Nasehat bagi para Penguasa (Rampaian Hikmah pada Batu Nisan)

Kompleks makam di Gampong Baroe,
Kecamatan Meraxa, Banda Aceh.

Nasehat bagi para Penguasa (Rampaian Hikmah pada Batu Nisan)

Kehendak Tuhan Yang Maha Tinggi, kedua batu nisan yang dipublikasi di sini ditemukan dalam musim politik di Aceh. Musim mana, biasanya, kita "dihibur" berbagai adegan jenaka dan pernyataan rendah nilai yang mengundang tawa (kelucuan yang menyedihkan!). Semua itu seperti dibingkai Budayawan Aceh, Iskandar Bin Ishak: "haba-haba keu peumangat kupi". Musim mana cita rasa kopi diperkaya "nikmatnya" pergunjingan politik. Sementara durasi ngopi diperpanjang dan jadwalnya tambah rapat karena "rasa nikmat"-nya yang bertambah, tidak ada persoalan-persoalan esensial tentang “nasib” yang mengemuka untuk dibincangkan!

Adegan yang baru saja dipertunjukkan dari atas sebuah panggung politik menyentakkan kita untuk melihat kerenggangan (jurang lebar) di bawah permukaan antara tokoh penguasa (bakal penguasa) dan tokoh Agama (ulama). Kerenggangan yang sama sekali tidak mungkin tidak berdampak pada perbedaan orientasi. Di satu sisi, keterbata-bataan sampai pada tingkat baca Juz 'Amma adalah hal yang lebih dari sekadar terang untuk memperlihatkan bagaimana bentuk hubungan seseorang dengan sumber nilai tertinggi dalam masyarakat Aceh. Di sisi yang lain, sumber nilai tertinggi itu merupakan (seharusnya) arah konsentrasi tokoh Agama (ulama). Terlalu buta, kiranya, apabila keterbata-bataan yang menyakiti batin Aceh dan juga sejarahnya, yang ditunjukkan oleh satu pihak terhadap apa yang merupakan bagian kompetensi pihak lain, tidak terlihat sebagai suatu jurang pemisah antara satu dan lainnya; satunya di satu lembah dan lainnya di lembah yang lain!

Namun, hanya berselang beberapa waktu kemudian, tiba berita duka mengejutkan! Allah Ta'ala memanggil ke sisi-Nya hamba yang paling dekat dengan Kitab-Nya, dan memanjangkan umur yang paling jauh. Mata seketika menatap ke langit, berharap jawab jika itu suatu pertanda, pertanda apakah?

Apakah masih sebegitu jauhnya perjalanan Aceh untuk kembali ke orbit yang telah lama ditinggalkan?

Sementara pertanyaan itu mengusik batin, Ketua Mapesa, Tuan Mizuar Mahdi, menyampaikan suatu hal luar biasa menyangkut batu nisan dan kompleks makam yang baru saja ditemukannya. Dia dan Tuan Masykur Syafruddin, katanya, telah berhasil menginterpretasikan inskripsi membunyikan nama Almarhum yang dikuburkan. Namanya, Nashihatu-l-Muluk. Bunyi inskripsi selengkapnya:

هذا نسان نصيحة الملوك

"Inilah nisan Nashihatu-l-Muluk."


Menyangkut bunyi inskripsi ini, Tuan Mizuar dan Tuan Masykur tidak ragu lagi.

Saya sendiri masih mempertimbangkan, apakah masuk akal seseorang dinamai (digelar) dengan Nashihatu-l-Muluk, yang berarti nasehat bagi para raja?

Sementara saya mempertimbangkan, informasi pesawat dengan nomor penerbangan GA-142 yang sudah terbang di atas Meulaboh juga disampaikan oleh Ketua Mapesa! Semoga Allah senantiasa membasahi kubur Almarhum dengan Kasih-Sayang dan Ampunan-Nya, dan Menempatkannya kelak dalam Jannatu-l-Firdaus.

Pertanyaan tentang Aceh seperti di atas dan ragam informasi berputar dalam pikiran, mebangkitkan gelombang yang menimbultenggelamkan satu pokok pikiran setelah lainnya. Dalam keadaan nanar, saya berharap semoga selalu berada di antara orang-orang yang mendengarkan nasehat, dan kematian adalah pengingat dan pemberi nasehat terbaik.

Tuan Mizuar Mahdi meminta saya untuk menyelidiki inskripsi pada dua batu nisan kubur yang ditemukannya di Gampong Baroe, Kecamatan Meuraksa, Kota Banda Aceh. Mapesa mensponsori penyelidikan dan publikasi. Terima kasih atas kepercayaan dan dukungan tersebut.

Penyelidikan tersebut, dengan pertolongan Allah Jalla wa ‘Ala, berhasil “menyungkit” teks-teks yang dikenal dengan istilah Ar-Raqa'iq dari kedua batu nisan. Ar-Raqa'iqadalah ungkapan-ungkapan bertujuan menghaluskan jiwa, melembutkan hati, menyadarkan akan kesemuan dunia, dan mengajak untuk mencari keridhaan Allah serta kasih-sayang-Nya.

Pekerjaan saya, sebenarnya, dapat saja dibatasi pada hanya mengemukakan teks-teks tersebut, memberikan arti (terjemahan), lalu pergi! Tapi dengan begitu, teks-teks itu juga akan hanya dibaca sepintas lalu—ini pun sudah kemungkinan terbaik yang dibayangkan dengan itikad paling baik! Kemudian, ditinggalkan seperti layaknya kalimat-kalimat yang tak layak dimonumenkan.

Pertimbangan tersebut menekan batin untuk menyorot inskripsi pada kedua batu nisan dengan sinar yang lebih terang, berupaya menangkap apapun yang terlihat nyata atau tidak nyata di sana, dan untuk menemukan apa yang sengaja diberitahukan dan apa yang tidak sengaja diberitahukan.

Namun demikian, tentu, sangat dimaklumi jika hasil tangkapan tersebut akan berada jauh di luar daya terima masyarakat umum atau, bahkan, khusus. Sistem pendidikan dan kebudayaan yang dijalankan di Provinsi ini tampak sama sekali belum mampu memulihkan “perangkat penerima” jenis informasi yang seperti dalam uraian nantinya. Dalam dekade-dekade 60-an sampai 80-an abad silam, “perangkat penerima” yang sesungguhnya terbentuk dalam ratusan tahun Aceh itu masih tampak berfungsi, bahkan relatif masih menonjol sebagai salah satu keistimewaan daerah yang digelar “Serambi Makkah”. Tapi, sekarang, tidak!

Hanya saja, Mapesa telah berkomitmen untuk lanjut belajar sambil meningkatkan taraf pengetahuan masyarakat. Langkah awalnya mesti dimulai dari menyadari dan menyadarkan hal-hal yang tidak diketahui dan hal-hal rumit dalam sejarah Aceh. Suatu kemajuan, tentunya, akan sangat tergantung pada sejauh mana kemampuan menanggung kerumitan dan kesulitan.

Menyejarahkan bukan semudah mendongeng atau berhikayat—keduanya, malah, juga tidak mudah jika ditujukan untuk mendidik dan menyebarkan ide-ide.

Kehidupan tidak seacak mimpi dan tidak selemah daya imajinasi. Kehidupan memiliki hukum-hukum yang diletakkan oleh Maha Penciptanya, dan meskipun pengetahuan manusia terlalu sedikit tentangnya, menyejarahkan mesti memperhitungkan hukum-hukum tersebut.

Hakikatnya, pekerjaan menyejarahkan sama beratnya dengan menarik sesuatu dari kegelapan. Tanpa alat penyinar yang kuat, memulainya saja sudah mustahil. Kerumitan pekerjaan justru tergambarkan dalam kepentingan sejarah yang seperti diriwayatkan As-Sakhawiy (w. 902 H/1497 M) dalam Al-I’lan:

من ورخ مؤمنا فكأنما أحياه

“Barangsiapa yang menulis sejarah seorang mu’min, maka seolah-olah dia telah menghidupkannya kembali.”

Menyejarahkan sampai ke tingkat “seolah-olah menghidupkannya kembali” (rekonstruksi sejarah) adalah pekerjaan yang bukan main rumit. Ada puluhan jenis kerja untuk membawa peristiwa masa lalu dan orang-orangnya seolah-olah hidup kembali. Tidak terhitung jumlah sumber daya rekonstruksi sejarah yang mesti ditangani, dan diperah darinya informasi-informasi valid, sehingga sejarah pada akhirnya layak menjadi sumber pelajaran bagi masyarakat, bangsa dan manusia.

Pekerjaan yang menghasilkan bacaan di hadapan Tuan sekarang hanya sebuah pekerjaan di antara sekian pekerjaan tak terjumlahkan dalam rangka rekosntruksi sejarah Aceh!

Bunyi Inskripsi

Berikut ini adalah hasil bacaan inskripsi yang terdapat pada kedua batu nisan:

(1)

أ. 1. لا إِلهَ إِلَّا الله

2. لا إله إلا ا

3. لله لا إله إ

4. لا الله مُحَمَّدٌ رَ

5. سُوْلُ الله (االا)

6. بِلَا شَكٍّ بِالْوَارِثِ أَلَا إِنَّمَا الدُّنْيَا كَمَنْزِلِ رَاكِبٍ تَرَاهُ

ب. 1. إِنْ كَانَ نَعِيْمًا

وَالْمَوْتُ لَا شَكَّ نَازِلٌ

المَوْتُ بَابٌ—دَا—

وَ كُلُّ النَّاسِ (—دَا—) [خِـ] لُهُ

2. شَهِدْتُ بِأَنَّ اللهَ لَا رَبَّ غَيْرُهُ وَأَنَّ

ج. 1. لا إله إلا [الله]

2. أَلَا كُلُّ شَيءٍ

مَا خَلاَ اللهَ

بَاطِلٌ وَ –لَةَ—

كُلُّ نَعِيْمٍ

لَا مُحَا (–لَةَ—) زَ

ائِلٌ سِوَى جَنَّةِ

الْفِرْدَوْسِ

3. عَلَى شَفِيْعِ الْمُذْنِبِينَ مُحَمَّدٍ أَلَمْ تَرَ أَنَّ [ا]للهَ [أَ]رْسَلَ عَبْدَهُ بِبُرْهَانِهِ [وَ] [ا]للهُ

د. 1. إِنْ كَانَ نَعِيْمًا

وَالْمَوْتُ لَا شَكَّ نَازِلٌ

المَوْتُ بَابٌ—دَا—

وَ كُلُّ النَّاسِ (—دَا—) [خِـ] لُهُ

2. وَأَمْجَدُ وَأَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتِمٌ مِنَ اللهِ

1. Batu nisan kepala

(2)

أ. 1. لا إله إلا الله

2. مَضَى الدَّهْرُ وَالْأَ (—يَّامُ—)

وَالذَّ—يَّامُ—نْبُ حَاصِلٌ

[وَ] أَنْتَ بِمَا تَهْوَى—لا (؟)

عَنِ الْحَقِّ غَافِلٌ وَ

نَعِيْمُكَ

3. تَزَوَّدْ مِنَ الدُّنْيَا فَإِنَّكَ رَ(–ا— )حِلُ وَاعْلَمْ –ا— أَنَّ بِالْمَوْتِ

ب. 1. فِي الدُّنْيَا

غُرُوْرٌ

وَحَسْرَةٌ

وَحِرْصُكَ –ا—

فِي (–ا—)لدُّنْيَا

مُحَالٌ وَ

بَا –ب (؟)—طِلٌ

2. مَشْهُوْرٌ—حُ—يَلُوْ(—حُ—) وَيُشْهَدُ وَضَمَّ إِلَهٌ (الإِلَهُ) اسْمَ النَّبِيِّ

ج. 1. هَذَ[ا] نِسَانُ نَصِيْحَةِ الْمُلُوْكِ

2. عَجِبْتُ لِطَالِبِ الدُّنْيَا وَ

الْمَوْتُ يَطْلُوب (كذا ؛ يَطْلُبُهُ(

وَعَجِبْتُ لِمَنْ بَنَى

الْقُصُوْرَ وَالْقَبْرُ

مَنْزِلُو (كذا ؛ مَنْزِلُهُ) خُلِقْتَ

3. صُبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا صُبَّتْ عَلَى الْأَيَّامَ صِرْنَ لَيَالِيَا

د. 1. مِنَ التُّرَابِ

وَالتُّرَابُ

عَدُوُّ

مَوْتٍ ا

لمَوْتُ بَا[بٌ]

وَكُلُّ النَّاسِ

دَاخِلُو (كذا ؛ دَاخِلُهُ)

2. إِلَى اسْمِهِ—ذِّ—[إِ]ذَا قَالَ فِي الْخَمْسِ الْمُؤَ(—ذِّ—)نُ أَشْهَدُ

1. Batu nisan kaki.

Catatan Umum

Sebelum mengomentari bunyi inskripsi, bahkan sebelum menerjemahkannya, beberapa catatan umum akan diturunkan terlebih dahulu:

1. Kedua batu nisan merupakan penanda kubur kedua paling barat dalam kompleks makam di Gampong Baroe, Kecamatan Meuraxa (Meura'sa), Kota Banda Aceh, yang berada pada keletakan astronomi 5°32'42.23" Lintang Utara dan 95°17'52.14" Bujur Timur. Secara geografis, kompleks makam lebih dekat ke Krueng Neng yang mengalir di barat dayanya. Karena masih dalam kawasan pesisir barat Banda Aceh, kompleks makam terkena dampak tsunami 2004. Keberadaan kompleks makam sudah diketahui sejak lama oleh Tuan Mizuar Mahdi, namun pemeriksaan lebih saksama baru sempat dilakukan pada beberapa pekan lewat. Kegiatan Meuseuraya Mapesa di kompleks makam ini telah dilakukan sebelum beberapa pekan lewat.

2. Kompleks makam berfitur gundukan dengan ketinggian lebih dari 1 meter dari permukaan sekitarnya. Ukuran luas gundukan juga tampak menonjol. Setelah pembersihan dan penataan dilakukan Masyarakat, jejeran batu nisan di atas gundukan meperlihatkan keberasalan rata-rata batu nisan dari sekitar abad ke-11 dan ke- 12 Hijriah (ke-17 dan ke-18 Masehi). Dua batu nisan untuk kubur kedua paling barat yang menjadi sorotan, meskipun secara umum masih memperlihatkan bentuk berasal dari periode kebatunisanan abad ke-10 Hijriah (ke-16 Masehi), tapi pengamatan lebih dekat mampu menggiring kita untuk mempercayai bahwa keduanya dihasilkan lewat proses eksekusi yang berbeda dari abad ke-10 Hijriah (ke-16 Masehi). Bentuk, bahkan bahan batu nisan, mengesankan ke-Meura'sa-an yang muncul dalam periode relatif kemudian. Hal ini tambah diperjelas oleh pola hias flora berciri abad ke-12 Hijriah (ke-18 Masehi), terutama, karena relief sulur-sulurannya yang beralur (berlekuk). Faktor terakhir ini menempatkan kedua batu nisan dalam periode kebatunisanan, paling awalnya, sekitar penghujung abad ke-11 Hijriah (ke-17 Masehi). Ini memungkinkan kita untuk berspekulasi bahwa zaman pemerintahan Sultanah Shafiyyatu-d-Din adalah zaman yang dihidupi Almarhum, dan waktu meninggalnya, agaknya, juga berhampiran dengan waktu wafat tokoh terkenal, Syaikh 'Abdu-r-Ra'uf Al-Fanshuriy. Namun untuk abad di mana penelitian mampu membuktikkan penurunan drastis jumlah inskripsi (data epigrafi) yang ditemukan pada batu-batu nisan, kedua batu nisan ini, dengan inskripsinya yang padat, menampilkan suatu hal yang sesungguhnya langka. Menyangkut penurunan tersebut, kedua batu nisan tampak memberitahukan sesuatu! Namun, pembicaraan menyangkut hal tersebut mesti diundur ke lain waktu. Semoga Allah Ta'ala Memudahkan!

3. Saat pemeriksaan pertama, hanya batu nisan sebelah kaki kubur yang dijumpai tegak dan utuh. Pangkal batu nisan sebelah kepala yang ditemukan dalam waktu yang sama segera mengundang tanya tentang kemana “perginya” bagian yang lain? Pemeriksaan sekitar gundukan, yang tidak sampai “sepeminum kopi”, segera memberikan jawaban. Bagian patah dari batu nisan tersebut ditemukan di tenggara gundukan, bersama batu-batu nisan lain yang lepas dari tempatnya. Letak dan kondisi saat ditemukan mengunggulkan hipotesis perpindahan akibat gelombang tsunami 2004. Bagian yang patah kemudian dikembalikan ke tempat asal dan direstorasi dalam kegiatan Meuseuraya diselenggarakan Mapesa.

4. Kedua batu nisan memiliki bangun seperti umumnya bangun batu nisan asli Sumatra-Pasai dan Aceh Darussalam yang terdiri dari empat bagian: puncak (mahkota); batang (sebutan ini diambil dari inskripsi pada batu nisan); alas (dasar), yang terkadang lebih gampang disebut dengan pinggang karena tampak seperti itu; dan pancang (penyokong alas di dalam tanah). Sementara batu penutup badan kubur lazim disebut oelh masyarakat Aceh dengan batu badan. Ketiga bagian di atas permukaan tanah memiliki empat sisi: muka (utara), belakang (selatan), kiri (timur) dan kanan (barat)—perlu diingat, tidak semua batu nisan Aceh Darussalam memiliki 4 sisi. Pembacaan inskripsi di setiap sisi diurut dari puncak, batang, dan terakhir, alas. Untuk setiap kubur yang ditandai dengan batu nisan kepala (1/utara) dan batu nisan kaki (2/selatan), pembacaan dimulai dari sisi muka (utara) batu nisan kepala (أ/a. 1, 2, dst.), dilanjutkan ke sisi kiri (timur) sesuai arah penulisan Arab (ب/b. 1, 2, dst.), lalu ke sisi belakang (selatan) batu nisan (ج/c. 1, 2, dst.) dan terakhir sisi kanan (barat) batu nisan (د/d. 1, 2, dst.). Pembacaan inskripsi pada batu nisan kaki juga dengan mengikuti aturan yang sama; dari sisi mukanya (utara), ke kiri (timur), belakang (selatan), dan kanan (barat). Bunyi inskripsi disusun mengikuti sistem urut seperti yang dijelaskan.

5. Khath (kaligrafi) yang digunakan, walaupun secara umum masih mengadopsi bentuk standar huruf-huruf khath tsulust, namun kesan dari pengilhaman lingkungan alam tropis tampak mencuat, terutama pada khath di setiap sisi bagian alas (dasar; pinggang). Khath di bagian ini seperti mewakili gambaran alam yang tumbuh liar dengan keberaturannya yang alami. Khath di bagian batang, hanya yang di sisi muka (utara) batu nisan kepala yang mengikuti model umum batu nisan asli Sumatra-Pasai dan Aceh Darussalam di mana khath ditempatkan dalam panel-panel. Dalam pembacaan inskripsi, panel-panel menjadi pembatas baris-baris teks inskripsi. Sementara di semua sisi lainnya, khath tampak berjejal dalam ruang persegi yang dikurung relief bingkai memanjang. Kecuali sisi timur dan barat batu nisan kaki, pola urut khath sama sekali tidak membentuk baris sejajar. Malah, sebaliknya, pola urut tampak seperti mengikut bentuk-bentuk geometris semisal segi tiga dan jajar genjang. Pola urut seperti itu, di samping beberapa huruf yang juga disebar agak acak (terasing dari rangkaian huruf pembentuk kata), menampilkan kesan sebagaimana benda-benda yang dipadatkan dalam wadah transparan semacam balang. Pola urut seperti ini sangat menguji kemampuan pembacaan dan interpretasi. Meskipun teks inskripsi terkadang dikenali dengan mudah, tapi untuk mempertanggungjawabkan keakuratan bacaan, diperlukan kecermatan ekstra, dan juga waktu yang lebih panjang. Saya telah menunda penyelidikan inskripsi-inskripsi dengan tingkat kesulitan yang kurang-lebih seperti ini oleh karena keterbatasan modal untuk membeli waktu!

6. Khath semi-formal (yakni, khath yang tidak konsisten dengan kaidah-kaidah baku khath Arab ciptaan Ibnu Muqlah [w. 328 H/939 M]) yang dibentuk dengan gaya menginspirasi lingkungan hidup di sekitar seniman, ditambah dengan pola urut yang sama-sama memperlihatkan pemanfaatan ruang kebebasan cukup memuaskan manusia normal, semua itu, setidaknya, membuktikan dua hal: pertama, fleksibilitas khath Arab, yang disepakati sebagai keunggulan utamanya; kedua, karya maestro yang memiliki otoritas penuh dalam penciptaan seni khath Arab. Dua objek dalam karya ini yang benar-benar membuat heran—sekaligus menambah pelik urusan saya—adalah bentuk huruf kaf (ك) di akhir kata; dan bentuk huruf waw bersambung (ـو), yang menurut hemat sang maestro, jika diberikan posisi sedikit berbeda, akan identik dengan huruf ha' (ـه) dalam gaya tsulusts!

7. Tidak hanya khath. Konsep teks inskripsi rupanya juga berasal dari seorang tokoh kompeten lain, apabila bukan tokoh yang sama yang memimpin proyek pengerjaan kedua batu nisan. Entah karena ini merupakan inskripsi-inskripsi yang dibuat di periode kebatunisanan yang terkemudian atau karena sebab lainnya, sehingga konseptor merampai penggalan dari ragam teks yang populer. Terkadang, penggalan yang dinukilkan merangkum substansi penting dalam sebuah sajak (qashidah). Terkadang, penggalan diikuti isyarat untuk melanjutkan ke sumbernya—tanpa pembeberan sumber, tentunya! Terkadang, penggalan tampak menyiratkan kaitan tertentu dengan Almarhum. Satu-satunya teks yang lebih lengkap adalah bait-bait puisi Penyair Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam, Hassan bin Tsabit Radhiya-Llahu 'anhu. Dalam pengalaman saya, ini adalah satu-satunya kubur di mana bait-bait sajak itu ditemukan pada kedua batu nisannya, dan ini adalah kali pertama. Namun demikian, bait-bait sajak itu tidak semuanya ditempatkan dalam posisi urut. Malah, sebagiannya ditempatkan di batu nisan kepala, dan sebagian yang lain justru ditemukan pada batu nisan kaki dengan posisi yang disela penggalan-penggalan lain. Apakah pemenggalan dan penyelaan seperti itu disengaja untuk menguji kemampuan pembaca/pengamat inskripsi, atau bukan? Yang jelas, saya seperti sedang menjalani sebuah tes yang mengingatkan pengujian (imtihan/ikhtibar) dihadapi para periwayat hadits. Atau, konseptor sebenarnya hanya ingin menyinggung teks-teks hikmah yang sudah biasa dan populer pada masa itu untuk mengingatkan. Sehingga, apa yang saya duga “hari ini” tak ubahnya pengujian, hakikatnya, hanya merupakan rampaian hikmah yang di masa lampau disampaikan lewat seni kebatunisanan.

8. Kerumitan teks inskripsi sebagai disinggung dalam catatan sebelum ini hanya semakin menguatkan kenyataan bahwa kesenian khath Arab di Aceh tidak saja ditujukan untuk memamerkan keindahan yang dapat dinikmati, tapi juga mengajak asah otak, melatih pikiran dan belajar sabar untuk mencapai sesuatu, bahkan segala sesuatu, apalagi ilmu pengetahuan. Sulit dibayangkan, memang, ketika di tempat yang, biasanya, mengundang kesenduan, dan terbaik untuk merasakan ujung dunia dan akhir kehidupan, pikiran justru digerakkan sedemikian rupa; tidak diinginkan untuk berhenti dan membeku, apalagi menyerah pada kesedihan. Di tempat ini, pikiran segera ditarik untuk memperhatikan bentuk-bentuk indah—atau, barangkali, ungkapan lebih tepat dalam masa kita sekarang: “bentuk-bentuk aneh”. Tujuannya, mungkin, untuk “menggelitik” pikiran, atau untuk menghambat luapan emosi yang menghentikan pikiran. Sebab, di tempat seperti inilah, kehadiran pikiran diperlukan untuk lebih dapat mencerna hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Makin dekat kepada penanda kematian (batu nisan), pikiran makin dialihkan kepada pencarian makna. Kesenian khath Arab dan hiasan pada batu nisan Aceh, karenanya, bukan saja memamerkan keindahan atau “keanehan” yang atraktif, hidup, serta memulihkan (terapeutik), tapi lebih dari itu, berupaya untuk tetap menyalakan pikiran walau dalam keadaan sesendu apapun.

Bunyi Inskripsi dan Komentar-komentar

Berikut, bunyi inskripsi serta komentar-komentar terkaitnya.

1. Batu nisan kepala, sisi muka (utara).

(1. أ/a. 1 (puncak); 2-5 (batang); 6 (alas/dasar).

(1)

أ. 1. لا إِلهَ إِلَّا الله

2. لا إله إلا ا

3. لله لا إله إ

4. لا الله مُحَمَّدٌ رَ

5. سُوْلُ الله (االا)

6. بِلَا شَكٍّ بِالْوَارِثِ أَلَا إِنَّمَا الدُّنْيَا كَمَنْزِلِ رَاكِبٍ تَرَاهُ

Kalimat Tauhid menempati puncak batu nisan di sisi ini; di bagian tertinggi dan mahkotanya. Adab wajib semisal ini selalu dipraktikkan dan ditunjukkan oleh para pendahulu. Selain di sisi ini, Kalimat Tauhid juga menempati puncak sisi belakang (selatan) dari batu nisan yang sama, dan sisi muka (utara) batu nisan sebelah kaki.

Pada bagian batang batu nisan, hanya sisi muka (utara) yang terisi dengan Kalimat Tauhid dan pengakuan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Penempatan Kalimat Tauhid pada puncak dan permulaan sebelum lainnya, dengan terang, menunjukkan penekanan bahwa Kalimat inilah yang paling pokok dan di atas yang lain.

Kalimat Tauhid yang terulang sampai tiga kali dan pengakuan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, sepertinya, bersambung dengan kalimat yang terdapat pada alas/dasar batu nisan sehingga bunyinya demikian:

لا إِلهَ إِلَّا الله، لا إِلهَ إِلَّا الله، لا إِلهَ إِلَّا الله، مُحَمَّدٌ رسُوْلُ الله، بِلَا شَكٍّ بِالْوَارِثِ أَلَا إِنَّمَا الدُّنْيَا كَمَنْزِلِ رَاكِبٍ تَرَاهُ.

Ucapan seperti ini memaknakan bahwa keimanan terhadap “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya” itu adalah disertai dengan keyakinan tanpa ragu terhadap "pewaris".

Dalam pemahatan kalimat ini, seniman untuk pertama kalinya memperlihatkan huruf kaf-nya (ك) yang unik. Beberapa kaf lain yang ditemukan seperti ini pada inskripsi berikutnya memberitahukan kita bahwa dia hanya mengukir kaf seperti itu untuk kafdi akhir kata, tidak kaf di awal atau tengah kata. Kaf dengan tubuh membungkuk atau condong ke depan menyerupai huruf dal (د) dan berkepala sulur dengan julai mengarah ke bawah, pada awalnya, hanya memberikan pilihan bagi saya untuk mengenalnya sebagai ya' (ي). Lalu dengan gigi-gigi yang menonjol di belakangnya, rasanya, akan masuk akal jika saya membacanya sebagai شيء (artinya: sesuatu). Setelah mencoba meyakinkan diri dengan kebenaran interpretasi tersebut, kata-kata atau huruf-huruf di depannya ternyata terkunci sama sekali. Dengan mengabaikan kata-kata yang tidak teridentifikasi itu untuk sementara waktu, kalimat setelahnya sedikit demi sedikit terang. Kalimat itu, rupanya, pangkal dari sebuah bait sajak terkenal, yang sudah pernah ditemukan.

أَلَا إِنَّمَا الدُّنْيَا كَمَنْزِلِ رَاكِبٍ...

Dengan terang dan pastinya pangkal bait itu, semakin tambah membingungkan kata-kata sebelumnya, sebab sepertinya tidak akan ada kata yang langsung diakhiri huruf waw(و) sementara alif-lam (ال) baru saja di belakangnya (الو).

Dengan membawa harap-harap cemas dalam dada, saya pergi mencari teks lengkap sajak yang pangkal baitnya terukir di batu nisan. Teks tersebut ditemukan dalam Al-Bidayah wa-n-Nihayah karya Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M) dan Qashru-l-Amalkarya Ibnu Abi-d-Dunya (w. 281 H/894 M) dengan sedikit perbedaan.

Teks Ibnu Katsir:

ألا تَرَى أنَّما الدنيا وزينتها … كمَنْزِلِ الرَّكْبِ حَلُّوا ثُمَّتَ ارتحلوا

“Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya dunia dan perhiasannya itu laksana tempat singgah dan berangkatnya kafilah?”

Ini adalah salah satu bait dari sajak, yang menurut informasi diterima Ibnu Katsir, diucapkan 'Amru bin 'Ubaid (w. 143 H/761 M) saat menasehati Al-Manshur (w. 158 H/775 M). Sementara Ibnu Abi-Dunya menyandarkan sajak tersebut kepada Ibnu Abi 'Amrah (w. antara 101 dan 110 H).

Sementara bunyi inskripsi ialah:

أَلَا إِنَّمَا الدُّنْيَا كَمَنْزِلِ رَاكِبٍ تَرَاهُ

“Sesungguhnya dunia ini seperti tempat singgah penunggang, yang kamu lihat.”

Bunyi inskripsi terkesan seperti menjawab atau menegaskan makna yang terkandung dalam bait sajak. Konseptor teks inskripsi mengetahui persis sajak dan bait tersebut, dan menjawabnya. Ini, tentunya, suatu hal yang lebih istimewa daripada menukilkan teks bait secara harfiah.

Dalam pada itu, saya membaca bait lain dari sajak tersebut.

Teks Ibnu Katsir:

والمرءُ يسعى بما يسعى لوارِثِهِ … والقبرُ وارثُ ما يَسْعَى له الرجل

“Seseorang berjuang untuk apa yang diperjuangkannya demi ahli warisnya, sementara kuburan adalah pewaris dari apa yang diperjuangkannya.”

Teks Ibnu Abi-d-Dunya:

الْمَرْءُ يَشْقَى بِمَا يَسْعَى لِوَارِثِهِ ... وَالْقَبْرُ وَارِثُ مَا يَسْعَى لَهُ الرَّجُلُ

“Seseorang menjadi sengsara karena apa yang diperjuangkannya bagi ahli warisnya, sementara kuburan adalah pewaris dari apa yang diperjuangkannya.”

Kata الوارث tampaknya adalah kata yang paling memungkinkan untuk huruf-huruf membingungkan pada inskripsi. Setelah melakukan pemeriksaan, rupanya, tidak ada huruf yang tersisa (lebih) dengan membacanya: بالوارث. Hanya urut huruf-huruf dari kata لوارث yang ditukar balik, sehingga susunannya menjadi ث ر ا لو.

Dengan posisi huruf terbalik, tampaknya, mustahil kata itu dapat terbaca dengan benar, di samping kalimat sebelumnya tidak membantu dan juga tidak memberikan petunjuk. Satu-satunya petunjuk yang mengarahkan pada pemeriksaan teks sajak yang lengkap adalah perapatan huruf لو ke dalam huruf lam ألا, hingga tampak terkait seperti halnya satu kata. Dengan pemeriksaan teks sajak lengkap, kata sekaligus maknanya ditemukan.

Setelah huruf kaf unik milik maestro teridentifikasi, inskripsi terbaca dengan terang:

بِلَا شَكٍّ بِالْوَارِثِ

"Dengan tanpa keraguan terhadap pewaris."

Baris-baris inskripsi, dengan demikian, mengungkapkan pernyataan ketauhidan dan keimanan yang disertai keyakinan bahwa amal-lah yang sesungguhnya akan menyertai seseorang ke dalam kubur. Amal adalah warisan seseorang, pewarisnya adalah kubur, dan waktu untuk mengumpulkan amal di dunia tidak untuk selamanya, bahkan teramat singkat. Dunia laksana penginapan dalam perjalanan yang mesti dilanjutkan.

2. Batu nisan kepala, sisi kiri (timur).

(1. ب/b. 1 (batang); 2 (alas/dasar).

ب. 1. إِنْ كَانَ نَعِيْمًا

وَالْمَوْتُ لَا شَكَّ نَازِلٌ

المَوْتُ بَابٌ—دَا—

وَ كُلُّ النَّاسِ (—دَا—) [خِـ] لُهُ

2. شَهِدْتُ بِأَنَّ اللهَ لَا رَبَّ غَيْرُهُ وَأَنَّ

Inskripsi pada bagian batang di sisi ini tidak diurut dalam baris-baris. Pola urut khath yang tampil di sini sesungguhnya merupakan pola thughra yang populer di kawasan bawahan Khalifah 'Utsmaniyyah (Turki-Utsmani). Apabila antara Aceh dan 'Utsmaniyyah pernah memiliki hubungan di masa lampau, pola urut khath seperti ini dapat diperhitungkan sebagai jejak dari pengaruh hubungan tersebut. Pola urut khath yang umum dan lazim pada inskripsi batu nisan asli Sumatra-Pasai dan Aceh Darussalam, dan bahkan lainnya, adalah pola menanjak dan menurun yang berulang-ulang. Pola itu, biasanya, yang membimbing pengamat untuk menemukan huruf-huruf dan kata-kata. Tapi, inskripsi pada kedua batu nisan ini, terutama pada bagian batangnya, adalah pengecualian. Seperti disinggung sebelumnya, pola urut khath mengesankan semacam benda-benda yang dituang dalam satu wadah transparan. Teksturnya menampilkan pola-pola semacam bentuk-bentuk geometris.

Bunyi inskripsi:

إِنْ كَانَ نَعِيْمًا وَالْمَوْتُ لَا شَكَّ نَازِلٌ المَوْتُ بَابٌ وَ كُلُّ النَّاسِ دَاخِلُهُ

Bermakna: “Jika itu (yakni, kehidupan dunia) adalah kesenangan, dan kematian tanpa ragu pasti datang. Kematian adalah sebuah pintu, dan semua orang memasukinya.”

Bunyi inskripsi seperti itu, tampaknya, merupakan teks kombinasi bikinan konseptor. Saya, sepertinya, tidak menjumpai kalimat-kalimat yang tersusun seperti itu di selain batu nisan ini.

Kalimat:

إِنْ كَانَ نَعِيْمًا وَالْمَوْتُ لَا شَكَّ نَازِلٌ

"Jika itu adalah kesenangan, dan kematian tanpa ragu pasti datang," terdengar senada atau seperti mengintisarikan ungkapan Mutharrif bin 'Abdu-Llah (w. 95 H) yang dinukil Abu Nu'aim Al-Ashbahaniy (w. 430 H/1038) dalam Hilyatu-l-Auliya:

إِنَّ هَذَا الْمَوْتَ قَدْ أَفْسَدَ عَلَى أَهْلِ النَّعِيمِ نَعِيمَهُمْ فَاطْلُبُوا نَعِيمًا لَا مَوْتَ فِيهِ

"Kematian ini telah merusak kesenangan orang-orang yang senang, maka carilah kesenangan yang tidak ada kematian di dalamnya."

Teks:

وَالْمَوْتُ لَا شَكَّ نَازِلٌ

"Dan kematian tanpa ragu pasti datang,", adalah teks yang beredar dalam ragam ungkapan.

Teks yang disandarkan oleh penulis Ad-Durru-l-Farid wa Baitu-l-Qashid, Muhammad bin Aydamira Al-Musta'shimiy (w. 710 H/1310 M), kepada Aktsam bin Shaifiy (w. 9 H/630 M) berbunyi:

تَزَوَّد مِن التَقوى فَأَنتَ مُسافِرٌ ... وَبَادِر فَإِنَّ المَوتَ لَا شَكَّ نَازِلُ

"Perbanyaklah taqwa, karena engkau seorang musafir; dan bersegeralah, karena kematian pasti datang."

Begitu pula teks inskripsi:

المَوْتُ بَابٌ وَ كُلُّ النَّاسِ دَاخِلُهُ

"Kematian adalah sebuah pintu, dan semua orang memasukinya."

Teks ini dijumpai, antara lain, dalam Adabu-d-Dunya wa-d-Din karya Al-Mawardiy (w. 450 H/1057 M) dengan bunyi:

الْمَوْتُ بَابٌ وَكُلُّ النَّاسِ دَاخِلُهُ ... فَلَيْتَ شَعْرِي بَعْدَ الْبَابِ مَا الدَّارُ

"Kematian adalah sebuah pintu dan semua orang akan memasukinya. Aku penasaran, rumah apa yang ada setelah pintu itu?!"

Sementara inskripsi pada bagian alas sisi ini:

شَهِدْتُ بِأَنَّ اللهَ لَا رَبَّ غَيْرُهُ وَأَنَّ...

"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa...," merupakan penggalan bait dari sajak Imam Asy-Syafi'iy (w. 204 H/820 M).

Dalam A'yanu-l-'Ashri wa A'wanu-n-Nashr, Ash-Shafadiy (w. 764 H/1363 M), menyebutkan, "Dan dari Ar-Rabi', dia mengatakan: aku telah mendengar Asy-Syafi'iy mengucapkan:

شَهِدْتُ بِأَنَّ الله لا رَبَّ غَيرُهُ ... وَأشْهَدُ أنَّ الْبَعْثَ حقٌّ وأُخْلِصُ

"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa kebangkitan [dari kubur] itu benar, dan aku tulus."

Selain dalam karya Ash-Shafadiy, sajak tersebut selengkapnya dijumpai dalam Manaqib Asy-Syafi'iy karya Al-Baihaqi (w. 458 H/1066 M), Manaqib Asy-Syafi'iykarya Fakru-d-Din Ar-Raziy (w. 606 H/1210 M), dan Manaqib Asy-Syafi'iy karya Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M), dan sumber-sumber lainnya.

Meskipun kata asyhadu (أشهد), tertinggal pada inskripsi, tapi dapat dimengerti bahwa kelanjutan teks ialah:

وأنَّ [الْبَعْثَ حقٌّ وأُخْلِصُ]

"Dan bahawa [kebangkitan dari kubur itu benar, dan aku tulus]."

Konseptor inskripsi menghentikan penggalannya pada kata وأن (dan bahwa...) untuk mengisyaratkan adanya sambungan dan bait-bait berikutnya dari sajak tersebut. Dia mengalihkan pengamat ke sumber-sumber yang, tampaknya, sudah terkenal pada masa itu untuk membaca bait-bait yang mengungkapkan keimanan Ahlu-s-Sunnah wa-l-Jama'ah. Penggalan sajak pada batu nisan ini memastikan i'tiqad Ahlu-s-Sunnah wa-l-Jama'ah yang dipegang oleh Almarhum dan masyarakatnya!

Sumber-sumber terkait teks inskripsi yang disebutkan di atas, semuanya, berasal dari masa sebelum pembuatan batu nisan. Kita hanya ingin sekadar memperoleh gambaran kasar tentang perpustakaan yang mengisi rumah para penghuni masa lampau Aceh, dan bacaan mereka, lewat teks-teks yang terpahat pada batu nisan.

3. Batu nisan kepala, sisi belakang (selatan).

(1. أ/a. 1 (puncak); 2 (batang); 3 (alas/dasar).

ج. 1. لا إله إلا [الله]

2. أَلَا كُلُّ شَيءٍ

مَا خَلاَ اللهَ

بَاطِلٌ وَ –لَةَ—

كُلُّ نَعِيْمٍ

لَا مُحَا (–لَةَ—) زَ

ائِلٌ سِوَى جَنَّةِ

الْفِرْدَوْس

3. عَلَى شَفِيْعِ الْمُذْنِبِينَ مُحَمَّدٍ أَلَمْ تَرَ أَنَّ [ا]للهَ [أَ]رْسَلَ عَبْدَهُ بِبُرْهَانِهِ [وَ] [ا]للهُ

Bagian puncak ditempati Kalimat Tauhid seperti telah disinggung sebelumnya.

Inskripsi pada bagian batang sisi ini, sebagaimana pada bagian batang sisi sebelumnya, diurut berdasarkan tekstur.

Teks inskripsi yang berbunyi:

أَلَا كُلُّ شَيءٍ مَا خَلاَ اللهَ بَاطِلٌ وَ كُلُّ نَعِيْمٍ لَا مُحَالَةَ زَائِلٌ سِوَى جَنَّةِ الْفِرْدَوْسِ

"Ketahuilah, segala sesuatu, kecuali Allah, itu punah, dan setiap kesenangan pasti akan musnah."

Ini adalah bait sajak Labid bin Rabi'ah Al-'Amiriy (w. 41 H/661 M) yang paling populer karena Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

أصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالَهَا شَاعِرٌ كَلِمَةُ لَبِيدٍ:ألَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللهَ بَاطِلُ (متفقٌ عَلَيْهِ)

"Kata-kata paling jujur ​​yang diucapkan seorang penyair adalah kata-kata Labid: 'Ketahuilah, semuanya, kecuali Allah, itu punah.'.” (Hadits shahih riwayat Al-Bukhariy dan Muslim)

Nabi Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam hanya mengutip bagian pertamanya, dan tidak melanjutkan.

Abu Manshur Ats-Tsa'alibiy (w. 429 H/ 1038 M) menerbitkan teks sajak tersebut dalam Lubabu-l-Adabseperti demikian:

أَلاَ كُل شيء ما خَلا اللَهَ بَاطِلُ ... وكلُّ نَعِيمٍ لاَ مَحَالَةَ زائِلُ

سوى جَنَّةِ الفردوسِ إنَ نعيمَها ... يدومُ فإن الموتَ لا بد نازلُ

“Ketahuilah, segala sesuatu, selain Allah, punah, dan segala kesenangan pasti musnah. Kecuali, syurga firdaus. Kesenangan [di dalamnya] sesungguhnya abadi. Maka sungguh kematian itu pasti datang.”

Konseptor inskripsi hanya mengutipnya sampai:

سوى جَنَّةِ الفردوسِ

"Kecuali syurga firdaus."

Pada inskripsi di bagian alas (3), mendadak muncul kalimat diawali kata على (atas, di atas, terhadap, kepada). Ini adalah kata (harf) yang menandai Mahkum bihi (predikat), dan karenanya mesti ditemukan Mahkum 'alaihi (subjek).

Inskripsi terbaca dengan jelas:

عَلَى شَفِيْعِ الْمُذْنِبِينَ مُحَمَّدٍ

"Atas sang pemberi syafa'at bagi orang-orang berdosa, Muhammad [Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam]."

Tidak ada kata-kata pada inskripsi di bagian batang yang bisa dinyatakan sebagai subjek dari kalimat ini. Sementara inskripsi pada bagian alas di sisi sebelumnya berhenti dengan kata وَأَنَّ yang terang saja tidak dapat menjadi subjek. Perihal kata setelah kalimat ini sendiri—pada awalnya—membingungkan, tapi itu pun lebih tampak sebagai sifat daripada subjek. Kata tersebut dipahat dalam bentuk yang ambigu. Huruf-hurufnya yang teramati secara berurut: alif, lam, mim, ra' atau zai, qaf atau ta', ra' atau nun (ba'?). Sejumlah kemungkinan diujicoba, namun tak satu pun membuahkan makna yang masuk akal.

Kalimat setelah kata membingungkan itu pun tidak dimengerti walapun sebagian kata-katanya dikenal secara pasti. Saat itu, saya meyakini kalimat tersebut mestinya merupakan teks kutipan. Tapi, teks kutipan dari mana yang seperti ini?

Soal-soal yang muncul tidak terpecahkan pada waktu itu. Saya sudah mempersiapkan sejumlah tanda baca untuk mengisyaratkan keraguan dan tidak paham terhadap inskripsi di bagian alas sisi ini!

Setelah melanjutkan pengamatan ke sisi-sisi lain dari kedua batu nisan dengan bagian-bagiannya, baru kemudian semuanya terjelaskan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam kepada Nabi-Nya.

Saya ingin kembali menyadarkan Tuan Pembaca bahwa kita sedang mengamati sisi belakang (selatan) dari batu nisan kepala, yang kiranya, merupakan sisi kedua terpenting setelah sisi muka.

Inskripsi pada bagian alas sisi muka (utara), seperti telah dikemukakan, berbunyi:

بِلَا شَكٍّ بِالْوَارِثِ أَلَا إِنَّمَا الدُّنْيَا كَمَنْزِلِ رَاكِبٍ تَرَاهُ.

Kalimat inskripsi dimulai dengan kata (harf) yang menandai Mahkum bihi(predikat) seperti halnya inskripsi pada bagian belakang (selatan) yang sedang kita amati. Meskipun subjek untuk kalimat pada bagian alas sisi muka (utara) diketahui dengan mudah, yaitu ucapan ketauhidan, namun kita menangkap suatu kesesuaian antara inskripsi pada bagian alas sisi muka dengan bagian alas sisi belakang: sama-sama dimulai dengan kata (harf) yang menandai Mahkum bihi (predikat).

Kesesuaian lainnya, ungkapan: بِلَا شَكٍّ بِالْوَارِثِbukan bagian dari teks kutipan, tapi hanya merujuk kepada sajak yang menjadi sumber ungkapan, dan berikutnya, merupakan ringkasan bait yang terbilang dalam bait-bait permulaan sebuah sajak. Begitu pula, rupanya, kalimat: عَلَى شَفِيْعِ الْمُذْنِبِينَ مُحَمَّدٍ, bukan bagian dari teks sajak yang permulaannya adalah inskripsi berikutnya:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ [ا]للهَ [أَ]رْسَلَ عَبْدَهُ بِبُرْهَانِهِ [وَ] [ا]للهُ

Inskripsi baru dapat diinterpretasi secara akurat setelah penggalan-penggalan lain dari bait-bait sajak ditemukan pada sisi kanan (barat) alas batu nisan kepala (1. د/d. 3), dan kemudian, pada sisi timur dan barat alas batu nisan kaki (2. ب/b. 3 & 2. د/d. 3).

Penyingkapan bertahap seperti itu, tampaknya, memang dimaksudkan oleh konseptor. Penyebab tidak terbaca dan tidak dimengertinya inskripsi pada bagian alas sisi ini adalah pengaburan yang disengaja, bukan keteledoran atau kesilapan saat eksekusi. Indikator pengaburan disengaja itu, pertama, terlihat pada kalimat أَلَمْ تَرَ yang dibuat ambigu lewat jarak antar huruf yang dirapatkan secara mencolok. Lebih terang lagi, dengan membuat huruf mim terkesan seperti bersambung dengan huruf ra', sehingga tampak seperti satu kata sifat. Indikator kedua, pelucutan semua alif: pertama, pada Lafzhu-l-Jalalah(الله) sehingga terbaca Li-Llah (لله); kedua pada kata arsala (أرسل) sehingga terbaca rusul (رسل), dan juga pada Lafzhu-l-Jalalah yang terakhir. Keserentakan seperti ini ganjil, dan jelas tampak sebagai suatu kesengajaan. Sehafal apapun seseorang terhadap teks sajak, hasil eksekusi seperti itu, saya kira, tetap saja akan menutup pandangannya dari melihat bait sajak tersebut di sana.

Setelah penyingkapan, teks sajak atau isnkripsi dapat diurut seperti ini:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ [ا]للهَ [أَ]رْسَلَ عَبْدَهُ بِبُرْهَانِهِ [وَ] [ا]للهُ وَأَمْجَدُ

وَأَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتَمٌ مِنَ اللهِ مَشْهُوْرٌ—حُ—يَلُوْ(—حُ—) وَيُشْهَدُ

وَضَمَّ إِلَهٌ (الإِلَهُ) اسْمَ النَّبِيِّ إِلَى اسْمِهِ—ذِّ—[إِ]ذَا قَالَ فِي الْخَمْسِ الْمُؤَ(—ذِّ—)نُ أَشْهَدُ

عَلَى شَفِيْعِ الْمُذْنِبِينَ مُحَمَّدٍ

Semua ini merupakan gabungan inskripsi pada bagian alas sisi belakang (selatan) batu nisan kepala dan sisi kanannya (barat), kemudian, pada bagian alas sisi kiri (timur) dan kanan (barat) batu nisan kaki (1. أ/a. 3; 1. د/d. 3; 2. ب/b. 3; & 2. د/d. 3).

Huruf yang diletakkan dalam tanda kurung siku [] tidak terdapat pada inskripsi, tapi ditambahkan untuk menunjukkan huruf yang semestinya ada. Kata dalam tanda kurung () menunjukkan bentuk kata yang lebih tepat daripada yang terdapat dalam teks inskripsi. Huruf yang diapit tanda pisah menunjukkan huruf yang tidak di posisi seharusnya. Huruf diapit tanda pisah dalam tanda kurung menunjukkan posisi huruf yang seharusnya.

Terjemahannya:

"Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah mengutus hamba-Nya dengan bukti-bukti-Nya? Dan Allah ... dan lagi Maha Agung.

Penghulu yang mulia lagi santun, padanya cap kenabian dari Allah, kemashurannya bersinar, dan disaksikan.

Dan Allah telah menyertakan nama Nabi di samping nama-Nya ketika muazin mengucapkan dalam shalat lima waktu: Aku bersaksi.

Atas Muhammad, pemberi syafa'at bagi orang-orang berdosa."

Kalimat:

عَلَى شَفِيْعِ الْمُذْنِبِينَ مُحَمَّدٍ

"... atas Muhammad, pemberi syafa'at terhadap orang-orang berdosa," bukan merupakan teks sajak, tapi sambungan yang ditambahkan oleh konseptor untuk menyambung akhir kalimat sajak yang dikutip: "Aku bersaksi."

Bait-bait sajak tersebut merupakaan gubahan terbaik Hassan bin Tsabit Radhiya-Llahu 'anhu untuk memuji Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam. Hassan bin Tsabit adalah sahabat dan penyair dari kaum Al-Anshar (dari Kabilah Al-Khazraj yang menghuni Madinah). Setelah memeluk Islam, dia terkenal sebagai Penyair Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam, membela beliau dengan sajak-sajaknya. Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallammendoakannya:

اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ

"Ya Allah, dukunglah dia dengan Ruhu-l-Qudus (Jibril)."

Hassan bin Tsabit Radhiya-Llahu 'anhu wafat dalam masa Khalifah 'Ali bin Abi Thalib Karrama-Llahu wajhahu, sebelum tahun 40 Hijriah, dalam usia mencapai 120 tahun (lihat, Asadu-l-Ghabah).

Teks seperti pada inskripsi dijumpai, antara lain, dalam Tafsir Al-Baghawiy (w. 516 H/1122 M):

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَ عَبْدَهُ ... بِبُرْهَانِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَى وَأَمْجَدُ

أَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتَمٌ ... مِنَ اللَّهِ مَشْهُودٌ يَلوُحُ وَيَشْهَدُ

وَضَمَّ الْإِلَهُ اسْمَ النَّبِيِّ مَعَ اسْمِهِ ... إِذَا قَالَ فِي الْخَمْسِ الْمُؤَذِّنُ: أَشْهَدُ

Catatan tambahan menyangkut teks sajak ini:

1. Bait pertama tidak dijumpai dalam Diwan (kumpulan sajak) Hassan bin Tsabit Radhiya-Llahu 'anhu.

2. Kata A'la أعلى (Maha Tinggi) tertinggal pada inskripsi.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَ عَبْدَهُ ... بِبُرْهَانِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَى وَأَمْجَدُ

“Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah mengutus hamba-Nya dengan bukti-bukti-Nya? Dan Allah Maha Tinggi dan lagi Maha Agung.”

3. Semua teks yang dijumpai dalam berbagai sumber menyebut: masyhud مشهود (disaksikan; diakui).

أَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتَمٌ ... مِنَ اللَّهِ مَشْهُودٌ يَلوُحُ وَيَشْهَدُ

Hanya teks inskripsi, yang dengan terang, menyebutkan: masyhur مشهور (ternama; terkenal).

وَأَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتَمٌ مِنَ اللهِ مَشْهُوْرٌ—حُ—يَلُوْ(—حُ—) وَيُشْهَدُ

Apakah konseptor mengubah kata tersebut dengan apa yang menurutnya lebih cocok dan tepat, atau dia memegang naskah yang memang menyebut: masyhur مشهور?

Masyhud مشهود berarti 'yang disaksikan', yakni diakui secara sungguh-sungguh, sebagaimana pengakuan dalam dua Kalimat Syahadat yang diucapkan dalam azan dan lainnya. Kerasulan Muhammad Shalla-Llahu 'alaihi Sallam diakui. Muhammad yang diakui sebagai utusan Allah [semisal dalam azan, iqamah dan lainnya] itu bersinar, tampak terang, dan diakui.

Pengubahan kata masyhud مشهودmenjadi masyhur مشهورsebagaimana pada inskripsi, saya kira, merupakan suatu pengubahan yang tidak saja tepat dan realistis, tapi sesungguhnya juga amat menggugah! Mengingat dimensi waktu yang teramat panjang memisahkan Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam dengan umat Beliau di Aceh dalam abad ke-12 Hijriah (setelah 1100 tahun sejak hijrah Nabi Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam), begitu pula dengan dimensi jarak yang demikian luas memisahkan Madinah dan Aceh, maka dalam waktu inskripsi ini dibuat pada batu nisan di Aceh, Nabi Muhammad Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam sudah bukan saja disaksikan dan diakui sebagai utusan Allah, tapi Beliau adalah orang paling ternama (masyhur) yang diakui sebagai utusan Allah dalam azan, iqamah, khutbah, ucapan syahadat dan lain sebagainya di sepanjang waktu dan di permukaan bumi yang luas. Kata masyhur مشهور memberikan makna tersebut sekaligus menginformasikan kenyataan aktual terkait Islam dan umatnya dalam abad ke-12 Hijriah (ke-18 Masehi) yang sudah jauh meluas dan berkembang sejak Penyair Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam mengucapkan sajak sanjungannya.

Seraya menyepakati pengubahan tersebut, kita juga berkesempatan melihat kecemerlangan dari sosok di balik inskripsi. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam ke atas Nabi-Nya, Muhammad, beserta Keluarga dan Sahabat Beliau. Dan, semoga rahmat Allah dan ampunan-Nya terlimpahkan kepada konseptor inskripsi.

4. Batu nisan kepala, sisi kanan (barat).

(1. د/d. 1 (batang); 2 (alas/dasar).

د. 1. إِنْ كَانَ نَعِيْمًا

وَالْمَوْتُ لَا شَكَّ نَازِلٌ

المَوْتُ بَابٌ—دَا—

وَ كُلُّ النَّاسِ (—دَا—) [خِـ] لُهُ

2. وَأَمْجَدُ وَأَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتِمٌ مِنَ اللهِ

Inskripsi bagian batang sisi ini identik dengan inskripsi bagian batang sisi kiri (timur). Lihat komentar untuk 1. ب/b. 1.

Sementara inskripsi bagian alas merupakan bagian teks sajak Hassan bin Tsabit Radhiya-Llahu 'anhu yang baru saja dijelaskan. Lihat komentar untuk 1. ج/c. 3.

5. Batu nisan kaki, sisi muka (utara).

(2. أ/a. 1 (puncak); 2 (batang); 3 (alas/dasar).

(2)

أ. 1. لا إله إلا الله

2. مَضَى الدَّهْرُ وَالْأَ (—يَّامُ—)

وَالذَّ—يَّامُ—نْبُ حَاصِلٌ

[وَ] أَنْتَ بِمَا تَهْوَى—لا (؟)

عَنِ الْحَقِّ غَافِلٌ وَ

نَعِيْمُكَ

3. تَزَوَّدْ مِنَ الدُّنْيَا فَإِنَّكَ رَ(–ا— )حِلُ وَاعْلَمْ (—أَ—)نَّ–ا—أَ—بِالْمَوْتِ


Puncak ditempati Kalimat Tauhid.

Bagian batang sisi ini terisi bait-bait sajak yang tidak jarang dijumpai pada batu nisan, terutama batu nisan Sumatra-Pasai. Pengurutan khath inskripsi seperti terlihat mengacu pada tekstur.

Bait-bait serupa dijumpai dalam Mukasyafatu-l-Qulub, sebuah karangan yang disandarkan kepada Abu Hamid Al-Ghazaliy (w. 505 H/1111 M), tapi diragukan sebagai karyanya (mungkin karena isinya telah banyak dipalsukan). Bait-bait tersebut berbunyi:

مَضَى الدَّهْرُ وَالأَيَّامُ وَالذَّنْبُ حَاصِلٌ...وَجَاءَ رَسُوْلُ الْمَوْتِ وَالْقَلْبُ غَافِلُ

نَعِيْمُكَ فِي الدُّنيَا غُرُوْرٌ وَحَسْرَةٌ...وَعَيْشُكَ فِي الدُّنيَا مُحَالٌ وَباَطِلُ

"Waktu dan hari-hari berlalu, dan dosa telah dilakukan. Lalu datang utusan kematian*, sementara hati masih lalai. Kesenanganmu di dunia ini adalah tipu daya dan penyesalan. Dan kehidupanmu di dunia ini, mustahil dan sia-sia."

(*Utusan kematian yang dimaksud di sini ialah penuaan; rambut yang memutih setelah hitam, badan yang lemah setelah kuat, tubuh yang bungkuk setelah tegak [lihat, Mukasyafatu-l-Qulub, Babu-l-Ghaflah.])

Teks yang seperti ini, seingat saya, yang sering dijumpai pada batu nisan Sumatra-Pasai dan lainnya, dan barangkali, berasal dari sumber yang disebutkan (?).

Sementara bait-bait yang selengkapnya dipahat pada bagian batang sisi muka batu nisan kaki ini (2. أ/a. 1) dan pada bagian batang sisi setelahnya (2. ب/b. 1), memiliki perbedaan dengan bait-bait yang berasal dari Mukasyafatu-l-Qulub. Bait-bait sajak pada inskripsi batu nisan berbunyi:

مَضَى الدَّهْرُ وَالأَيَّامُ وَالذَّنْبُ حَاصِلٌ وَأَنْتَ بِمَا تَهْوَى عَنِ الْحَقِّ غَافِلُ

نَعِيْمُكَ فِي الدُّنيَا غُرُوْرٌ وَحَسْرَةٌ وَحِرْصُكَ فِي الدُّنيَا مُحَالٌ وَباَطِلُ

"Waktu dan hari-hari berlalu, dan dosa telah dilakukan. Sementara itu, kamu masih lalai dengan segala penyimpanganmu dari kebenaran. Kesenanganmu di dunia ini hanyalah tipu daya dan penyesalan. Dan keserakahanmu di dunia ini suatu hal yang mustahil dan sia-sia."

Bait-bait pada inskripsi batu nisan terasa lebih tajam dan mengena. Lalai dalam kesesatan menghilangkan kesadaran terhadap waktu yang terus terbuang sia-sia, dan dosa yang semakin bertambah. Kesenangan dunia tidak akan pernah berujung kepuasaan. Pencariannya hanya akan berbuah penyesalan. Pengejaran dunia persis pengejaran sesuatu yang semu, dan pada akhirnya, itu juga akan diputuskan oleh kematian.

Teks bait pertama seperti pada batu nisan hanya bisa saya temukan dalam Ad-Durru-l-Farid wa Baitu-l-Qashid karya Muhammad bin Aydamira Al-Musta'shimiy (w. 710 H). Bunyinya demikian:

مَضَى الدَّهْرُ وَالأَيَّامُ وَالذَّنْبُ شَامِلٌ (كذا) وَأَنْتَ بِمَا تَهْوَى عَنِ الْحَقِّ غَافِلُ

Al-Musta'shimiy menyandarkan bait ini kepada Aktsam bin Shaifiy yang telah disebutkan sebelumnya.

Apakah konseptor inskripsi merujuk ke sumber yang sangat tebal itu atau memiliki sumber lain? Kita, sepertinya, kembali disadarkan dengan siapa kita berhadapan. Tidak berlebihan, kiranya, apabila kita membayangkan di balik inskripsi ini berdiri sosok cendikiawan yang memiliki perputakaan besar di rumahnya; di Aceh, dalam masa itu!

Selanjutnya, inskripsi pada bagian alas sisi ini ((2. أ/a. 3):

تَزَوَّدْ مِنَ الدُّنْيَا فَإِنَّكَ رَاحِلُ واعلم أن بالموت ...

"Bawalah bekal dari dunia ini, karena engkau sesungguhnya akan pergi. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya dengan kematian..."

Kalimat:

تَزَوَّدْ مِنَ الدُّنْيَا فَإِنَّكَ رَاحِلُ

"Bawalah bekal dari dunia ini, karena sesungguhnya engkau akan pergi," dijumpai dalam berbagai sumber, dan dalam ungkapan bervariasi. Ibnu Al-Jauziy (w. 597 H/1201 M) menerbitkan kalimat tersebut dalam sebuah sajak yang dinukilkannya dalam Mutsiru-l-'Azmi-s-Sakin, berbunyi:

تَزَوَّدْ مِنَ الدُّنْيَا فَإِنَّكَ رَاحِلُ ... وَبَادِرْ فَإِنَّ الْمَوْتَ لا شَكَّ نَازِلُ

وَإِنَّ امرؤ قَدْ عَاشَ خَمْسِينَ حِجَّةً ... وَلَمْ يَتَزَوَّدْ لِلْمَعَادِ لجاهل

"Bawalah bekal dari dunia, karena sesungguhnya engkau akan pergi. Dan bersegeralah, karena kematian pasti datang. Orang yang menjalani hidupnya selama lima puluh kali haji (50 tahun), dan belum berbekal untuk akhirat, mestilah dia orang yang bodoh!"

Tapi, kalimat pada inskripsi:

واعلم أن بالموت...

"Dan ketahuilah bahwasanya dengan kematian..." adalah kalimat yang sementara ini gagal ditemukan sambungannya atau dipahami isyaratnya.

Ungkapan yang diawali dengan kalimat tersebut, barangkali, populer pada masa inskripsi ini dibuat, tetapi saat ini, saya seperti kehilangan jejak untuk melacaknya. Semoga teks utuh dari penggalan ini ditemukan pada inskripsi batu nisan yang lain!

6. Batu nisan kaki, sisi kiri (timur).

(2. ب/b. 1 [batang]; 2 [alas/dasar]).

ب. 1. فِي الدُّنْيَا

غُرُوْرٌ

وَحَسْرَةٌ

وَحِرْصُكَ –ا—

فِي (–ا—)لدُّنْيَا

مُحَالٌ وَ

بَا –ب (؟)—طِلٌ

2. مَشْهُوْرٌ—حُ—يَلُوْ(—حُ—) وَيُشْهَدُ وَضَمَّ إِلَهٌ (الإِلَهُ) اسْمَ النَّبِيِّ


Inskripsi pada bagian batang sisi ini (2. ب/b. 1) adalah sambungan kalimat inskripsi dari bagian batang sisi sebelumnya. (Lihat, komentar untuk 2. أ/a. 2.)

Inskripsi pada bagian alas sisi ini ((2. ب/b. 2) merupakan bagian dari bait sajak Hassan bin Tsabit Radhiya-Llahu 'anhu sebagaimana terdahulu dijelaskan. (Lihat, komentar untuk 1. ج/c. 3.)

7. Batu nisan kaki, sisi belakang (selatan).

(2. ج/c. 1 [puncak]; 2 [batang]; 3 [alas/dasar]).

ج. 1. هَذَ[ا] نِسَانُ نَصِيْحَةِ الْمُلُوْكِ

2. عَجِبْتُ لِطَالِبِ الدُّنْيَا وَ

الْمَوْتُ يَطْلُوب (كذا ؛ يَطْلُبُهُ)

وَعَجِبْتُ لِمَنْ بَنَى

الْقُصُوْرَ وَالْقَبْرُ

مَنْزِلُو (كذا ؛ مَنْزِلُهُ) خُلِقْتَ

3. صُبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا صُبَّتْ عَلَى الْأَيَّامَ صِرْنَ لَيَالِيَا


Sisi ini merupakan sisi paling belakang walaupun dari segi pengaturan inskripsi masih ada satu sisi lagi setelahnya, yaitu sisi kanan (barat) batu nisan kaki. Sisi paling depan adalah sisi muka batu nisan kepala, dan sisi paling belakang adalah sisi belakang (selatan) batu nisan kaki. Sisi depan dimulai dengan inskripsi membunyikan Kalimat Tauhid, dan sisi paling belakang sudah seyogyanya sebagai akhir.

Di akhir, nama dimunculkan, dan penggalan-penggalan ungkapan yang dipilih untuk sisi ini teramati lebih banyak menggunakan kata ganti orang pertama tunggal: aku (dhamiru-l-mutakallimi-l-mufrad). Hal ini, barangkali, untuk mengesankan keterkaitan individu empunya nama dengan ungkapan-ungkapan tersebut; seakan-akan suara atau pesan langsung dari Almarhum yang empunya nama.

Tapi, nama yang muncul pada inskripsi bagian puncak sisi paling belakang ini (2. ج/c. 1), tampak, ganjil:

هَذَ[ا] نِسَانُ نَصِيْحَةِ الْمُلُوْكِ

"Inilah nisan Nashihatu-l-Muluk."

Meskipun bukan tidak masuk akal seseorang dinamakan atau digelar dengan Nashihatu-l-Muluk (nasehat untuk para raja), namun mencukupkan informasi tentang Almarhum dengan nama seperti itu tidak terkesan seperti ingin menerangkan tentang Almarhum. Kata nisan atau nisyan, secara etimologis, berarti tanda. Nashihah نصيحة berarti nasehat, bukan nashih ناصح atau نصيح yang bermakna penasehat. Jadi, ini bukan nama orang seperti lazimnya.

Apakah kalimat itu sesungguhnya berarti: ini tanda nasehat bagi para raja? Apakah itu sebuah kiasan yang diizinkan atau, malah, diwasiatkan oleh Almarhum untuk diukir pada batu nisannya?

Bagaimana pun hakikatnya, ungkapan-ungkapan yang menjadi inskripsi pada kedua batu nisan menyajikan rampaian hikmah yang patut menjadi nasehat bagi para penguasa.

Terkait nama Nashihatu-l-Muluk, orang akan mengingat karya Abu Hamid Al-Ghazaliy (w. 505 H/1111 M), At-Tibru-l-Masbuk fi Nashihati-l-Muluk, atau satu karya [disandarkan kepada] Abu-l-Hasan Al-Mawardiy (w. 450 H/1058 M), Nashihatu-l-Muluk.

Inskripsi pada bagian batang sisi ini:

2. عَجِبْتُ لِطَالِبِ الدُّنْيَا وَ

الْمَوْتُ يَطْلُوب (كذا ؛ يَطْلُبُهُ)

وَعَجِبْتُ لِمَنْ بَنَى

الْقُصُوْرَ وَالْقَبْرُ

مَنْزِلُو (كذا ؛ مَنْزِلُهُ) خُلِقْتَ

Khath diurut berdasarkan tekstur seperti telah dikemukakan. Huruf waw (ـو) yang tampak pada kata yathlu يطلو dan manzilu منزلو, hakikatnya, adalah ha'(ـه). Pada kata yathlu يطلو, huruf ba’ (ب) ditempatkan di atas huruf lam(ـلـ) supaya kata itu dapat dibaca: yathlubuhu يطلبه.

Kecuali kata khuliqta خلقت, ungkapan tersebut berbunyi demikian:

عَجِبْتُ لِطَالِبِ الدُّنْيَا وَ الْمَوْتُ يَطْلُبه وَعَجِبْتُ لِمَنْ بَنَى الْقُصُوْرَ وَالْقَبْرُ مَنْزِلُه

"Aku heran kepada orang yang mencari dunia, padahal kematian mencarinya. Dan aku heran kepada orang yang membangun istana, padahal kuburan adalah rumahnya."

Kalimat atau pernyataan pertama: "Aku heran kepada orang yang mencari dunia, padahal kematian mencarinya," dijumpai dalam Dzammu-d-Dunya dan Az-Zuhd karya Ibnu Abi-d-Dunya (w. 281 H/894 M). Dalam kedua sumber itu, pernyataan pertama ini merupakan bagian dari khutbah 'Ali bin Abi Thalib Radhiya-Llahu 'anhuyang diriwayatkan oleh Ibnu Abi-d-Dunya dengan menyebutkan sanadnya.

Sementara ungkapan yang meliputi kedua pernyataan dijumpai dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M) dengan redaksi yang sedikit berbeda, dan diriwayatkan sebagai ucapan 'Isa 'Alaihi-s-Salam:

فَعَجِبْتُ مِنْ ثَلَاثِ أُنَاسٍ: طَالِبِ الدُّنْيَا وَالْمَوْتُ يَطْلُبُهُ، وَبَانِي الْقُصُورِ وَالْقَبْرُ مَنْزِلُهُ، وَمَنْ يَضْحَكُ مِلْءَ فِيهِ وَالنَّارُ أَمَامَهُ

"Aku merasa heran kepada tiga orang: orang yang mencari dunia padahal kematian mencarinya; orang yang membangun istana padahal kuburan adalah rumahnya; dan orang yang tertawa terbahak-bahak padahal api neraka ada di hadapannya."

Selesai menukilkan hadits di mana ungkapan ini merupakan bagiannya, Ibnu Katsir berkomentar: "Ini adalah hadits yang sangat ganjil. Kami menulisnya karena mengandung nasehat yang bagus."

Seperti telah diutarakan, ungkapan-ungkapan yang dipilih untuk inskripsi di sisi ini adalah kalimat yang menggunakan kata ganti orang pertama tunggal: aku. Inskripsi pada bagian alas sisi ini (2. ج/c. 3) memberitahukan sesuatu yang membuat hati renyuh. Setidaknya, selesai pertama sekali membaca dan memahaminya.

صُبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا صُبَّتْ عَلَى الْأَيَّامَ صِرْنَ لَيَالِيَا

"Kemalangan telah ditimpakan kepadaku, jika kemalangan itu ditimpakan kepada siang, niscaya ia akan menjadi malam."

Banyak sumber menyebutkan ungkapan tersebut adalah di antara kalimat yang diucapkan Sayyidah Fathimah Radhiya-Llahu 'anha. An-Nuwairiy (w. 733 H/1333 M), misalnya, menyebutkan dalam Nihayatu-l-Arabbahwa Fathimah Az-Zahra' Radhiya-Llahu 'anha berdiri di dekat kubur Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam dan mengucapkan:

مَا ضَرُّ مَنْ قَدْ شَمَّ تُرْبَةَ أَحْمَدَ ... أَلاَّ يَشُمَّ مَدَى الزَّمَانِ غَوَالِيَا

صُبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا ... صُبَّتْ عَلَى الأيّامِ صِرْنَ لَيَالِيَا

"Apa salahnya jika seseorang yang telah mencium tanah Ahmad, akan tidak lagi mencium hal-hal berharga untuk sepanjang masa?! Kemalangan telah ditimpakan kepadaku, jika kemalangan itu ditimpakan kepada siang, niscaya ia akan menjadi malam!"

Namun, Al-Marzubaniy (w. 384/994 M) dalam Mu'jamu-sy-Syu'ara'menyebutkan Abu Manshur Al-Bakharziy sebagai orang yang mengatakan kalimat seperti yang terdapat pada inskripsi.

Kalimat ini, seperti dikatakan sebelumnya, membuat hati renyuh karena dengan terang mengungkapkan suatu kepedihan. Tapi, ketika diperhatikan bahwa kalimat tersebut berada dalam satu konteks dengan kalimat-kalimat lain sebelumnya di sisi belakang (selatan) batu nisan kaki, kita seperti diberikan suatu alasan mengapa nisan ini, atau Almarhum, pantas dinamakan dengan Nashihatu-l-Muluk, dan mengapa keheranan seperti diungkapkan pada inskripsi bagian batang, adalah hal yang relevan. Ini, kiranya, adalah karena Almarhum, atau konseptor inskripsi, adalah orang yang telah banyak makan asam-garam kehidupan, melewati berbagai ujian dan cobaan, hingga menjadi pribadi yang mampu memetik hikmah-hikmah.

8. Batu nisan kaki, sisi kanan (barat).

(2. د/d. 1 [batang]; 2 [alas/dasar]).

د. 1. مِنَ التُّرَابِ

وَالتُّرَابُ

عَدُوُّ

مَوْتٍ ا

لمَوْتُ بَا[بٌ]

وَكُلُّ النَّاسِ

دَاخِلُو (كذا رسما؛ دَاخِلُهُ: رسمت الباء والهاء بشكل الواو)

2. إِلَى اسْمِهِ—ذِّ—[إِ]ذَا قَالَ فِي الْخَمْسِ الْمُؤَ(—ذِّ—)نُ أَشْهَدُ


Kalimat pertama pada inskripsi bagian batang sisi ini (2. د/d. 1) adalah sambungan dari kata khuliqta خلقت yang terdapat di bagian batang sisi sebelumnya (2. ج/c. 2). Kalimat selengkapnya ialah:

خُلِقْتَ مِنَ التُّرَابِ وَالتُّرَابُ عَدُوُّ مَوْتٍ

"Kamu diciptakan dari tanah, dan tanah adalah musuh kematian."

Salah satu hikmah yang dipetik dari pengalaman adalah makna yang diungkapkan lewat kalimat tersebut!

Teks inskripsi di sisi sebelumnya:

عَجِبْتُ لِطَالِبِ الدُّنْيَا وَ الْمَوْتُ يَطْلُبه

"Aku heran kepada orang yang mencari dunia, padahal kematian mencarinya;"

Pernyataan itu, barangkali, telah memunculkan pertanyaan, atau dipandang sebagai pernyataan yang perlu kepada alasan. Mengapa kematian mencari manusia? Dan jawaban yang diberikan, karena manusia diciptakan dari tanah.

Hakikat manusia diciptakan dari tanah didasari ayat-ayat Al-Qur'an, antara lain, dalam surah Ghafir: 67.

Tapi, kenapa tanah menjadi musuh kematian, dan karenanya, manusia yang diciptakan dari tanah menjadi incaran kematian?

Ini adalah kalimat, yang bagi saya, terdengar ganjil dan tidak dimengerti, pada awalnya. Saya tidak berhasil menemukan sumber ungkapan ini, di samping juga tidak yakin jika ini berasal dari sumber luar Aceh. Pemeriksaan inskripsi dilakukan berulang kali karena khawatir telah memberikan interprestasi yang keliru terhadap huruf-huruf dan susunan kata. Tapi, sepertinya, saya tidak punya pilihan lain!

Perlu waktu yang mungkin secara perlahan dapat membangkitkan gambaran yang ingin dihadirkan pernyataan tersebut.

Beberapa saat kemudian, "tanah" seperti mengiang dalam telinga.

Ungkapan seperti itu mesti berasal dari lingkungan di mana apa yang terlihat di tanah adalah kehidupan yang selalu tumbuh dan berkembang; dari lingkungan di mana tanah dipandang sebagai satu-satunya elemen terpenting penopang kehidupan. Agaknya, hanya di tempat yang masyarakatnya memberikan arti penting yang begitu tinggi bagi tanah, kematian akan [ditamsilkan] atau dipandang sebagai lawan tanah. Sebaliknya, di lingkungan mana kehidupan masyarakatnya tidak sepenuhnya bertopang pada tanah, dan tidak menyaksikan tanah sebagai tempat yang selalu menumbuhkan, tanah tentu tidak terlihat sebagai musuh kematian. Ungkapan tersebut dengan terang membawa pengalaman lokal, dan mendeskripsikan tempat semacam tempat di mana "tongkat ditanam jadi tanaman"!

Tanah menumbuhkan dan menghidupkan—demikian kenyataan yang mudah terlihat di lingkungan seperti di Aceh. Sementara kematian memusnahkan apa yang ditumbuhkan dan dihidupkan oleh tanah. “Tanah musuh kematian.” Maka, tampak logis—dengan penalaran logika formal, tentunya—jika kematian mencari manusia, adalah karena manusia diciptakan dari tanah. Tapi, konseptor inskripsi tidak menyatakan hal ini dengan terang. Dia hanya mengatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah, dan tanah adalah musuh kematian. Kalimat terakhir secara implisit mendeskripsikan lingkungan alam tropis yang subur, sekaligus mengungkapkan arti penting "tanah" bagi masyarakat Aceh di masa lampau itu. Dengan kata lain, keberlangsungan atau kepunahan telah diterjemahkan dalam realitas sebagai “tanah atau kematian”.

Kelanjutan inskripsi pada bagian batang sisi ini mengingatkan untuk ketiga kalinya:

الْمَوْتُ بَابٌ وَكُلُّ النَّاسِ دَاخِلُهُ

"Kematian adalah pintu, dan semua manusia memasukinya."

Sementara inskripsi pada bagian alas sisi ini merupakan ujung dari sajak Hassan bin Tsabit Radhiya-Llahu 'anhuyang dikutip untuk batu nisan ini:

إِلَى اسْمِهِ—ذِّ—[إِ]ذَا قَالَ فِي الْخَمْسِ الْمُؤَ(—ذِّ—)نُ أَشْهَدُ

Kalimat terakhirnya disambung dengan kalimat:

عَلَى شَفِيْعِ الْمُذْنِبِينَ مُحَمَّدٍ

Seperti yang telah terdahulu penjelasannya.

Wa-Llahu A’lam.

Indrapuri, 18 Rabi’ul Awwal 1446 Hijriah.

Foto-foto: Mizuar Mahdi.

[Kolofon:]

Penyelidikan dan penulisan ini dimulai pada 6 Rabi’ul Awwal dan selesai pada 17 Rabi’ul Awwal 1446 Hijriah (9-20 September 2024), selama 11 hari dengan rata-rata waktu yang dihabiskan 10 jam perhari (sekitar 7 jam siang, 3 jam malam). Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad beserta Keluarga dan Sahabat Beliau sekalian.

Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari facebook Mapesa

Posting Komentar

0 Komentar