mengemukakan kenyataan bahwa sejarah bangsa-bangsa Islam adalah sejarah umat yang satu, tidak pernah dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. (Taqiyuddin Muhammad)
Dikutip dari www.misykah.com, wabsite resmi Cisah, tayang pada 23 Desember 2013.
Tonton juga: Pusara Cucu Khalifah di Aceh Shadrul Akabir 'Abdullah bin Muhammad Al-'Abbasiy, Wafat 816 H1413 M
0 Komentar