Inilah Catatan
Waktu, secara alamiah, merusak ingatan. Peristiwa demi peristiwa, kejadian demi kejadian, secara alamiah, memanipulasi dan mengubah ingatan. Menulis dan mencatat adalah cara paling umum, dan ampuh, untuk mempertahankan ingatan.
Catatan pada batu nisan yang ditemukan oleh Tuan Zulfikar Piyeung beberapa pekan lalu telah mempertahankan ingatan tentang seorang wanita yang pernah hidup ratusan tahun silam. Bahkan tidak saja tentang Almarhumah, tapi juga tetang bahasa, seni, keyakinan, dan keluhuran di masa lampau itu. Jika ditarik lebih jauh, saya yakin, catatan itu juga memberitahukan tentang sebuah alat tiup yang dikenal, dan sangat boleh jadi, lazim digunakan pada zaman itu.
Inilah catatan dari Gampong Lampupok Raya, Indrapuri, Aceh Besar, yang berasal dari sekitar akhir abad ke-10 Hijriah dan awal abad ke-11 Hijriah (ke-16 & ke-17 Masehi)!
انيله قبور فرمفون مات فد مالم اثنين يڠ ملي دڠن [د]لبهكان انكرهان الله تعالى تن شهناي نماث العز الدائم
Alih aksara:
Inilah qubur (kubur) perempuan mati pada malam Itsnain (Senin), yang mulia dengan dilebihkan anugrahan Allah Ta’ala, Tun Syahnai namanya. Al-‘Izzu-d-da’im (kemuliaan abadi).
Inskripsi dalam susunan sebagaimana terdapat pada batu nisan:
(أ. 1) مات فد مالم اثنين
(2) انيله
(3) قبور
(4) فرمفون
(ب.) يڠ ملي
(ج. 1) تعالى تن سهني (شهني ، شهناي) نماث
(2) دعن لبهكا
(3) ن انكرها
(4) ن الله
(د) العز الدائم
Komentar:
1. Kata “mati” bukan kata-kata kasar, tapi adalah kata yang umum digunakan sebagaimana kata asalnya dalam Bahasa Arab: مَاتَ atau مَاتَتْ. “Meninggal dunia”, “pulang ke Rahmatu-Llah”, “wafat”, dan lain sebagainya, pada hakikatnya, merupakan kata-kata kiasan, sekalipun belakangan dianggap sebagai kata-kata halus untuk menyebut kematian.
2. Bentuk kata nama yang tampaknya pantas untuk dibunyikan sebagai “Sahnin/Sahnain” سهنين, ternyata, lewat pengamatan yang lebih saksama adalah Sahnay سهني (di akhirnya adalah huruf ya’, bukan nun), atau sesungguhnya adalah Syahnay شهناي, kata dalam Persia yang berarti trompet perang atau alat tiup kayu bernada tinggi.
3. Huruf “dal” د pada baris kedua sisi c (ج) ditempatkan pada posisi tengah di belakang: غن (ngan) dan لبهكان (lebihka-n). Penempatan tersebut tampaknya merupakan sebuah sentuhan artistik yang cerdik sehingga huruf “dal” د dapat dibaca untuk kata: “dengan” دڠن, dan untuk kata: “dilebihkan” دلبهكان.
4. Peradaban Islam, dapat dikatakan, pada intiya, merupakan peradaban “baca-tulis”. Al-Qur’an memiliki tiga nama populer: Al-Qur’an القرآن, Al-Kitab الكتاب, dan Al-Furqan الفرقان. Dua yang pertama lebih populer: Al-Qur’an (disebutkan di 43 tempat dalam Al-Qur’an); dan Al-Kitab (disebutkan di 319 tempat dalam Al-Qur’an). Kata Al-Qur’an القرآن berasal dari kata: qara’a قرأ; membaca. Kata Al-Kitab الكتاب berasal dari kata: “kataba” كتب; menulis. Maka relevan apabila kemudian warisan terbesar yang ditinggalkan peradaban Islam adalah kepustakaan (hasil baca dan tulis). Dan, jika sejarah ditandai dengan kegiatan menulis dan mencatat, maka tidak salah lagi jika dikatakan bahwa masyarakat Islam, secara alamiahnya, adalah masyarakat sejarah. Teks atau tulisan-tulisan adalah warisan sejarah yang menyebar (berserakan) dengan tingkat kepadatan yang tinggi di bentang Aceh, tapi anehnya, perhatian masih melulu tertuju pada perburuan benda-benda bisu atau miskin teks, yang katanya, mampu bercerita banyak. Cerita apanya?!
Wa-Llahu A’lam.
Indrapuri, Ahad, 15 Muharram 1446.
Oleh Musafir Zaman
0 Komentar