Kompleks jirat Putroe Geulanceing di Gampong Blang Krueng Seumideun, Peukan Baro, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
INGAT emping melinjo (Aceh: keurupuk muling), ingat Pidie. Ada juga adee Kembang Tanjong, Pidie, yang khas; bentuk dan cita rasanya—adee semacam bingkang. Ada lagi bu sie iteik masak puteih (nasi dengan lauk daging bebek gulai putih) yang lezat. Tapi itu baru secuil sekali tentang Pidie. Cerita tentang Pidie sudah tentu bukan saja cerita tentang makanannya yang bercitarasa tinggi, tapi juga tentang berbagai warisan budayanya yang tak terhitung nilai. Mutiara-mutiara warisan budaya itu masih banyak terpendam. Perlu menyelam ke dasar untuk mengangkatnya.
Mulai Caleu di Kecamatan Indra Jaya sampai Sanggeu di Kecamatan Pidie, aroma sejarah menebar kentara, menyeruak dari benda-benda tinggalan sejarahnya, yang merupakan salah satu mutiara warisan budaya. Begitulah kesannya ketika kami berkunjung ke kawasan ini pada Kamis, 23/1/2014. Berangkat dari Lhokseumawe jelang pukul 01.00 dini hari dan sampai ke Masjid Caleu, Pidie, sebentar sebelum Shubuh waktu setempat. Setelah rehat sekitar tiga jam, kami mulai merayap di kawasan.
Di kawasan ini, tepian lueng-lueng (aliran-aliran air) yang membingungkan orang asing menebak arah datang dan pergi alirannya, dan terlihat merambah ke mana-mana membentuk jaringan yang rumit, sesak dikerumuni jejeran rumah penduduk. Suatu kenyataan demografis dewasa ini, duga kami. Tapi tidak lama, dugaan ini harus segera kami buang jauh-jauh. Karena, rupanya, di bawah teduh rumpun-rumpun bambu yang tumbuh subur di tepi lueng-lueng itu, sebuah masa lalu telah menyembunyikan tapak-tapaknya. Syukur, ia bukan penyembunyi yang lihai. Tapak-tapaknya yang sempat tertangkap mata membuat kami berdecak kagum, angkat tabik.
Di Gampong Yubme dalam Kemukiman Lhok Kaju, Indra Jaya, jejak-jejak masa lalu terlihat di mana-mana. Kompleks-kompleks makam kuno dengan batu-batu nisan yang diperkirakan berasal dari abad ke-16 sampai ke- 17 berdesak-desakan memadati gampong. Bang Isa, seorang warga Yubme, memandu kami ke beberapa situs pemakaman dalam lingkungan gampongnya. Sebuah pemakaman, secara khusus, menarik perhatian. Warga setempat menyebutnya dengan jirat Teungku Matsiyah. Perihal Teungku Matsiyah ini kurang diketahui. “Orang- orang tua kami menyebutnya begitu sejak dulu, dan hanya itu saja yang dikatakan, tidak ada yang lain,” jelas Bang Isa.
Menarik perhatian lantaran beberapa nisan dalam kompleks makam yang terletak di pekarangan Meunasah (surau) Yubme ini memiliki inskripsi berbahasa Arab serta ornamen-ornamen. Singkat kata: antik! Karya-karya ini tersembunyi di bawah teduh rumpun-rumpun bambu di sekitarnya. Dan pada saat didekati, ternyata ia langsung bercerita, membongkar rahasia ketinggian daya kreatifitas para penghuni kawasan pada masa lalunya!
Matahari siang itu tak ragu-ragu menyengat kulit kami, tapi Bang Isa bukan tipe orang yang mudah takluk. Ia lantas mengajak kami untuk meninjau beberapa tempat bersejarah di gampong-gampong sekitaran. Satu per satu: mesjid tua di Lam Ujong, Kecamatan Indra Jaya; tapak kaki Poteumerhom di Gampong Raya Krueng Simideun; makam Teungku Panyang Ouk, Gampong Me Krueng Seumideun; makam Putroe Geulanceing (makam-makam dari abad ke-17), Blang Krueng Seumideun, ketiga gampong ini berada di Kecamatan Peukan Baroe; kemudian ke jirat Teungku di Paloeh, Gampong Ulee Ceu; lalu ke Mesjid Poteumerhom, Labui, yang keduanya berada di Kecamatan Pidie.
Putroe Balee
Tak terkira senang saat kami sampai ke sebuah kompleks pemakaman bersejarah di Gampong Keutapang Sanggeu dalam Kecamatan Pidie. Kompleks dikenal dengan Jirat Putroe Balee. Dua batu nisan makam setinggi bahu laki-laki dewasa tampak tegak dalam kompleks makam yang sudah dicungkup dan dipagari itu. Nisan-nisan lain berjejer di sisi baratnya. Siapa Putroe Balee? Ukiran-ukiran pada kedua nisan kuburnya memang memberi kesan, orang yang dikuburkan mestilah seorang wanita.
Tapi siapa dia sesungguhnya? Tidak ada informasi meyakinkan kecuali yang diberikan inskripsi pada nisannya. Ia rupanya seorang putri bangsawan besar di zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Namanya disebut pada batu nisan, Maryam. Ia adalah putri dari Mughayah Syah bin Munawwar Syah. Sultan Munawwar Syah yang kuburnya diketemukan di Pante Raja, Pidie Jaya, adalah ayah dan kakek dari sultan-sultan besar Aceh Darussalam. Pada batu nisan juga dicatat tarikh wafatnya di penghujung abad ke-16. Sayangnya, kalimat yang menyebut angka tahun terpenggal oleh bagian nisan yang patah dan sudah hilang; hanya menyebut: …wa tis’ina wa tis’imiatin. Jadi, tarikh yang didapatkan hanya sebatas angka 990. Berarti wafatnya antara angka tahun setelah 990 hijriah sampai 999 hijriah.
Cot Gunduek
Hati yang masih terbawa senang oleh kunjungan ke pusara Putri Maryam di Keutapang Sanggeu, menyemangatkan kami yang berfasilitas transportasi becak mesin milik Cek Abu (Husaini Usman), anggota dewan konsultan CISAH, Lhokseumawe, dan dua sepeda motor, sejak berangkat dari Lhokseumawe.
Kami melaju ke sebuah gampong di barat Kemukiman Labui, namanya Cot Gundeuk. Kini giliran Muhajir, 25, wakil ketua Komunitas Pakaian Adat Aceh di Sigli, yang memandu kami bersama Bang Isa. Sampai di depan Meunasah Cot Gunduek, mendadak ban becak bocor kena paku. Perjalanan terhenti. Meski matahari waktu itu sudah condong ke barat, kami tetap tenang. Dan ternyata memang ada hikmahnya. Pada sebatang pohon kelapa di pinggir jalan, tersandar satu batu nisan berukir indah. Inkripsinya pun masih terang. Terbaca nama seorang wanita: Shafiyyah. Almarhumah adalah putri seorang yang berlakab faqih (ahli fiqh).
Sebentar kemudian, seorang pemuda menghentikan sepeda motornya di dekat kami, menanyakan maksud keberadaan kami di situ. Setelah dijelaskan, pemuda Cot Gunduek, 23, Shalihin namanya, langsung tertarik untuk berkontribusi. Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Jabal Ghafur, Pidie, ini mengajak kami untuk meninjau beberapa lokasi situs. “Di sini ada sebuah sumur tua, mau lihat?” tanyanya.
Sumur itu berada di pekarangan rumah Pak Roni (Misroni), 43, yang sebelum dijual merupakan kebun milik seorang kerabat dari Shalihin. Saat kami sampai ke lokasi, Pak Roni kebetulan sedang di rumah. Sekeliling sumur sudah dicor beton oleh Misroni supaya terlindungi, dan ia menyisakan lubang yang bisa ditutup-buka di tengahnya. Setelah penutup dibuka, tampak cincin-cincin sumur yang terbuat dari tembikar. Mulut cincin seperti mulut guci besar, diameternya kira-kira 80 cm. Kedalaman sumur, kata Misroni, sekitar tiga meter. Airnya sangat jernih. Cincin sumur tampak sangat kuno, tapi kapan sumur itu dibuat tidak bisa diketahui pasti; boleh jadi sejak abad ke-16.
“Di sawah sana, ada satu kompleks makam,” kata Shalihin sesudah kami keluar dari pekarangan rumah Pak Roni. Batu nisan milik Shafiyyah yang dijumpai tersandar di pohon kelapa, menurut keterangan Shalihin, berasal dari kompleks makam yang di sawah itu. Kami, akhirnya, berhasil dibuat penasaran. Kompleks pemakaman yang dikelilingi tanah sawah disebut dengan Cot Kuthang. Di situ terlihat batu-batu nisan kuno yang sudah terbongkar, terguling, terbenam. Tampak sekali, benda-benda cagar budaya ini tidak pernah mendapatkan perhatian khusus semenjak ditinggal masyarakat pendukungnya.
Dari Cot Kuthang menuju kompleks lain, lalu ke kompleks makam lain sampai berjumlah puluhan. Di mana-mana terdapat kompleks makam, kondisinya sama sekali tidak terurus.
Cot Gunduek ternyata merupakan pemukiman yang sangat padat di zaman lampau, sekira abad-abad ke-16 dan ke-17. Tak seorang pun tahu cerita tentang mereka. “Kata kakek kami, kakeknya dahulu pun tidak tahu siapa yang telah dikubur di sini. Sejak mereka tinggal di sini, nisan-nisan itu sudah ada,” tutur Syarbaini, 54, Geuchik Gampong Cot Gunduek.
Tidak pula diketahui ke mana keturunan mereka pergi. Parahnya lagi, orang-orang setempat malah menduga para pemilik kubur ini ialah orang-orang teuka, yakni para pendatang, dan bukan milik para pendahulu mereka. Akibatnya, kubur-kubur itu tidak terawat, banyak yang dirusak dengan dijadikan batu asah parang, malah kononnya ada yang dijual. Siapa yang telah bermain-main dengan akal kita adalah teka-teki.
Cot Gunduek telah menampakkan hal-hal yang mencengangkan sekaligus juga mengherankan. Dan ketika kami sedang asyik merajut-rajut suatu gambaran tentang masa silam yang jauh, terdengar bacaan wahyu Ilahi mulai bergema dari masjid-masjid, tanda waktu Maghrib hampir tiba, dan sudah saatnya untuk undur diri. (Tim misykah.com)
Lihat foto-fotonya:
Batu nisan Almarhumah Shafiyah, putri seorang faqih, di Cot Gunduek, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
Nisan berornamen antik di komplek makam Teungku Matsiyah di Gampong Yubme, Indra Jaya, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
Perigi unik di Gampong Cot Gunduek, Kecamatan Pidie, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
Masjid Tua di Gampong Lam Ujong, Indra Jaya, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
Jirat Teungku Matsiyah di Gampong Yubme, Indra Jaya, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
Shalihin, Pak Roni, Bang Isa di lokasi perigi tua Cot Gunduek, Pidie. (Foto: |
Kompleks jirat Putroe Geulanceing di Gampong Blang Krueng Seumideun, Peukan Baro, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
Komplek makam kuno di Gampong Yubme, Indra Jaya, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
Jirat Putroe Balee di Keutapang Sanggeu, Kecamatan Pidie, Pidie. (Foto: Khairul Syuhada) |
Dikutip dari www.misykah.com, website resmi Cisah, tayang pada 26 Januari 2014.
Baca juga:
Sultan Bertahta di Pedalaman Pidie!|
Sultan Ma’ruf Syah, Semoga Allah Merahmatinya!
Giliran Kembang Tanjong Tunjukkan Bukti Sejarah
Menyusuri Krueng Baro Pidie, Mengamati Jejak Waktu
Tauke Bangkrut gara-gara Bisniskan Batu Nisan Bersejarah
0 Komentar