Takengon dalam Catatan Sarjana Belanda Satu Abad yang Lalu

 

Pemandangan Takengon dan hulu Krueng Peusangan.
(Sumber Foto: J. Jongejans, ca. 1939)

Mendayung ke Hulu, Menyingkap Alam dan juga.. Masa Lalu

Jalan lintas Bireuen-Takengon sepanjang 103 kilometer selesai dibangun pada 1913. Sebuah jalan yang dapat dilintasi mobil dan truk, menghubungkan wilayah pesisir utara Aceh dengan dataran tinggi Gayo. Berawal dari misi kolonialisme Belanda yang semata-mata menargetkan penundukan dataran tinggi Gayo di tahun 1904, pembangunan jalan itu pada akhirnya telah membuka era baru bagi dataran tinggi yang terletak di tengah-tengah negeri Aceh ini. Kemegahan alam Tanah Gayo sejak waktu itu makin dapat disaksikan oleh banyak mata dan meninggalkan kesan yang terkekalkan dalam berbagai catatan.

“Pemandangan di Laut Tawar, danau besar Gayo itu, benar-benar indah!” tulis Kempees dalam laporannya tentang perjalanan Van Daalen ke Gayo, Alas dan Negeri Batak di tahun 1904. “Danau biru jernih dengan punggung gunung yang tinggi menurun sangat curam ke dalamnya; dataran luas Bebesen dan Kebayakan dengan kampung-kampung besar dan kecilnya, dataran sawah yang luas dan bukit-bukit berumput, di mana banyak kawanan kuda, menyajikan pemandangan yang menarik.”

Sejak jalan itu selesai dibangun, perjalanan Bireuen-Takengon hanya memerlukan waktu 3 jam dengan mobil, dan sekitar 5-6 jam dengan truk berkapasitas terbatas, sementara dengan gerobak sapi yang mengangkut barang-barang antara Bireuen-Takengon, perjalanan masih memerlukan waktu sampai 15 hari. Orang-orang Gayo yang sebelumnya mesti melalui medan-medan berat untuk datang ke wilayah pesisir membawa damar, rotan, gambir, tembakau dan debu emas yang ingin mereka tukar dengan garam, linen (kain tenun terbuat dari rami), dan barang-barang lainnya, sejak waktu itu telah memiliki jalan alternatif yang lebih mudah.

Di Kilometer 10, setelah melewati sebuah jembatan panjang di atas badan air Krueng Peusangan, pendakian menuju daerah hulu sungai itu baru dimulai. Bentang alam yang berbukit-bukit adalah tawaran yang paling banyak diajukan. Pelancong terkadang terkurung di antara dinding gunung, atau pandangannya terkadang tersekat oleh hutan yang lebat. Namun setelah memasuki Kilometer 30, pemandangan dari arah utara di belakangnya membentangkan tanah subur bak lautan hijau tua yang semakin memudar ketika di kejauhan tampak biru pucat laut menyentuh kaki langit. Segera setelah itu dataran tinggi pun dimulai.

Di ketinggian 767 meter, Kilometer 46, adalah Blang Rakal. Di dataran tinggi, “blang” disebut untuk setiap bidang dataran berumput. Berbeda dengan di dataran rendah di mana “blang” bermakna sawah yang luas.

“Orang-orang Blang Rakal dengan senang hati menyambut pengunjung yang singgah sebentar untuk menyampaikan pesan dan bertanya, atau menggunakan telepon. Anda juga bisa melihat kebun sayur di sana,” catat DR. R. Broersma dalam bukunya yang terbit Utrecht pada 1925.

Sebuah warung kopi terkenal di Blang Rakal, jalan lintas Bireuen-Gayo.
(Sumber Foto: J. Jongejans, ca. 1939)


Sarjana Belanda itu juga mengagumi pohon-pohon pinus yang tumbuh di sana.

“Luar biasa, pohon jenis konifera itu!” ungkapnya, “Pohon-pohon itu berulang kali terlihat di sini dan lebih jauh ke pedalaman. Mereka bukan cemara, tetapi pinus yang tinggi dan indah. Mereka adalah hal yang paling hebat di bentang alam ini. Di beberapa tempat, mereka membentuk hutan dengan sosok ramping, anggun, hijau.”

Sampai di Kilometer 73, puncak dataran tinggi terlihat secara penuh untuk pertama kalinya. Di sebelah selatan jalan adalah gunung Geureudong yang berketinggian 2900 meter dan Burni Telong yang berketinggian 2600 meter. Di sini, sebuah pemberhentian yang telah dikenal sejak tempo dulu adalah Lampahan. Broersma menceritakan bahwa di Lampahan, orang dapat menikmati minuman dingin atau hangat dari petani kopi, seorang Cina yang perlahan tapi pasti menjadi kaya melalui kedai kopinya dan hubungannya dengan orang-orang yang datang dan pergi.

“Di sana,” tambah Broersma, “Anda akan menemukan gerobak dan hewan penarik Aceh, yang membantu mengoperasikan transportasi antara Bireuen dan Tanah Gayo. Perjalanan bolak-balik antara Bireuen dan Takengon, mereka tempuh sejauh 105 kilometer dalam waktu tidak kurang dari 15 hari. Mereka melakukan perjalanan pada malam hari, dan pada siang hari mereka tinggal di pemberhentian. Waktu bukanlah uang di sini!”

Lereng pengunungan di sisi utara dan selatan tampak semakin dekat ketika dataran yang dilalui jalan sudah berada di Kilometer 88. Tiba kemudian di ketinggian 1485 meter, sebuah lanskap terbuka di Kilometer 95 menyajikan pemandangan danau dan sekitarnya yang 260 meter lebih rendah. Sebuah pemandangan yang menakjubkan!

Menuruni jalan yang landai ke arah di mana danau biru membetang tanpa gerak di tengah-tengah pegunungan, seseorang bisa terperangkap dalam pesona taman-taman kecil di pinggir jalan yang ditumbuhi ragam bunga. Jalan itu kemudian berhenti di tengah kampung kecil, di bawah pohon lokop. “Sebuah pohon kerajaan yang asli Tanah Gayo, dengan batangnya yang keras dan mahkotanya yang lebat. Sebuah pohon untuk menghormati rakyat,” kata Broersma.

Pemandangan Laut Tawar, Takengon.
(Sumber Foto: J. Jongejans, ca. 1939)

Tidak dapat ditampik jika jalan itu terlahir dari hasrat kolonialisme untuk mengakhiri perlawanan Muslimin di dataran tinggi Gayo terhadap Pemerintah Belanda. Tujuan pembangunannya adalah untuk keperluan militer Belanda pada awalnya. Untuk itulah misi Van Daalen ke dataran tinggi Gayo pada 1901 dan 1904.

“Ketika Komandan Van Daalen dan 200 prajuritnya menggambarkan garis besi dan darah di sepanjang negeri ini, mulai Laut Tawar sampai ujung Gayo Lues,” sebut  Zentgraaff.

Kendati demikian, jalan itu juga telah menciptakan kondisi yang menguntungkan setelah menjadi lintasan untuk umum. Tanah Gayo semakin memperoleh tempatnya dalam perhatian banyak orang di Dunia. Kemegahan alamnya dapat disaksikan oleh banyak mata. Kejeniusan budaya dan peradaban masyarakat penghuninya terakui dan telah didudukkan bersejajar dengan budaya dan peradaban bangsa lain.   

“Danau yang memiliki ketinggian lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut, panjangnya 16 kilometer, lebar terbesarnya adalah 5 kilometer, adalah daya tarik Takengon yang luar biasa,” catat Broersma.

Dari deskripsi lebih lanjut yang diberikan Broersma tentang Takengon, dapat dibayangkan bagaimana keindahan dan kedamaian di daerah hulu Krueng Peusangan ini telah ditakdirkan sebagai anugerah yang kekal sampai dengan hari ini.

“Ada jalan di sepanjang danau,” tutur Broersma hampir seabad yang lalu. “Jalan itu memotong ke lereng gunung, dan di sana-sini terdapat desa-desa kecil. Penduduknya memancing dan memiliki sawah di tepi sungai yang mengalirkan air ke Laut Tawar. Di sisi barat danau, air mengalir ke Sungai Peusangan. Anda bisa mendayung di sana. Perjalanan dengan perahu motor papan bukanlah salah satu kesenangan yang tidak dapat dicapai. Tetapi, kemewahan yang dapat diakses dari setiap sisi adalah pemandangan permukaan air dalam kemegahannya yang tenang dengan nuansa yang berubah-ubah.”

Aliran Krueng Peusangan di dataran tinggi Gayo.
(Sumber Foto: J. Jongejans, ca. 1939)


Dengan melakukan perjalanan sekitar Takengon, kenikmatan visual dapat direguk secara memuaskan. Pemandangannya bervariasi dan menarik. Blang dan padang rerumputan dengan kehijauannya yang halus, ladang, kebun, aliran-aliran air yang jernih menuruni tebing-tebing untuk kemudian memancur di tepi-tepi jalan, serta berbagai aktifitas masyarakat yang berkerja di tengah kemegahan alam yang dihangatkan oleh sinar matahari dan disejukkan oleh angin sepoi-sepoi.

“Sungguh, Aceh diberkati dengan permukiman sehat di daerah pedalamannya ini!” tulis Broersma kemudian.

Sumber:

Broersma, R., Atjeh, Als Land voor Handel En Bedrijf, Utrecht: 1925.

Jongejans, J., Land en Volk van Atjeh, Vroeger en Nu, Baarn : Hollandia, [ca. 1939].

Kempees, J.C.J., De Tocht van Overste Van Daalen door de Gajo-,Alas-En Bataklanden, Amsterdam: 1904.

Zentgraaff, H.C. & Goudoever, W.A. van, Sumatraantjes, Reisbrieven van H. C. Zentgraaff en W. A.van Goudoever, "De Java-bode": 1936.

Oleh: Musafir Zaman

Posting Komentar

0 Komentar